TAK ada manusia yang ingin hidup miskin. Jika ditanya apakah seseorang ingin kaya atau miskin, sudah pasti menjawab kaya. Punya banyak harta memang tidak dilarang agama, meski demikian kita tak boleh bersifat rakus dan tamak dengan harta. Tak peduli halal haram dan berani korupsi demi memperkaya diri bersiap-siaplah untuk menerima azab dari Allah SWT.
Apalagi saat ini kita hidup dalam era modern yang lazim disebut era digital. Segala kebutuhan dan kepentingan hajat hidup hampir semua dapat dikerjakan hanya dengan menekan digit. Mulai dari kebutuhan primer hingga kebutuhan pelengkap.
BACA JUGA: Cara Mengobati Rakus dan Tamak
Bayangkan saja bila kita memasak nasi. Cukup hanya sekali tekan tombol cooking setelah beras dicuci dan dimasukkan ke dalam Rice cooker, niscaya beberapa saat kemudian beraspun berubah menjadi nasi hangat yang siap dinikmati bersama keluarga.
Akankah kehidupan yang serba digital membuat kita semakin banyak keinginan dan semakin tamak kepada kehidupan dunia ini?
Memang tidak bisa dipungkiri kecintaan dan sikap rakus akan muncul dihati kita semua. Orang yang haus terhadap dunia, selalu ingin memperbanyak harta dengan rakus tamak, terbiasa mengeluh, dan selalu meminta. Sesungguhnya sikap pasrah terhadap sifat tamak (rakus) tidak ada akhirnya apabila seseorang melepaskan tali kendali nafsu syahwatnya. Disebutkan dalam hadits:
إِنَّ هذَا اْلمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ, فَمَنْ أَخَذَهَا بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْهِ, وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيْهِ, كاَلَّذِي يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ
“Sesungguhnya harta ini berwarna hijau serta manis, maka barangsiapa yang mengambilnya dengan kemurahan jiwa niscaya diberikan berkah baginya pada harta itu. Dan barangsiapa mengambilnya dengan nafsu serakah niscaya tidak diberikan berkah baginya pada harta itu, seperti orang yang makan dan tidak pernah kenyang…”
Sifat tamak menguasai orang-orang yang melakukan persaingan dalam urusan dunia dan perhiasannya, yang selalu memperhatikan orang-orang yang di atas mereka.
Imam an-Nawawi rah memberikan alasan terhadap hal itu dengan katanya: “Karena apabila manusia melihat kepada orang yang diberikan karunia dalam perkara dunia, nafsunya menuntut seperti hal itu dan menganggap kecil/remeh nikmat Allah ta’ala yang ada padanya, ingin bertambah, supaya bisa menyusul dengan hal itu atau mendekatinya, inilah realita mayoritas manusia…’
Fenomena ini sangat nampak jelas dikehidupan kita dewasa ini. Akankah kita sebagai seorang muslim enggan selamat dan bahagia didunia dan akhirat nanti.
Orang beriman merasa senang dan puas menerima rezeki yang telah dikaruniakan Allah kepadanya, serta merasa bersyukur atas rezeki yang diterimanya. Makan dengan apa adanya akan terasa nikmat tiada terhingga jika dilandasi dengan qanaah dan syukur.
Sebab, pada saat seperti itu ia tidak pernah memikirkan apa yang tidak ada di hadapannya. Justru, ia akan berusaha untuk membagi kenikmatan yang diterimanya itu dengan keluarga, kerabat, teman atau pun tetangganya.
Namun hendaklah kita tidak salah pengertian tentang makna dan arti qanaah, bukanlah qanaah merasa senang dengan segala kekurangan dan kehidupan yang rendah, lemah semangat dan kemauan untuk mencapai cita-cita yang lebih tinggi, mati keinginan untuk mencapai kemajuan moril dan materil, atau kelesuan untuk membebaskan diri dari kelaparan, kemiskinan dan kesengsaraan. Meski demikian, orang-orang yang memiliki sikap qanaah tidak berarti menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang yang hidup qona’ah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, namun bukan untuk menumpuk kekayaan.
BACA JUGA: Mana yang Lebih Diutamakan, Istri, Ibu atau Mertua?
Kekayaan dan dunia yang dimilikinya, dibatasi dengan rambu-rambu Allah ta’ala, dengan demikian, apa pun yang dimilikinya tak pernah melalaikan dari mengingat Sang Maha Pemberi Rezeki. Sebaliknya, kenikmatan yang ia dapatkan justru menambah sikap qona’ah-nya dan mempertebal rasa syukurnya.
Iman memberikan kepada manusia kepuasan akan apa yang diberikan Allah, dalam hal-hal yang tidak bisa kita merubahnya atau kesanggupan untuk mencapainya, biar dengan usaha dan tipu daya manapun. Apalagi dalam masa kesusahan dan kesulitan yang menimpa perorangan dan masyarakat, qona`ah memberikan pertolongan bagi ketentraman dan perdamaian dalam jiwa.
Jasa keimanan ini sangat besar dalam membatasi jiwa manusia dari memperturutkan nafsu yang tidak berkesudahan, tidak cukup dengan sedikit, tidak puas dengan yang banyak, tidak memadai dengan yang halal dan wajar, sehingga senantiasa dalam keadaan tidak puas, haus dan berkeluh kesah. Maka timbullah cara-cara pencarian rezeki di luar batas hukum dan kemanusiaan, hanya berpedoman asal dapat, tidak perduli bahaya bagi diri dan masyarakat. Naudzubillah min dzalik. []
SUMBER: BIMBINGAN ISLAM