BERKEMBANGNYA suatu negara tentunya tak lepas dari rezim yang berkuasa. Hal ini bisa bisa dilihat baik dari sisi ketokohan, maupun kelompok mayoritas yang duduk di pemerintahan. Biasanya, mereka yang pernah berkuasa, akan berusaha mempertahankan kekuasaanya.
Kendati masa jabatan atau periode suatu pemerintahan dibatasi oleh konstitusi, mereka akan terus berjuang untuk tetap berada di posisi tertinggi dalam tampuk kekuasaan. Salah satu sistem dengan pola paling jelas soal ini adalah dinasti, dimana tahta raja atau kaisar akan otomatis diwariskan kepada keturunan-keturunannya.
BACA JUGA: Pertanyaan pada Para Rasul, dan Nabi pun Menangis
Dalam sistem demokrasi pun, tak menutup kemungkinan hal yang serupa bisa terjadi. Hanya saja polanya mungkin berbeda. Dalam sistem demokrasi yang diramaikan oleh banyaknya partai politik, mereka berlomba-lomba menghimpun suara agar tetap bisa ‘eksis’ di pemerintahan.
Hal itu bukannya tak baik, sebab politik pun tak sepenuhnya berisi intrik demi mengejar kekuasaan semata. Semua, dikembalikan kepada niat dan startegi masing-masing. Sebab, tak bisa dipungkiri, kekuasaan merupakan kekuatan yang besar untuk dapat memperbaiki dan memajukan suatu bangsa atau negara.
Nah, terkait hal ini, ada sebuah fakta menarik di dunia Islam soal kepempinan. Yuk, cermati bagaimana kenabian Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam dan para nabi lainnya.
Diantara para nabi dan rasul, ada yang dikenal sebagai ulul Azmi. Mereka adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad Shalallahu alaihi wa salam. Apakah mereka berlima memperoleh gelar kerasulannya dari warisan orang tua?
Menurut Ibnu Katsir dalam kitab Qishasul Anbiya, nabi Nuh adalah anak orang biasa bernama Lamak bin Mutawasylih, nabi Musa adalah anak Imran bin Qaits. Sedangkan menurut Ibnu atsakir, nabi Ibrahim adalah anak seorang pembuat berhala bernama Azar bin Makhur. Sementara itu, Nabi Isa tak punya ayah. Dia adalah anak Maryam. Dan, nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa salam adalah putra dari Abdullah bin Abdul Muthalib yang bukan seorang nabi.
BACA JUGA: Kenapa Nabi Isa Kembali ke Dunia dan Bukan Nabi Muhammad?
Dalam sejarah, memang tercatat ada beberapa Nabi yang orang tuanya (bapaknya) juga Nabi. Diantaranya adalah nabi Sualiman anak nabi Daud, Nabi Ishak dan Nabi Ismail anak Nabi Ibrahim. Namun, tentu ada perbedaan besar antara mereka dan rasul-rasul ulul Azmi.
Allah berfirman:
“Dan ketika kami mengambil perjanjian dari para Nabi dan engkau (Muhammad) dan dari Nuh dan Ibrahim dan Musa dan Isa anak Maryam. Dan kami telah ambil dari mereka perjanjian yang teguh.” (QS Al Ahzab: 7)
Perbedaan itu terletak pada upaya dan hasil. Anak polisi yang jadi polisi atau anak dokter yang jadi dokter kesannya tak terlalu mengagumkan dibanding anak pemulung yang jadi polisi atau dokter, bukan? Tanpa diceritakan pun, tergambar jelas perbandingan usaha dan hasilnya (meski ini tak mutlak demikian).
Intinya, prinsip ulul azmi yang tercermin dalam sejarah para rasul tersebut, mampu membesarkan semangat bahwa siapapun bisa meraih prestasi, bahkan hingga ke puncak tertinggi, termasuk kursi kepemimpinan suatu negara atau pemerintahan.
Negeri yang dijiwai prinsip tersebut, tak akan memaksakan rezimnya sendiri yang terus-menerus mencengkram kekuasaan. Sebab, itu berarti mereka mengesampingkan keadilan. Sebaliknya, jika prinsip ulul azmi tersebut ditanamkan, maka rezim yang berkuasa akan senantiasa bersikap adil dan membuka kesempatan kepada siapa saja yang memiliki kemampuan dan kompetensi untuk maju dan berkembang demi negaranya.
Inilah yang telah dicontohkan oleh sahabat sekaligus Khulafaur rasyidin Umar bin Khattab ketika menghadapi kematian. Dia tahu dirinya tak bisa lagi memimpin umat Islam, maka para sahabat yang lain mulai membahas tentang penggati dirinya sebagai khilafah.
BACA JUGA: Saat Abu Bakar Memeluk Umar di Hari Kepergian Nabi
Mereka mengusulkan nama Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khattab sendiri untuk menggantikannya. Namun, apa tanggapan Umar bin Khattab?
“Cukup satu orang saja dari keluarga Umar yang akan dituntut Allah dalam urusan yang berat ini,” demikian yang disampaikan Umar bin Khattab.
Para sahabat berdalih, putra Umar pun merupakan orang yang sebaik Umar dalam hal akhlak dna ibadahnya. Mereka tak ragu untuk memilihnya menjadi khalifah. Bagaimana reaksi Umar bin Khattab atas argumentasi tersbeut?
“Yang takwa dan adil masih banyak, bukan hanya keluarga Umar,” demikianlah sikap dan ketegasan seorang pemimpin yang memperoleh didikan langsung dari seorang rasul ulul azmi, Muhammad rasulullah Shalallahu alaihi wa salam.
Jadi, pemimpin atau penguasa suatu negara yang baik, bukanlah orang yang memburu kekuasaan untuk diwariskan pada keturunan-keturunan atau kroni-kroninya. Melainkan, yang membuka kesempatan, akses dan peluang bagi siapa saja untuk maju. Bukan semata karena dia anak siapa atau uangnya berapa. Sebab, kelak, penentu kesuksesan itu terletak pada usahanya masing-masing. []
Sumber: Percikan Sains dalam Al Quran, Menggali Inspirasi Ilmiah/Karya: H. Bambang Pranggono/Penerbit: Niaga Swadaya/Tahun: 2005