DULU sekali, seorang guru TK berkata,”Ayo siapa yang tahu, binatang apa yang awalnya dari huruf A?”.
Lalu, setiap anak mulai sahut menyahut, “Ayam, Anjing”, suara riuh rendah mereka saling bersahutan.
Tiba-tiba seorang anak berteriak, “Aku tahu bu guru, Cacing!”, wajah polosnya menampakan kebanggaan, ia bisa menjawab juga tak ketinggalan dari temannya.
BACA JUGA:Â Anak Saya Nggak Belajar
“Kamu salah, nak. Cacing itu diawali dari huruf C. Tadi ibu guru bertanya, binatang apa yang diawali dari huruf A?”, sungut sang guru dengan wajah tak ramah.
Sontak, muka polos anak tadi berubah nampak merah, entah malu atau kecewa. Ia menundukan kepala dan berhenti bicara.
Ia diam seribu bahasa. Seisi ruangan mengejeknya, “Huh kamu kan salah, aku yang benar, Ayam tahu!”.
“Aku juga benar, Angsa ya, bu Guru!”, seru yang lainnya.
Peristiwa yang amat sangat menyakitkan. Gigi kuning atau hitam masih bisa dibersihkan atau diputihkan, namun otak anak terluka sulit untuk disembuhkan.
Fitrahnya setiap anak senang belajar. Lalu, siapa yang membuat anak berhenti belajar? Siapa yang membuat anak harus disuruh untuk belajar? Siapa yang membuat anak takut belajar?
Lagi-lagi sebagai orangtua atau guru, kita harus mengevaluasi diri, ternyata kita lah yang telah “membunuh” potensi yang sudah anak miliki. Sekali anak dibilang salah, maka ia akan berhenti belajar.
BACA JUGA:Â Ini Kunci Sukses Mendidik Anak Sejak Dini Menurut Anies
Seharusnya guru tadi, mengapresiasi anak yang berteriak Cacing. Sebutkan saja faktanya. Benar didalam kata Cacing terdapat huruf A.
Ayam adalah nama binatang yang diawali dari huruf A. Angsa juga nama binatang yang diawali dari huruf A. Tentu semua teman tak lantas akan mengejek anak itu.
Kita terlampau banyak lupa, terlampau banyak keliru. Juga terlampau sedikit ilmu. Sehingga akibat kesalahan kita, anak yang seharusnya tumbuh dan berkembang sesuai fitrah, malah hancur lebur tak jelas juntrungannya. []