Oleh: Muhamad Ridwan
Alumni PAAP Unpad, Alumni Ma’had Al-Imarat Bandung, mahasiswa STAIPI Bandung
DINAR Dewi Kania mengatakan bahwa ilmu merupakan produk dari pandangan alam (worldview) suatu bangsa, agama, budaya atau peradaban, karena ia mengandung nilai dan kepercayaan suatu masyarakat sehingga ilmu tidak bebas nilai (value free). Prinsip-prinsip epistemologi Islam perlu diderivasi dari pandangan alam Islam untuk memperoleh framework pemikiran yang tentunya bersummber dari al-Qur’an dan hadits serta tradisi intelektual Islam. [1]
Setelah Barat gagal memaksa umat Muslim agar mengikuti ide-ide dan pandangan hidupnya melalui konfrontasi langsung atau perang fisik dan kristenisasi (Kristen yang telah di-Hellenisasi-kan dan dibaratkan), kali ini mereka menggunakan ilmu pengetahuan. [2]
Allah SWT berfirman:
“Orang-orang Yahudi dan Kristen tidak akan pernah rela kepadamu hingga kamu mengikuti millah (agama) mereka. Katakanlah, Sesungguhnya petunjuk Allah (Islam) itulah petunjuk (yang sesungguhnya, sedangkan yang selainnya hanyalah kesesatan belaka.) Sesungguhnya, jika kamu ikuti keinginan mereka (yakni apa-apa yang mereka anjurkan) setelah datangnya pengetahuan (wahyu) kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan tidak pula menolong.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 120).
Hancurnya belenggu penjajahan Barat tidak lantas menjadikan umat Islam benar-benar bebas. Kini kaum Muslimin sedang menghadapi dan mengalami serangan batin yang jauh lebih hebat dari segala serangan terdahulu yang telah dihadapinya dalam sejarah. Kini yang dihadapi bukanlah bala tentara bangsa-bangsa Barat dan bukan pula hanya kepandaian mereka, tetapi juga segala kehandalan, kekuasaan dan kehebatan kebudayaan dan tamadun Barat itu pada keseluruhannya.
Bangsa-bangsa Barat ketika menjajah negara-negara Muslim telah menjalankan dua tindakan penting yang berdampak besar bagi umat Islam. Pertama, memutuskan kaum Muslimin dari ilmu pengetahuan mengenai Islam dengan cara yang perlahan menuju sistem pelajaran; kedua, memasukkan secara halus ke dalam sistem pelajaran itu paham ilmu Barat, unsur-unsur, nilai-nilai, dan paham serta konsep-konsep kebudayaan Barat yang akan sedikit banyak menggantikan unsur-unsur, nilai-nilai, paham, serta konsep-konsep Islam, dan memutuskan hubungan kebudayaan Islam di kalangan umat Islam seluruhnya. [3]
Kita mengetahui bahwa ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah dan universitas-universitas hari ini hampir semuanya mengacu kepada Barat, mulai dari sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, fisika, biologi, filsafat, bahkan hingga ilmu agama Islam. [4]
Tan Sri Profesor Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengatakan bahwa umat Muslim yang mempelajari ilmu-ilmu dari Barat mengira seolah-olah sifat ilmu tersebut tak berpihak, netral, tak ada baik-buruknya sehingga tanpa ragu ataupun sikap waspada menelannya bulat-bulat. Padahal, ilmu adalah alat yang sangat halus dan tajam yang digunakan untuk mempropagandakan cara dan pandangan hidup mereka. Kita mesti tahu lalu sadar bahwa ilmu pengetahuan itu tidaklah bersifat netral; masing-masing budaya memiliki paham tertentu mengenainya. Meskipun ada kesamaan, tetapi di antara Islam dan kebudayaan Barat terdapat perbedaan mengenai ilmu yang demikian dalam dan mutlak seakan-akan jurang yang tak dapat dihubungkan dan tak dapat dipertemukan. [5]
Ilmu pengetahuan telah diresapi elemen-elemen pandangan hidup atau pandangan alam (worldview), agama, kebudayaan, dan peradaban perorangan. Selain itu, sering pendapat dan spekulasi yang merefleksikan unsur-unsur kepribadian, agama, dan kebudayaan dianggap sebagai ilmu pengetahuan. [6]
Penyebaran prinsip-prinsip dasar pandangan alam Barat dan pengukuhannya secara halus pada pemikiran orang Islam berjaya dilakukan perlahan-lahan melalui sistem pendidikan yang didasarkan pada konsep ilmu dan prinsip-prinsipnya yang pada akhirnya menyebabkan deislamisasi pemikiran orang Islam. [7] Umat Muslim menjadi kehilangan identitas jati dirinya dan prinsip atau pandangan hidupnya menjadi terbaratkan.
