IBNU Abid Dunya mengatakan, “Siapa yang berbuat baik tidak akan hilang pahalanya. Tidak akan hilang kebaikan itu di sisi Allah dan di antara manusia.” (Makarimul Akhlaq, hal. 38).
Berbuat baik pada orang lain yang dilandasi iman kepada Allah ta’ala serta ikhlas karena-Nya, akan berbuah indah. Dia akan dicintai Allah dan segenap manusia. Keberkahan dan pahala berlipat tak hanya dinikmati di dunia namun balasan sempurna akan diperoleh di akhirat.
BACA JUGA: 14 Cobaan Terberat Nabi Yusuf Digoda Zulaikha (2-habis)
Adalah kisah yang mengharukan terjadi pada masa generasi salaful ummah. Ialah seorang wanita begitu antusias dan bersemangat dalam memenuhi kebutuhan serta meringankan kesulitan orang lain. Kilau kemewahan harta tak membuatnya rakus terhadapnya, namun perasaan cinta sesamanya mendorong ia berbuat itsar (mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri). Potret wanita shalihah yang dapat dijadikan cermin bagi para muslimah agar tak tergoda rayu dunia yang kian menyilaukan mata.
Ibnul Jauzi rahimahullah menulis kisah tersebut. Adalah seorang lelaki dari Baghdad bernama Abdullah. Ia hendak menunaikan haji dan membawa titipan uang 10.000 dirham dari pamannya. Sang paman berpesan, “Jika kamu telah sampai di kota Madinah, carilah keluarga yang paling miskin di sana. Lalu berikanlah uang ini kepada mereka (sebagai sedekah).”
Abdullah mengisahkan perjalanannya “Ketika aku sampai di Madinah, maka aku bertanya kepada orang-orang tentang keluarga yang paling miskin di Madinah. Lalu aku ditunjukkan sebuah rumah, lalu aku mengetuk pintunya. Dan seorang perempuan dari dalam rumah menjawab, “Siapakah Anda?” Aku menjawab, “Aku seorang yang datang dari Baghdad. Aku dititipi uang sebesar 10.000 dirham dan diminta untuk menyerahkannya sebagai sedekah untuk keluarga yang paling miskin di Madinah.
Orang-orang telah menceritakan keadaan kalian kepadaku. Maka ambillah uang ini!” Perempuan itu menjawab, “Wahai Abdullah, orang yang menitipkan uang itu kepadamu mensyaratkan keluarga yang paling miskin (di Madinah yang berhak menerimanya), dan keluarga yang tinggal di depan rumah kami itu lebih miskin dari pada kami, maka berikanlah uang itu kepada mereka!”.
Aku pun meninggalkan rumah itu dan mendatangi rumah keluarga di depannya. Aku mengetuk pintu dan seorang perempuan (dari dalam rumah) menjawab ketukanku. Kemudian aku katakan padanya seperti yang aku katakan kepada perempuan yang pertama. Maka perempuan itu menjawab, “Wahai Abdullah, kami dan tetangga kami sama-sama miskin, maka bagilah uang itu untuk kami dan mereka.” (Shifatush Shafwah, II/206).
Renungkanlah… sungguh wanita di atas sangat peduli pada keadaan saudaranya yang miskin meskipun ia sendiri sangat membutuhkannya. Dia rela berbagi dan demikianlah seharusnya akhlak mulia seorang muslim. Berempati dan merasa menderita ketika saudaranya mengalami kesusahan hidup, sebagaimana persaudaraan indah antara kaum Muhajirin dan Anshar. Mereka sangat peduli dan berharap saudaranya sesama mukmin merasakan kebahagiaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman memuji itsar-nya orang-orang Anshar terhadap orang-orang Muhajirin,
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada memiliki keinginan di dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Hasyr: 9).
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
جَاءَتْنِى مِسْكِينَةٌ تَحْمِلُ ابْنَتَيْنِ لَهَا فَأَطْعَمْتُهَا ثَلاَثَ تَمَرَاتٍ فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً وَرَفَعَتْ إِلَى فِيهَا تَمْرَةً لِتَأْكُلَهَا فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا فَشَقَّتِ التَّمْرَةَ الَّتِى كَانَتْ تُرِيدُ أَنْ تَأْكُلَهَا بَيْنَهُمَا فَأَعْجَبَنِى شَأْنُهَا فَذَكَرْتُ الَّذِى صَنَعَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ أَوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ
“Telah datang kepadaku seorang wanita miskin bersama dua orang anaknya, lalu aku memberi mereka makan dengan tiga butir kurma. Sang ibu memberi anaknya masing-masing sebutir. Tatkala wanita ini mengangkat tangannya hendak memasukkan sebutir kurma itu ke mulutnya, kedua anaknya meminta kembali. Kemudian satu butir kurma itu dibelah dua. Aku sangat kagum dengan ibu itu, lalu aku menceritakan hal in kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau bersabda, ‘Sungguh, Allah telah mewajibkan wanita itu masuk surga karena perbuatannya tersebut, atau Allah membebaskannya dari api neraka’” (HR. Muslim no.2630).
Semakin tinggi aktualisasi seseorang terhadap Islam, semakin tinggi pula perasaan senasib sepenanggungan. Hati terasa sangat dekat seolah-olah jasad dan jiwanya turut merasakan sakit ketika saudaranya sakit. Persaudaraan indah tersebut hanya ada dalam Islam, yakni ketika tali iman telah kokoh terpatri di hati hingga mengalahkan ambisi-ambisi duniawi.
BACA JUGA: Berbuat Baik Jangan Ditunda-tunda
Dalam hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda:
اَلْـمُتَحَابُّوْنَ فِي جَلاَلِي، لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُوْرٍ يَغْبِطُهُمُ النَّبِيُّوْنَ وَالشُّهَدَاءُ
“Orang yang saling mencintai berada dalam lindungan-Ku, diberikan bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya yang dicita-citakan oleh para Nabi dan syuhada‘ (orang-orang yang mati syahid)” (HR. Ahmad (V/ 239), at-Tirmidzi (no. 2390), dan selainnya. Dishahihkan Al Albani dalam Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (no. 3019). []
SUMBER: MUSLIMAH