PBB menggambarkan Rohingya sebagai “etnis minoritas paling teraniaya di dunia.”
Mereka adalah kelompok etnis Muslim yang telah tinggal selama berabad-abad di negara dengan mayoritas penganut Buddha tersebut.
Saat ini, diperkirakan ada sekitar 1,1 juta Muslim Rohingya yang tinggal di Myanmar.
Rohingya berbicara dengan bahasa Ruaingga, sebuah dialek yang berbeda dengan aksen lainnya yang diucapkan di Rakhine dan Myanmar.
Rohingya tidak dianggap sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis resmi di negara tersebut. Selain itu mereka ditolak status kewarganegaraannya di Myanmar sejak 1982. Hal tersebut otomatis membuat mereka tidak memiliki status kewarganegaraan.
Tak lama setelah kemerdekaan Myanmar dari Inggris pada tahun 1948, Undang-undang Kewarganegaraan Uni disahkan. UU ini menentukan etnis mana yang bisa mendapatkan hak kewarganegaraan di Myanmar.
Menurut laporan Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional di Yale Law School tahun 2015, Rohingya awalnya diberi identifikasi atau kewarganegaraan seperti di bawah ketentuan generasional. Selama itu, beberapa etnis keturunan Rohingya juga bertugas di parlemen.
Pada 1982, sebuah undang-undang kewarganegaraan baru disahkan, dimana secara mutlak membuat Rohingya tidak memiliki status kewarganegaraan.
Di bawah regulasi baru, Rohingya kembali tidak dikenal sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis di negara ini. Banyak Rohingya yang tidak memiliki dokumen semacam itu, karena sebelumnya memang tidak tersedia atau ditolak pengajuannya oleh Pemerintah Myanmar.
Alhasil, hak mereka untuk belajar, bekerja, bepergian, menikah, mempraktikkan agama mereka dan mengakses layanan kesehatan semakin dibatasi.
Rohingya tidak dapat memberikan hak suaranya dalam pemilu, dan bahkan jika mereka mengikuti tes kewarganegaraan, mereka harus mengidentifikasi diri mereka sebagai warga “naturalisasi”, dengan pembatasan tertentu pada mereka. Seperti dilarang memiliki profesi kedokteran, hukum atau untuk jabatan tertentu. []
Red: Ai Maesaroh