Salah satu contohnya adalah dalam pelajaran psikologi. Malik B. Badri, seorang ahli psikologi modern menyatakan bahwa ketidakselektifan psikolog Muslim telah menyebabkan mereka mengikuti pola pikir dan pendekatan kaum Yahudi dan Kristen, meskipun cara itu berkualitas rendah dan tidak Islami. Persis seperti dinyatakan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits: “Bahkan jika mereka masuk ke dalam lubang biawak pun, orang Islam tanpa pikir panjang akan mengikutinya.” Yakni mengambil bulat-bulat psikologi Barat modern dan menerapkannya di dunia Islam. [8]
Psikologi Barat modern telah memisahkan dirinya dari filsafat dan hal-hal yang bersifat metafisik karena keduanya dianggap tidak ilmiah. Sebagaimana ilmu lainnya, psikologi telah direduksi menjadi sebatas kajian empirik saja. “Psyche” yang arti literalnya “Jiwa”, dibatasi menjadi sekadar perilaku horizontal yang tampak semata. Sebagian psikolog Barat juga menolak agama untuk dikaji dalam psikologi karena agama hanya dianggap sebagai khayalan atau mitos.
Nashruddin Syarif menerangkan bahwa Barat membedakan antara science (ilmu) dengan knowledge (pengetahuan). Hanya yang sifatnya fisik dan empiris saja yang bisa dikategorikan sebagai ilmu, sedangkan aspek metafisika yang mencakup agama, mitos dan sebagainya tidak dianggap sebagai ilmu (ilmiah), melainkan sekadar pengetahuan saja. [9] Artinya, Barat modern membatasi sesuatu dapat diakui sebagai kebenaran apabila dapat dijangkau oleh panca indera saja.
Nina W. Syam mengatakan, dari segi konsep dan praktik, sebagian dari para ahli psikologi dan psikiatri tidak mengakui eksistensi agama sebagai salah satu pendekatan dalam penyembuhan gangguan kejiwaan. Genia mengutip pendapat Bergin dan Lovinger:
“Secular psychotherapists are trained in traditional counseling and clinical psychology programs and use psychodynamic, client-centered, and behavioral interventions in treating psychological distress. The theory and practice of traditional, secular psychoterapy when not openly antagonistic toward religious values has, for the most part, excluded the religious dimensions.”
(Para psikoterapis sekular terlatih dalam konseling tradisional dan program-program psikologi klinis dan menggunakan psikodinamik, berpusat pada klien, dan intervensi perilaku dalam mengobati tekanan psikologis. Teori dan praktik psikoterapi tradisional dan sekular saat tidak secara terbuka bersikap antagonis terhadap nilai-nilai agama, sebagian besar, mengecualikan dimensi religius). Pernyataan Genia dan Bishop tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan konselor/psikiater (khususnya di Barat) sering mengabaikan nilai-nilai agama dalam proses psikoterapi/konseling.
