Orang-orang paling bahagia yang pernah hidup di muka bumi adalah para Nabi.
Ini terlepas dari kenyataan bahwa mereka lebih menderita daripada orang lain. Mereka harus menanggung penganiayaan berat dalam menyampaikan pesan yang Allah percayakan kepada mereka.
Di luar itu, mereka mengalami kesulitan yang sama dengan yang diderita semua manusia lain, seperti penyakit, kemiskinan, kelaparan, dan kehausan, dan seringkali lebih besar dari biasanya.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu berkata:
“Aku pernah mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sedang sakit. Kemudian Aku letakkan tanganku di atas selimut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku dapati panasnya (sangat panas karena yang disentuh adalah selimutnya, bukan badannya, pent).
Aku berkata, ‘wahai Rasulullah, betapa beratnya demam ini!’
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Sesungguhnya kami para nabi, diberi ujian yang sangat berat, sehingga pahala kami dilipat gandakan.’
Abu Said pun bertanya, ‘wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab;
‘Para nabi, kemudian orang shaleh. Sungguh ada di antara mereka yang diuji dengan kemiskinan, sehingga harta yang dimiliki tinggal baju yang dia gunakan. Sungguh para nabi dan orang shaleh itu, lebih bangga dengan ujian yang dideritanya, melebihi kegembiraan kalian ketika mendapat rezeki.’ (HR Baihaqi)
BACA JUGA: Pengakuan Suku Khazraj atas Kenabian Rasulullah
Dia juga menderita kelaparan. Suatu ketika, selama masa penganiayaan, Nabi SAW keluar dari rumahnya dan menemukan Abu Bakar dan Umar berada di luar. Dia bertanya kepada mereka:
“Apa yang membawamu keluar pada jam ini?”
Mereka mengatakan kepadanya bahwa kelaparan lah yang menyebabkan mereka keluar. Nabi SAW kemudian berkata:
“Demi Allah, hal yang sama yang telah membawamu keluar dari rumahmu juga telah membawaku keluar.”
Kadang-kadang, seperti selama Pertempuran Khandaq, Nabi menghadapi kelaparan yang sangat parah sehingga ia harus mengikat dua batu ke perutnya dalam upaya untuk meredakan rasa sakit.
Kendati menanggung penderitaan yang berat, hati para nabi itu kuat. Selain itu, mereka tetap terbuka hati dan murah hati kepada orang-orang dan mereka bertahan sampai kekalahan mereka berubah menjadi kemenangan.
Keindahan hidup mereka menakjubkan. Terlepas dari apa yang harus mereka tanggung, mereka tahu lebih banyak kebahagiaan dan kepuasan daripada orang lain. Ini dapat dilihat dari bagaimana mereka berperilaku dan bagaimana mereka menanggapi apa yang mereka temui dalam hidup.
Kita melihat kepuasan luar biasa ini dalam kehidupan Nabi Muhammad (saw) dengan sangat jelas ketika dia menghadapi kesulitan terbesar. Misalnya, suatu kali dia pergi untuk menyebarkan pesan Islam kepada orang-orang Ta’if. Mereka tidak hanya menolak panggilannya, tetapi warga kota itu mengusirnya dengan melempari batu.
Dia melarikan diri dari kota dengan alas kaki terendam darahnya sendiri, dan tubuhnya berlumuran darah dan tanah. Begitu aman dari kota, ia mengangkat suaranya kepada Allah dalam permohonan.
”Ya Allah, Aku mengadukan kepadamu lemahnya kekuatanku, dan sedikitnya daya upayaku pada pandangan manusia. Wahai yang Maha Pengasih, Engkaulah Tuhan orang-orang yang merasa lemah, dan Engkaulah Tuhanku. Kepada siapakah Engkau serahkan diriku, kepada musuh yang akan menguasaiku atau kepada keluargaku yang Engkau berikan segala urusanku. Tiada suatu keberatan asal tetap dalam ridha-Mu. Afiatmu lebih berharga bagiku. Aku berlindung kepada-Mu dengan nur wajah-Mu, yang menyinari segala kegelapan, dan yang memperbaiki urusan dunia dan akhirat, dari turunnya murka-Mu atasku atau turunnya azab-Mu atasku. Kepada Engkaulah kuadukan, hingga Engkau ridla. Tiada daya dan upaya melainkan dengan-Mu.”
Tes dan Iman Sejati
Iman sejati kepada Allah adalah apa yang membawa kepuasan dan kebahagiaan semacam ini ke hati. Ini tidak berarti bahwa kehidupan orang percaya akan bebas dari kesulitan.
Ketika kita berbicara tentang berlalunya waktu – ketika kita berbicara tentang minggu, bulan, tahun, dan usia – kita berbicara tentang kehidupan. Orang mati tidak mengalami waktu. Berabad-abad berlalu dan mereka lalai dari semua itu. Allah telah menjadikan hidup ini sebagai cobaan bagi yang hidup. Allah berfirman:
“Dia yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara kamu yang terbaik dalam perbuatan.” (QS 67: 2)
Hidup adalah ujian bagi orang yang beriman dan yang tidak percaya. Itu adalah ujian bagi orang berdosa dan juga bagi orang yang saleh. Semua orang sedang diuji selama mereka masih hidup.
BACA JUGA: Nabi Nuh; Rasul Pertama
Tetapi Allah tidak meninggalkan kita di dunia ini sendirian. Dia mengirim para Nabi dan tulisan suci kepada kita untuk menerangi jalan kita melalui kehidupan. Bimbingan ini tidak hanya untuk menunjukkan kepada kita bagaimana mencapai kebahagiaan di akhirat, tetapi juga untuk kehidupan ini.
Banyak orang berpikir agama hanya tentang akhirat, bahwa manfaatnya terbatas pada kehidupan selanjutnya. Yang benar adalah bahwa seperti halnya agama menunjukkan kepada kita cara untuk mencapai keridhaan Allah dan pahala dari Firdaus, itu adalah cara yang dengannya orang beriman menyadari kepuasan sejati dan hati yang bahagia di dunia ini juga. Kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari iman dan pengetahuan Allah.
Allah berfirman:
“Apakah orang yang hatinya Allah telah membuka untuk Islam, sehingga memiliki pencerahan dari Allah (tidak lebih baik dari orang yang keras hati)? Celakalah orang-orang yang hatinya keras untuk tidak mengingat Allah!” (QS 39: 22). []
SUMBER: ISLAM TODAY | ABOUT ISLAM