Oelh: Ustaz Qomar Suaidi, Lc.
ULAMA adalah pewaris para nabi. Menghormati dan menaati petuahnya termasuk menaati Allah dan Rasulnya. Sayangnya pada zaman sekarang terlalu banyak dan mudah orang digelari ulama. Di negeri ini saja, mungkin ada jutaan orang bergelar “ulama”. Namun siapakah sesungguhnya ulama itu?
Hingga kini banyak perbedaan dalam mendefinisikan ulama. Sehingga perlu dijelaskan siapa hakikat para ulama itu.
BACA JUGA: Nasihat Ulama untuk Khalifah Harun Ar-Rasyid
Untuk itu kita akan merujuk kepada penjelasan para ulama Salafus Shalih dan orang-orang yang menelusuri jalan mereka. Kata ulama itu sendiri merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim, yang artinya orang berilmu. Untuk mengetahui siapa ulama, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan ilmu dalam istilah syariat, karena kata ilmu dalam bahasa yang berlaku sudah sangat meluas.
Adapun makna ilmu dalam syariat lebih khusus yaitu mengetahui kandungan Al-Qur’anul Karim, Sunnah Nabawiyah dan ucapan para shahabat dalam menafsiri keduanya dengan mengamalkannya dan menimbulkan khasyah (takut) kepada Allah SWT.
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Seluruh ilmu selain Al-Qur’an adalah hal yang menyibukkan kecuali hadits dan fikih, serta memahami agama. Ilmu adalah yang padanya terdapat haddatsana (telah mengabarkan kepada kami – yakni ilmu hadits) dan selainnya adalah bisikan-bisikan setan.”
Ibnul Qayyim menyatakan, “Ilmu adalah berkata Allah SWT, berkata Rasul-Nya, berkata para shahabat yang akal sehat tiada menyelisihinya.” (Al-Haqiqatusy-Syar’iyah: 119-120)
Dari penjelasan makna ilmu dalam syariat, maka orang alim atau ulama adalah orang yang menguasai ilmu tersebut, mengamalkannya, dan menumbuhkan rasa takut kepada Allah SWT. Oleh karenanya dahulu sebagian ulama menyatakan ulama adalah orang yang mengetahui Allah SWT dan mengetahui perintah-Nya. Ia adalah orang yang takut kepada Allah SWT, mengetahui batasan-batasan syariat-Nya dan kewajiban-kewajiban-Nya. Rabi’ bin Anas menyatakan, “Barangsiapa tidak takut kepada Allah bukanlah seorang ulama.”
AllahSWT berfirman,
إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah ulama .” (QS. Fathir: 28)
Kesimpulannya, orang-orang yang pantas menjadi rujukan dalam masalah ini adalah yang berilmu tentang kitab Allah SWT dan Sunnah Rasul-Nya serta ucapan para shahabat. Dialah yang berhak berijtihad dalam hal-hal yang baru. (Ibnu Qoyyim, subhanahu wa ta’ala’lam Muwaqqi’in 4/21)
BACA JUGA: Dimana Para Ulama Islam Dilahirkan?
Ibnu Majisyun, salah seorang murid Al-Imam Malik mengatakan, “Dahulu (para ulama) menyatakan, ‘Tidaklah seorang itu menjadi imam dalam hal fikih sehingga menjadi imam dalam hal Al Qur’an dan Hadits. Dan tidak menjadi imam dalam hal hadits sehingga menjadi imam dalam hal fiqh.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm: 2/818)
Al-Imam Asy-Syafi’i menyatakan, “Jika ada sebuah perkara yang musykil (rumit) jangan mengajak musyawarah kecuali kepada orang yang terpercaya dan berilmu tentang Al Kitab dan As Sunnah, ucapan para shahabat, pendapat para ulama’, qiyas dan bahasa Arab.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm: 2/818)
Merekalah ulama yang hakiki, bukan sekedar pemikir harakah, orator, mubaligh penceramah, aktivis gerakan dakwah, ahli membaca kitabullah, ahli taqlid dalam mazhab fikih, dan ulama suu’ (jahat), atau ahlu bid’ah. Tapi ulama hakiki yang istiqamah di atas As-Sunnah. Wallahu a’lam. []
SUMBER: ASYSYARIAH