Senada dengan pernyataan Genia diatas, dengan mengutip pendapat Russo, Sperry, Splika, dan Theodore, Bishop menyebutkan: “Although religious values are a part of the global elements of culture, and are an important aspect of a person’s psychological development and functioning, they are often not assessed or considered important from a psychological perspective.” (Meskipun nilai-nilai agama adalah bagian dari unsur-unsul budaya global, dan merupakan aspek penting dari seseorang, pengembangan dan fungsi psikologis, mereka sering tidak dinilai atau dianggap penting dari perspektif psikologis).
Kegagalan psikologi untuk membantu memecahkan berbagai problem kejiwaan manusia dewasa ini antara lain disebabkan sebagian besar psikologi terasa kering, bahkan cenderung mengabaikan nilai-nilai spiritual/agama. Bantuan psikoterapi yang tidak dilandasi/kering dengan nilai-nilai agama sudah banyak terbuktu mengalami kegagalan. Penekanan yang berlebihan pada perilaku yang semata-mata teramati melalui metodologi yang kuantitatif-matematis menyebabkan psikologi semakin lama semakin tidak insani, manusia yang digambarkannya pun seakan-akan tidak mempunyai ruh. Ilmu jiwa tidak lagi mempelajari jiwa, atau ilmu jiwa yang mempelajari manusia yang (dipandangnya) tidak berjiwa seperti yang disindir oleh Badri: “Psychology without soul studying a man without soul”. [10]
Dalam wawancaranya oleh Syamsuddin Arif, Malik B. Badri menjelaskan tentang kesalahan psikologi modern:
“Psikologi modern dibangun diatas asumsi-asumsi yang keliru tentang manusia. Apa hakikat manusia? Jawaban kepada pertanyaan inilah yang mendasari pelbagai teori psikologi tentang kepribadian. Misalnya teori Sigmund Freud yang mengajarkan bahwa manusia hanyalah hewan yang bertindak atas dorongan-dorongan seksual-agresif dari bawah sadarnya. Dari sini ia membangun psikoterapinya. Cara mengobati orang sakit jiwa ialah dengan membawa si pasien keluar dari bawah-sadar ke alam sadarnya. Ada juga Watson, yang menganggap manusia tak lebih dari hewan yang perilakunya ditentukan sepenuhnya oleh lingkungan. Mereka ini tidak percaya akan wujudnya jiwa. Maka fokusnya hanya lingkungan. Bagaimana mengubah perilaku manusia dengan mengubah lingkungannya. Apakah Anda kira konsep mereka tentang manusia itu diperoleh dari penelitian di laboratorium? Tidak. Semua itu sebenarnya hasil reka-reka semata. Nah, sebagai Muslim, Anda tidak bisa menerima pandangan-pandangan semacam itu. Konsep Islam tentang manusia kan lain. Maka psikologi kita pun mestinya berbeda”. [11]
Dalam ceramahnya di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Seyyed Hossein Nasr menyampaikan:
“Modern science is successful in telling you the weight and chemical structure of a red pine leaf, but it is totally irrelevant to what is the meaning of the turning of this leaf to red. The “how” has been explained in modern science, the “why” is not its concern. If you are a physics student and you ask the question, `what is the force of gravitation?’, the teacher will tell you the formula, but as to what is the nature of this force, he will tell you it is not a subject for physics. So [science] is very successful in certain fields, but leaves other aspects of reality aside.” (“Sains modern memang telah sukses dalam menjelaskan kepadamu mengenai berat dan struktur kimia dari sehelai daun cemara merah, tapi itu sama sekali tak berhubungan dengan apa maksud dibalik perubahan daun itu menjadi merah. ‘Bagaimana’-nya telah dijelaskan dalam sains modern, ‘mengapa’-nya tak dipedulikan. Jika kau adalah seorang murid pelajaran fisika dan kau mengajukan pertanyaan, ‘apa itu gaya gravitasi?’, pengajarnya akan mengatakan kepadamu formulanya, tetapi seperti apa gaya gravitasi itu, dia akan mengatakan padamu bahwa itu bukanlah subjek dari fisika. Maka, sains adalah sangat sukses pada bidang tertentu , tetapi meninggalkan aspek lain dari kenyataan disampingnya”). [12]
