MENURUT Imam Syafi’i, seorang yang afqah (lebih faqih) lebih diutamakan/lebih didahulukan untuk menjadi imam daripada seorang yang aqra’ (lebih banyak hafalan Qur’annya). Karena yang dibutuhkan oleh imam berupa bacaan Qur’an merupakan sesuatu yang bisa dikontrol atau dikendalikan. Yang namanya hafalan Qur’an yang itu-itu saja, dari surat Al-Fatihah sampai surat An-Naas. Adapun kebutuhan seorang imam terhadap fiqh merupakan sesuatu yang tidak bisa dikontrol atau dikendalilan.
Terkadang, terjadi suatu perkara di dalam salat yang tidak bisa mengerti mana yang benar kecuali orang yang benar-benar memahami fiqh secara sempurna. Ini juga merupakan madzhab Imam Malik dan imam Abu Hanifah.
BACA JUGA: Sikap Imam Hanafi terhadap Para Pendengkinya
Oleh karena itu, Nabi ﷺ lebih mengutamakan Abu Bakar Ash-Shidiq –radhiallahu ‘anhu- untuk menjadi imam menggantikan beliau, padahal pada saat yang sama ada beberapa sahabat yang lain yang lebih aqra’ (lebih banyak hafalan Qur’annya). Hadisnya tercantum dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim. Lalu bagaimana dengan hadis nabi ﷺ :
«يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ»
“Orang yang paling banyak dan paling bagus hafalan Qur’annya adalah yang mengimami suatu kaum.” [HR. Muslim].
Jawab : kalimat itu asalnya ditujukan untuk para sahabat. Dimana secara umum seorang yang aqra’(lebih banyak hafalan Qur’annya) dari kalangan sahabat, secara otomatis afqah (lebih faqih). Jadi makna kalimat di atas “Yang mengimami suatu kaum, yang paling banyak hafalannya dan paling faqih”. Sisi hafalan Qur’annya disebutkan secara “tersurat”, adapun sisi kefaqihannya disebutkan secara “tersirat”. Demikian dijelaskan di dalam kitab “Nailul Maram” (2/121).
BACA JUGA: Mendahului Imam
Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) berkata :
وَإِنْ تَعَارَضَتْ الْأَسْبَابُ فَفِيهِ خَمْسَةُ أَوْجُهٍ (أَصَحُّهَا) عِنْدَ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا وَهُوَ الْمَنْصُوصُ الَّذِي قَطَعَ بِهِ الْمُصَنِّفُ وَالْأَكْثَرُونَ وَنَقَلَهُ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ عَنْ الْأَصْحَابِ أَنَّ الْأَفْقَهَ مُقَدَّمٌ عَلَى الْأَقْرَأِ وَالْأَوْرَعِ وَغَيْرِهِمَا لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ وَبِهَذَا قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَأَبُو ثَوْرٍ
“Jika sebab-sebab (yang mendasari seorang berhak menjadi imam salat) saling bertentangan, maka ada lima pendapat, yang paling SHAHIH (benar) menurut mayoritas para sahabat kami, dan ia merupakan perkara yang telah dinyatakan secara jelas (oleh imam Asy-Syafi’i), telah dipastikan oleh mushannif (pengarang, maksudnya Imam Asy-Syirazi), dan kebanyakan dari ulama’ Syafi’iyyah, serta dinukil oleh Syaikh Abu Hamid (Al-Ghazali) dari para sahabat (imam Asy-Syafi’i), sesungguhnya orang yang lebih faqih lebih diutamakan dari seorang yang lebih banyak hafalannya, lebih wara’, dan selain keduanya berdasarkan apa yang telah disebutkan oleh pengarang. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-Auza’i, dan Abu Tsaur.”[Al-Majmu’ : 4/282].
Idealnya, yang menjadi imam adalah seorang yang faqih dan banyak hafalannya. Jika tidak ada, maka yang paling faqih, baru kemudian jika tidak ada, maka yang paling banyak hafalannya terhadap Al-Qur’an. Wallahu a’lam. []
Facebook: Abdullah Al Jirani