IA berkewarganegaraan Swiss namun hatinya ada di New York. Isa Kocher namanya, cendikiawan, veteran perang AS yang kerap menyebut dirinya eksentrik. Kini Isa tinggal di Istanbul, tepatnya di pinggiran kota, dalam kawasan industri Ikitelli.
Isa resmi memeluk Islam sejak usia 12 tahun. Ia mengaku telah mendalami semua agama sebelum akhirnya melabuhkan diri pada Islam. Alasan Isa, filosofi yang berlandaskan kedamaian dalam Islam telah menyentuhnya.
“Saya memilih meyakini Islam karena dunia ada untuk perdamaian. Ini bukan kedamaian yang diperoleh dari menghisap ganja, perdamaian adalah perjuangan,” katanya.
“Saya selalu terbiasa marah, hampir setiap hari, jadi saya memang tak punya pembawaan damai, tapi ini pilihan,” lanjut Isa.
Ia mengaku itu tak mudah. “Namun itu satu-satunya pilihan. Anda tak bisa memenangkan pertarungan karena selalu akan ada orang yang lebih baik, lebih besar dan di atas anda,” ujarnya.
Isa Kocher berkenalan dengan Islam lewat buku-buku karya Washington Irving. Ia mengucapkan syahadat untuk pertama kali saat masih bocah, 12 tahun. Kemudian, ia menjadi jamaah di sebuah masjid di Tribeca, New York, di mana ia menyeduh teh dan memasak nasi setiap malam.
Seniman dan Simpatisan Demokrat
Isa telah tinggal dan bepergian di berbagai negara di dunia. Ia juga memiliki banyak anak angkat, tersebar di tempat-tempat yang pernah ia singgahi dan juga segudang aktivitas.
Dari perjalanannya keliling dunia, Isa mengaku menjelajah Turki lebih mendalam. Ia mencintai keramah-tamahan penduduk Turki yang ia jumpai dan menuturkan tak pernah sehari pun menginap di hotel selama bepergian di negara itu.
“Setiap kali saya mengunjungi masjid untuk shalat, saya akan menjumpai diri saya bersama seluruh tas ransel berpindah ke rumah seseorang,” tuturnya. Ia juga mengungkapkan kecintaan mendalam dengan budaya Turki dan salah satu hobi utamanya ialah mengunjungi makam orang suci dan bangunan yang didirikan oleh ahli bangunan masa Ottoman, Mimar Sinan.
Meski ia juga mengatakan sulit hidup di Istanbul bila tidak kaya. Ia menuturkan penduduk setempat bingung bersikap padanya ketika ia mulai tinggal di pinggiran Instanbul.
“Mereka merasa lebih yakin ketika mereka tahu saya seorang guru besar, sudah pernah berhaji dan berbicara dengan banyak bahasa. Kadang saat festival Muharram saya membuat beberapa makanan khas As Syura untuk siapa saja yang tinggal di lingkungan. Kira-kira sekitar 25 kilometer luasnya, jadi cukup untuk latiha berjalan kaki,” ujarnya tergelak.
Islam telah banyak menunjukan kedamaian serta ahlaknya yang begitu ramah terhadap sesama, hingga seorang Isa Kocher pun memilih untuk melabuhkan diri pada Islam.
Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, pantas saja banyak mualaf yang bertekuk lutut di hadapan Islam dan meyakininya dengan sepenuh hati. Semoga kita yang telah Allah jadikan muslim dari semnjak lahir, selalu mentotalitaskan ibadah kita. []
Sumber: Hurriyet Daily News.