Demikianlah dualisme dalam kebudayaan Barat yang termuat dalam ilmu-ilmu yang mereka ajarkan. Bagi mereka, kebenaran menjadi dua. Mereka menerima wujud materi dan immateri, namun keduanya terpisah; memisahkan dunia dengan akhirat; iman dan ilmu tak berpadu sebagaimana uraian tentang psikologi modern diatas; pemahaman agama dipisah menjadi subjektif dan objektif; jiwa dengan raga dianggap dua substansi yang berbeda dan berada di tempatnya sendiri-sendiri sehingga para dualis mengira bahwa amalan raga tak berhubungan dengan jiwa, misalnya seseorang yang tak memiliki kapasitas dan otoritas merasa dibolehkan dan merasa bebas dalam menyalahkan pendapat-pendapat para ahli atau mengatakan pendapat mereka lemah selama dalam hatinya menghormati ahli-ahli tersebut. Padahal kedua hal tersebut bersifat kontradiktif. Pikirnya, yang penting adab itu dalam hati, bukan pada amalan ucapan dan perbuatan. Kalau seperti ini, bisa-bisa ia menginjak al-Qur’an atau menghina Allah dengan kata-kata kotor sambil mengaku yang penting hatinya beriman, atau pernyataannya rancu: “Tidak mengapa kafir, yang penting baik, tidak korupsi”. Dalam Islam, ilmu, adab, dan amal itu tidak dapat dipisahkan. Iman dan adab tidak cukup hanya di hati, tetapi mesti diwujudkan dalam perilaku.
Dalam perkuliahannya, Usep Mohamad Ishaq menjelaskan mengenai dakwaan Barat modern bahwa ilmu tidak boleh subjektif. Menurut pandangan mereka, ilmu yang netral dan objektif mesti bebas dari nilai-nilai agama tertentu atau ketuhanan. Tetapi pemikiran tersebut justru sebaliknya tidaklah netral, melainkan subjektif juga atau memihak kepada pandangannya yang sekular. Islam memang selalu bersikap subjektif, yakni berpihak pada kebenaran. Dan itu sekaligus menjadi keobjektifannya. [13] Mengenai ilmu atau kebenaran, dalam Islam tidak ada dualisme dan dikotomi antara subjektif dengan objektif. Salah satu ciri metode berpikir Islam adalah integral (tauhidi). Artinya, dalam memahami realitas dan kebenaran, cara berpikir yang digunakan tidak dualis maupun dikotomis yang memisahkan dan mempertentangkan antara objektif-subjektif, historis-normatif, tekstual-kontekstual, dan sebagainya.
Pandangan Islam juga tidak sekular yang memisahkan antara agama dengan kehidupan sehari-hari. Islam mengatur segala aspek, tidak hanya dalam bidang ilmu, melainkan bidang pendidikan, sosial, ekonomi, hukum, politik, dan lainnya pun terintegrasi didalamnya. Bahkan hal-hal paling kecil juga diatur, semisal adab masuk toilet; seorang Muslim di-sunnah-kan berdoa dan memasukinya dengan kaki kiri terlebih dahulu; mengucap “basmallah” ketika ingin mengenakan pakaian dan mendahulukan tangan atau kaki kanan; juga berdoa ketika bangun tidur dan ber-wudhu serta berdoa saat hendak tidur. Saat lahir, menikah, hingga meninggalnya tidak pernah lepas dari syariat Islam. Jadi, dalam Islam agama selalu “dibawa-bawa” meski pada urusan kecil sekalipun dan tidak pernah lepas sepanjang waktu, dari mulai bangun tidur hingga tidur lagi, sejak lahir sampai meninggal atau dikuburkan.
