Oleh: Newisha Alifa
DALAM hidup, kita sering kali larut dalam dogma-dogma masyarakat. Terkunci dalam klasifikasi, strata sosial, kasta, tingkatan, atau apalah itu namanya.
Sekalinya lurus, kita naifnya bukan main.
Menganggap semua manusia sama. Mengelukan bahwa perempuan dan laki-laki itu setara. Yang kelaparan dan bergelimang harta tiada beda. Tua muda bukan perkara. Level OB sampai Direktur punya hak dan kewajiban yang sama.
Seketika abai, bahwa dalam beragama sendiri ada tingkatannya. Yang beriman tidak sama dengan yang bertaqwa. Munafik tidak sama dengan kafir. Ada dosa kecil, ada dosa besar. Semua selalu ada kurang dan lebihnya di hadapan Allah.
Jadi, klasifikasi, pengkategorian, tingkatan, bisa dibilang adalah satu dari banyak Ketetapan Allah. Tinggal bagaimana kita menyikapi keadaan itu dengan sebaik-baiknya.
Apa yang besar dalam keluarga broken home, selalu lebih buruk dari mereka yang datang dari keluarga utuh?
Apa anak yatim piatu juga tidak lebih baik dari dia yang tumbuh dengan orangtua yang lengkap?
Apa seorang lulusan sekolah, kampus negeri selalu lebih unggul dari dia yang hanya lulusan swasta?
Apa pegawai negeri selalu lebih terhormat dari pegawai swasta?
Apa yang bekerja di perusahaan bonafit selalu lebih baik dari mereka yang memilih berwiraswasta?
Apakah guru selalu lebih mulia dari murid?
Apakah yang muda selalu dianggap lebih kerdil dari yang tua?
Apa yang miskin selalu lebih hina dibanding yang kaya?
Apa yang lajang selalu lebih memprihatinkan dibanding yang sudah menikah?
Apa yang belum dikaruniai keturunan tidak pernah lebih mulia dari mereka yang sudah memiliki anak?
Apa yang anaknya sepuluh selalu lebih baik dari mereka yang hanya diberikan anak semata wayang?
Apa pemimpin selalu lebih tinggi derajatnya dari seorang rakyat?
Apa seorang tukang kebun takkan pernah lebih mulia dari seorang manajer?
Apa yang lulusan SD takkan pernah bisa sesukses yang lulusan S1?
Apa ibu rumah tangga lebih rendah derajatnya dari ibu bekerja?
Apa ibu yang bekerja di luar rumah juga tak pantas mendamba surga ketimbang yang 24 jam bekerja di rumahnya?
Apa yang sakit selalu dalam keadaan lebih tak baik dari mereka yang sehat?
Apa yang sempurna fisiknya selalu lebih mulia di hadapan Allah ketimbang yang memiliki keterbatasan fisik?
Apakah mati di medan jihad adalah sebuah kemalangan? Dan bisa kembali dengan selamat selalu berarti keberuntungan?
Apakah semua yang mati di medan perang selalu berpulang ke surga?
Apakah negeri yang tiap harinya diwarnai dentuman bom, darah yang mengalir, airmata yang membasahi wajah para penduduknya selalu lebih baik dari negeri-negeri yang nampaknya lebih makmur? Rakyatnya bergelimang kemaksiatan tapi tetap bisa berfoya-foya?
Apakah yang mati muda selalu lebih menyedihkan dari yang mati di usia senja?
Apa yang matinya cepat selalu lebih pantas dianggap ‘orang baik’ ketimbang yang diberi usia lebih panjang?
Jawabannya, tidak selalu begitu.
Hakikatnya, setiap kondisi diri kita ini selalu bernilai ujian. Ujian yang akan menghantarkan kita untuk naik ke level selanjutnya atau justeru terperosok ke lembah kehinaan.
Jika kemiskinan membuatmu kufur, maka ia musibah bagimu. Namun sebaliknya, jika kau tetap bersyukur, berusaha dan bersabar maka ia berbuah pahala bagimu.
Jika kekayaan, jabatan, kemapanan hanya melalaikan dirimu dari mengingat Allah, maka sejatinya ia musibah bagimu. Namun ketika harta benda memudahkanmu untuk beribadah, membantu sesama, tentu ia bernilai berkah.
Pun begitu dengan kondisi lainnya. Bahkan utusan semulia Nabi Ayyub Alayhissalam pun bisa terkena penyakit menjijikan. Apa karena hal itu, beliau serta-merta menjadi hina di hadapan Allah?
Bagaimana dengan Fir’aun?
Dengan segala kekayaan dan kekuasaannya? Apa semua itu membuatnya menjadi mulia di hadapan Allah? Atau sebaliknya?
Apa sosok Maryam tidak lebih baik dari wanita lainnya hanya karena ia tak bersuami?
Apa sosok Asiyah seketika tercela hanya karena ia bersuamikan seorang lelaki durhaka seperti Fir’aun?
Apakah seorang Aisyah berkurang kemuliaannya hanya karena tak Allah takdirkan untuk memiliki keturunan?
Apakah seorang Khadijah yang janda kaya raya tak pantas bersanding dengan pemuda lajang yang saat itu status sosialnya berada di bawahnya?
Duhai diri …
Demi Allah! Pengetahuan serta kemampuan kita melihat itu sungguh sangat terbatas! Sering kali kita tertipu dengan apa yang kelihatannya begitu pasti, mutlak, padahal hakikatnya adalah kebalikannya.
Tugas kita bukan memastikan keadaan diri ini selalu lebih baik dari keadaan orang lain, bukan.
Apalagi melabeli diri lebih mulia dari orang lain. Jangan! Sebab jika begitu, kita telah mewarisi sifat iblis yang merasa lebih mulia dari Adam, karena ia diciptakan dari api, sementara Adam diciptakan dari tanah.
Tugas kita sudah sulit, Saudara-saudariku. Berusaha semaksimal mungkin, bahwa dalam setiap keadaan, apa pun yang sudah Allah tetapkan untuk kita jalani, bisa selalu bernilai ibadah. Bagaimana pun keadaan kita, selalu bisa menjadi berkah bukan musibah. Selalu membuat kita semakin dekat dengan-Nya, bukan sebaliknya menjauh dari-Nya. []