PEMBAHASAN tentang hal ini merupakan perkara mendasar sebelum kita lebih lanjut mengkaji ushul fiqih. Hukum yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah apa yang harus disikapi oleh manusia terhadap suatu perbuatan atau suatu benda. Jadi, pertanyaan siapakah yang berhak mengeluarkan hukum berarti siapakah yang berhak menentukan sikap manusia terhadap suatu perbuatan atau suatu benda.
Pembahasan ini fokus untuk mengetahui apakah suatu perbuatan atau benda itu baik (الحسن) atau buruk (القبح) bagi manusia. Artinya, untuk perbuatan, apakah suatu perbuatan harus dilakukan oleh manusia, harus ditinggalkan atau manusia boleh memilih antara melakukan atau meninggalkannya.
Dan untuk benda, apakah kita boleh memanfaatkan benda tersebut sesuai kegunaannya atau tidak.
Hal ini sangat penting untuk diketahui agar manusia bisa mengatur kehidupannya sesuai dengan kesimpulan yang didapatkannya. Jika kesimpulan yang diambil keliru, maka kehidupannya akan sesat dan merugi, sedangkan jika kesimpulan yang diambil tepat, maka kehidupannya akan berada pada jalan yang lurus dan beruntung.
BACA JUGA: Hukum Berprofesi Sebagai Tukang Bekam
Akal Tak Mampu Mengetahui Apa yang Baik (الحسن) dan Buruk (القبح) Bagi Manusia
Sebelum lebih lanjut, saya ingin mendefinisikan dulu apa yang dimaksud baik (الحسن) dan buruk (القبح) dalam pembahasan ini.
Dalam penetapan baik dan buruk, maka hal itu bisa ditinjau dari tiga aspek, yaitu:
1. Dari aspek fakta
2. Dari aspek kesesuaian dengan tabiat dan kecenderungan fitrah manusia
3. Dari aspek keterpujian (المدح) dan ketercelaan (الذم) atau dari aspek pahala (الثواب) dan dosa (العقاب)
Penetapan baik dan buruk pada aspek pertama dan kedua diserahkan kepada akal manusia. Mengapa bisa begitu? Untuk diketahui, akal adalah proses pemindahan (penerjemahan) fakta yang telah diindra ke dalam otak disertai dengan adanya informasi sebelumnya yang akan menafsirkan fakta tersebut, kemudian mengkaitkan fakta yang telah diindra dengan informasi tersebut. Itulah akal.
Makanya orang gila dikatakan orang yang tak berakal karena ia tak mampu mengkaitkan fakta yang diindranya dengan informasi yang ada pada dirinya sebelumnya. Demikian juga, sesuatu dikatakan tak masuk akal jika tidak ada faktanya atau manusia tak mampu mengindranya.
Dari sini bisa dipahami mengapa penetapan baik dan buruk pada aspek pertama dan kedua diserahkan kepada akal manusia. Untuk aspek pertama, akal mampu menilai sesuatu yang secara fakta memang baik atau buruk.
Misalnya ilmu itu baik dan kebodohan itu buruk, karena faktanya ilmu itu menunjukkan kesempurnaan sedangkan kebodohan itu menunjukkan kekurangan.
Untuk aspek kedua, sesuatu yang dinilai oleh tabiat atau kecenderungan fitrah manusia baik maka bisa dikatakan sebagai sesuatu yang baik.
Demikian pula sebaliknya. Misalnya menolong orang yang tenggelam adalah baik dan membiarkannya celaka adalah hal yang buruk, karena tabiat dan fitrah manusia cenderung untuk menyelamatkan orang yang akan binasa.
Sedangkan untuk aspek ketiga, yaitu aspek keterpujian (المدح) dan ketercelaan (الذم) atau dari aspek pahala (الثواب) dan dosa (العقاب), maka akal tak bisa berperan dalam hal ini. Akal tak mampu menentukan apakah sesuatu (perbuatan atau benda) itu berpahala atau sebaliknya, karena pahala dan dosa bukan fakta yang bisa diindra manusia.
Penentuan baik dan buruk untuk aspek ketiga ini sepenuhnya harus diserahkan pada Pencipta manusia, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala (maksudnya melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah serta dalil-dalil yang ditunjukkan oleh keduanya. Hal ini akan dibahas kemudian).
Sedikit tentang aspek pertama dan kedua. Jika sesuatu kita duga sebagai sesuatu yang baik atau buruk berdasarkan aspek pertama dan kedua, namun ternyata menurut aspek ketiga adalah sebaliknya, maka kita wajib mengikuti berdasarkan aspek ketiga.
Sebagai contoh, membunuh manusia, berdasarkan aspek kedua, adalah hal yang buruk, namun membunuh orang kafir di medan jihad menurut aspek ketiga adalah hal yang baik. Maka kita harus menyimpulkan bahwa membunuh orang kafir di medan jihad adalah hal yang baik (الحسن).
Jadi bisa kita simpulkan bahwa penetapan baik (الحسن) dan buruk (القبح) harus diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan kepada akal manusia yang sangat terbatas.
Apa yang saya jelaskan diatas adalah dalil ‘aqli tentang penetapan baik (الحسن) dan buruk (القبح). Adapun dalil syar’i yang menyatakan penetapan baik dan buruk harus diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya banyak sekali terdapat dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, beberapa diantaranya akan saya cantumkan dibawah ini.
Dalil Al-Qur’an:
يأيها الذين ءامنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم ، فإن تنـزعتم فى شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الأخر ، ذلك خير وأحسن تأويلا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah).” (QS. An-Nisaa’ [4]: 59)
يأيها الذين ءامنوا أطيعوا الله ورسوله ولا تولوا عنه وأنتم تسمعون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berpaling dari pada-Nya, sedang kalian mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. Al-Anfaal [8]: 20)
قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله ويغفر لكم ذنوبكم ، والله غفور رحيم
Artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imraan [3]: 31)
فليحذر الذين يخالفون عن أمره أن تصيبهم فتنة أو يصيبهم عذاب أليم
Artinya: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nuur [24]: 63)
Dalil As-Sunnah:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Artinya: “Barangsiapa yang membuat sesuatu (perkara) baru dalam urusan kami ini, yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhari, Muslim dan selainnya)
BACA JUGA: Apa Hukum Wudhu Mengenakan Sepatu atau Pembalut Luka?
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه
Artinya: “Telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya kalian tak akan akan tersesat selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من أهله وماله والناس أجمعين
Artinya: “Tidak beriman (maksudnya: tidak sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian hingga aku lebih dicintainya daripada keluarganya, hartanya dan seluruh manusia.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Majah)
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah diatas, semakin jelaslah bahwa yang berhak mengeluarkan hukum adalah asy-Syari’ (Al-Qur’an, As-Sunnah dan dalil-dalil yang ditunjukkan oleh keduanya).
Bahan bacaan artikel siapakah yang berhak mengeluarkan hukum:
1. Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz 3, karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Penerbit Daar al-Ummah, Beirut-Libanon (ebook)
2. Taysir al-Wushul ila al-Wushul, karya Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah, Penerbit Daar al-Ummah, Beirut-Libanon (ebook)
3. Mafahim Hizb at-Tahrir, karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Penerbit Hizbut Tahrir (buku cetak)
Facebook: Muhammad Abduh Negara
Web: Abufurqan.net