Lain halnya dengan tidak mengerjakan amalan wajib dan sunnah karena malas ataupun lupa, memiliki keyakinan bahwa nilai-nilai agama harus ditiadakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam ilmu, pendidikan, sosial, ekonomi, hukum, politik, dan sebagainya akan mengakibatkan seseorang terjerumus ke dalam sekularisme dan memilih-milih aturan agama. Dalam surat al-Baqarah ayat 85 diperingatkan bahwa Muslim tidak boleh seperti Yahudi yang mengimani sebagian saja dan mengingkari sebagian lain dari kitabnya; memilih-milih ayat dan meninggalkan atau menolak yang lainnya sehingga menyebabkan mereka kufur. Oleh karena itu, Muslim tidak punya hak atau tidak dibenarkan untuk menanggalkan pandangan ke-Islam-annya lalu keluar dari kerangka kerja (framework) Islam.
Kandungan berikutnya dalam ilmu dari Barat adalah relativisme, yakni meniadakan semua kebenaran mutlak lalu memandang semuanya relatif atau sama benar, setiap orang memiliki kebenarannya masing-masing dan tidak boleh menyalahkan yang lain, tidak boleh pula mengklaim diri paling benar. Padahal, kebenaran mutlak itu ada dan kita dapat menyalahkan pendapat yang bertentangan dengannya. Relativisme akan mengantarkan kepada pluralisme agama yang menganggap bahwa semua agama mengajarkan kebaikan dan masing-masing benar. Pemahaman yang semacam ini sangat berbahaya bagi keimanan seorang Muslim karena dapat menyebabkan kekufuran. Imam an-Nawawi pernah berkata bahwa Muslim yang tidak menganggap kafir Yahudi dan Nasrani maka dia kufur.
Khalif Muammar menyatakan bahwa sebenarnya kita tidak harus memisahkan atau melakukan dikotomi antara yang mutlak dengan yang relatif. Pada beberapa hal, seperti dalam syari’ah, kedua unsur ini saling melengkapi dan pelaksanaannya bergantung pada teks yang bersifat mutlak di samping ijtihad dan fikih yang bersifat relatif dan sementara. [14] Oleh karena itu, tidak semua kebenaran bersifat relatif. Islam pun mengakui kebenaran yang bersifat qoth’i (pasti, absolut, mutlak) dan tsawabit (final, tetap). Ijma’ atau kesepakatan ulama mengenai tafsir al-Qur’an serta persoalan akidah pokok pun sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi dan jika keluar dari itu maka mesti dibedakan antara benar dan salah, sesat dan lurus, hak dan bathil, mukmin dan kafir.
Para ulama telah mengingatkan agar umat Islam berhati-hati darimana mengambil ilmu. Hari ini banyak pelajar yang silau dan terlalu kagum terhadap supremasi Barat. Misalnya, tanpa bekal ilmu akidah yang kokoh dan bertahap, mereka langsung mempelajari filsafat Barat, kemudian merasa hebat dan berbangga diri, menyerap seluruhnya tanpa bersikap kritis. Akibatnya, mereka menjadi bingung, lalu mulai mengadopsi pandangan ala Barat dan bersikap fanatik, menganut dualisme, dikotomisme, sekularisme, relativisme, pluralisme, serta virus lain yang mengikutinya. Ditambah lagi seperti yang dikatakan oleh Seyyed Hossein Nasr: “I see many muslims in the audience today, many of you, your education is paid for by your parents or your government or some university in order precisely to bring Western science back into the muslim world.” (“Aku melihat banyak Muslim diantara para hadirin hari ini, banyak diantara kalian, biaya pendidikan kalian ditanggung oleh orang tua kalian atau pemerintah kalian atau beberapa universitas tujuannya justru untuk membawa kembali sains Barat kepada dunia umat Muslim”). Beliau melanjutkan, banyak pemuda-pemuda Muslim yang mempelajari sains Barat dan ketika pulang ke rumah pada malam harinya mereka berhenti berdoa. [15] Artinya, mereka meninggalkan agama karena terpengaruh oleh sistem ideologi Barat.
Syed al-Attas mengatakan bahwa kekeliruan dalam ilmu tentang Islam dan pandangan alam (worldview) Islam sering melahirkan individualisme yang angkuh; ia berpikir bahwa dirinya setara dengan orang lain yang sebenarnya lebih unggul darinya, dan menanamkan keangkuhan dalam batinnya serta keras kepala dan cenderung menolak otoritas. [16] Perilaku tersebut dinamakan biadab (tidak beradab).
Kita dapat melihatnya dalam pendidikan di Indonesia. Muhammad AR mengatakan bahwa di masa awal kemerdekaan, boleh dibilang kurikulum pendidikan nasional lebih baik walaupun belum mendapat pengiktirafan dunia internasional. Dari segi pendidikan agama, kita memang mengakuinya bahwa antara sekolah umum dan sekolah agama tidak banyak perbedaan. Antara SR (Sekolah Rendah) dan SRI (Sekolah Rendah Islam) tidak banyak terjadi jurang pemisah karena kedua sistem sekolah tersebut benar-benar menempatkan agama sebagai bagian terpenting dalam kurikulum sekolah.
Dari segi penguasaan ilmu agama, kedua lulusan institusi tersebut tak diragukan karena kurikulum pendidikan umum dan pendidikan agama dapat disatukan dan jarang dirasakan adanya dikotomi ilmu pengetahuan. Kedua lulusan sekolah agama dan umum dapat dijadikan rujukan dalam masalah agama. Inilah yang membedakannya dengan lulusan sekolah umum dan sekolah agama dewasa ini. Di satu sisi, kita tidak menjamin para lulusan sekolah agama sekarang ini betul-betul memahami dan menghayati nilai-nilai agama, belum lagi pada tahap pengamalannya. Namun di sisi lain, lulusan sekolah umum pun belum pula dapat diandalkan sesuai dengan bidang ilmu yang digeluti mereka.
Dulu, arah pendidikan kita lebih berorientasi kepada agama, akhlak, dan nilai-nilai keindonesiaan (kebangsaan), tetapi yang tampak sekarang arah pendidikan kita lebih berorientasi ke Barat yang materialistis yang konotasinya kurang merespon nilai-nilai akhlak dan nilai-nilai ketimuran. Walaupun demikian, dari hasil apa yang kita rasakan selama ini, produk sekolah kita tidak condong ke Timur (Islam), dan tidak pula condong ke Barat secara total. Realisasinya, ternyata hasil pendidikan kita hari ini tidak melahirkan manusia yang profesional dari segi agama maupun teknologi sehingga menjadikan bangsa kita tidak disegani bangsa lain.
Beliau menambahkan bahwa produk pendidikan pada awal kemerdekaan hingga tahun 1970-an masih dapat dipertanggungjawabkan secara moral karena mereka masih memiliki sopan santun yang luar biasa dan saling menghormati dan merahmati. Guru masih dianggap mulia dalam pandangan murid. Murid pun masih menganggap guru sebagai pembuka mata, pembuka jalan, penunjuk jalan ke surga, dan sebagai pengganti ibu bapaknya di sekolah. Bedanya, nuansa tersebut hampir tidak kita jumpai pada kurun ke-21 ini. [17]
Ilmu yang salah akan menyebabkan perilaku yang salah. Mengutip perumpamaan dari Syamsuddin Arif: “Memiliki uang palsu sama dengan tidak memiliki uang”. Dalam ilmu pun ada yang palsu atau salah yang disebut sebagai pseudo-science. Ilmu dan kebenaran itu setali tiga uang, karena ilmu adalah mengetahui yang benar, dan yang benar itu adalah ilmu. Memiliki ilmu artinya menggenggam kebenaran. Menolak kebenaran sama dengan menolak ilmu. Walhasil, mengetahui itu tidak lain adalah mengetahui yang benar. Maka mengetahui yang salah itu bukan ilmu, dan karenanya bukan kebenaran. [18]
Dalam memandang sumber dan metode pengetahuan, antara Islam dengan filsafat modern dan sains kontemporer terdapat kesamaan dalam mengetahui yang rasional dan empiris, tetapi worldview-nya berbeda. Bagi umat Muslim, sumber pengetahuan tertinggi dan kebenaran sejati adalah wahyu; dan pada saat yang sama kita pun mengakui penggunaan kaidah rasional dan empirik, tetapi kita menolak rasionalisme filsafat sekular dan empirisme filosofis filsafat sains modern yang meletakkan rasio dan panca indera di atas segalanya. [19]
Secara epistemologi, ilmu atau kebenaran dalam Islam menurut Imam An-Nasafi dapat diperoleh melalui :
1) Persepsi indera (senses: perception, observation)
2) Informasi yang benar (reliable information, true report, الخبر الصادق), yang terdiri dari kabar mutawatir (Al-Qur’an) dan Rasulullah Saw. sebagai orang yang terpercaya (authority, someone who we trust, خبر الصادق)
3) Akal (reason). [20]
Dan Imam al-Ghazali menambahkan intuisi sebagai bagian dari sumber ilmu. Barat berbeda dengan Islam dalam masalah yang mendasar ini. Sumber ilmu atau kebenaran bagi mereka terbatas pada yang empirik serta rasional semata dan menolak wahyu. Maka dari itu, ilmu dari Barat pada zaman modern ini nihil bahkan “haram” daripada nilai-nilai agama. [21] Sedangkan para ilmuwan Islam terdahulu yang menciptakan penemuan-penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menggali sumber dari wahyu dan tujuannya untuk kepentingan agama. Agama merupakan landasan falsafah dan moral bagi penyelidikan sains. Mereka menggunakan sains untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Islam. [22] Misalnya, jam pertama kali diciptakan sebagai penunjuk waktu shalat.
Seyyed Hossein Nasr memberikan sebuah analogi:
“In both cases there was a period of transmission but there was also a period of digestion, ingestion, and integration which always means also rejection. No science has ever been integrated into any civilization without some of it also being rejected. It’s like the body. If we only ate and the body did not reject anything we would die in a few days. Some of the food has to be absorbed, some of the food has to be rejected.” [23] (“Tidak pernah ada sains yang diserap ke dalam sebuah peradaban tanpa penolakan sedikit pun. Mirip dengan tubuh kita. Kalau kita cuma makan saja, tetapi badan kita tidak mengeluarkan sesuatu, maka dalam beberapa hari saja, kita akan mati. Sebagian makanan perlu diserap, sebagian lagi harus dibuang”). Artinya, kita perlu bersikap lebih kritis dan selektif terhadap sains modern.
Beliau menjelaskan bahwa kita harus mencontoh apa yang dilakukan oleh para ilmuwan Muslim terdahulu, mereka bukan hanya mengambil alih ilmu pengetahuan dari Yunani, menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab, dan mempertahankan karakternya. Ilmu tersebut diubah menjadi bagian dan bidang dari benteng intelektual Islam. Sehingga ketika mempelajari karya-karya al-Biruni, Ibnu Sina, atau para ilmuwan Andalus, kita akan membaca bidang-bidang Islam, bukan Yun atau formula tertentu dari elemen-elemen Euclid, tetapi keseluruhan ilmu terintegrasi kepada sudut pandang Islam. Karya besar al-Jabar pada masa pra-modern dibuat oleh penyair Persia, Umar Khayyam. Ketika kita membaca bukunya, kita akan menemukan formula atau persamaan tertentu dari kebudayaan Cina, Barat atau kebudayaan manapun, tetapi kita merasakan bahwa itu adalah milik bidang intelektual Islam. [24] Imam al-Ghazali pun bersikap kritis dan selektif terhadap filsafat. Beliau tidak menelannya secara bulat-bulat, tidak juga menolaknya mentah-mentah. Beliau pun membantah kerancuan-kerancuan dari pemikiran para filosof dalam tulisannya yang berjudul Tahafut al-Falasifah.
Sekarang kita telah mengetahui bahwa dalam ilmu yang mereka sebarkan adalah untuk menanamkan modernisme ataupun post-modernisme yang diantaranya adalah dualisme, pandangan dikotomis, sekularisme, relativisme, pluralisme, empirisme, rasionalisme, bahkan ateisme yang semuanya sangat bertentangan dengan akidah pokok Islam. Sudah semestinya umat Muslim bersikap kritis terhadap ilmu yang datang dari Barat, menyaringnya dan lebih mengutamakan tradisi keilmuan Islam yang benar. Bunga mawar tidak mesti diambil beserta duri-durinya; kita tidak sepenuhnya menolak apa yang datang dari Barat, melainkan bijak dalam mengambil ilmu dari mereka karena untuk mencapai kemajuan tidak harus mengekor serta menjiplak secara membabi buta.
Sejatinya, kemajuan bagi umat Muslim bukanlah megahnya bangunan, kekayaan melimpah, ataupun teknologi canggih sebagaimana pandangan materialisme Barat, melainkan saat dimana manusia-manusianya berkualitas seperti pada zaman Nabi Saw. karena ilmunya benar, berakhlak mulia, beradab dan keimanannya kuat sehingga dapat menghasilkan peradaban yang tinggi dan menjadi panutan bagi bangsa lain. Dalam worldview of Islam, apalah artinya ilmu tanpa ruh spiritual juga apa artinya jika dalam segi materi maju dan berkembang, tetapi jiwa kering dan hampa dari nilai-nilai ketuhanan, mengakibatkan kerusakan alam, kerusakan moral dan kriminalitas yang merajalela, lalu tingginya tingkat bunuh diri karena kesejahteraan dan segala pencapaian tersebut ternyata tidak menghasilkan kebahagiaan sejati. [25]
Kalaupun ingin mempelajari ilmu-ilmu dari Barat, seorang Muslim memerlukan benteng berupa ilmu akidah dan pengetahuan tentang worldview Islam dan Barat agar tidak terserang pemikiran-pemikiran yang menyesatkan. Agar tak mengekor kepada kebudayaan Barat, diperlukan kesadaran untuk mengetahui sejarah, tradisi, agama, dan kultur Islam, terutama bagi para pemimpin. [26]
Imam al-Ghazali mengelompokkan ilmu menjadi ilmu fardhu ‘ain (ilmu agama) dan ilmu fardhu kifayah (ilmu dunia/umum). Kategorisasi tersebut tidak dapat dianggap sebagai dualistis karena tidak memiliki validitas yang sama ataupun eksklusivitas yang setara. Keduanya tidak dipisah juga tidak saling berlawanan, melainkan saling melengkapi walaupun tidak satu sama lainnya. Ilmu-ilmu intelektual yang termasuk ke dalam ilmu fardhu kifayah digunakan untuk menjelaskan ilmu-ilmu agama. Tetapi, apabila ilmu-ilmu intelektual tidak disertai ilmu-ilmu agama, maka akan menyesatkan dan sangat sofistis. [27] Artinya, apabila ilmu agama tidak diutamakan dan didahulukan, seseorang akan mudah teracuni oleh paham-paham Barat sehingga ia akan ragu-ragu dan menggugat agamanya. []
Referensi:
1 Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani), 2013, h. 88.
2 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001, h. 48-49, dan Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk., sunt. Abd Syakur Dj., Bandung: Mizan, 2003, h. 116.
3 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Ibid., h. 47.
4 Para pelajar Muslim diberi beasiswa dan dikirim ke Barat untuk belajar Islam melalui orientalis (Orang-orang yang mempelajari kebudayaan Timur, biasanya dari kalangan Yahudi atau Kristen Barat. Agama Islam termasuk objek kajiannya karena dikategorikan sebagai kebudayaan. Di antara mereka ada yang beriman dan ada yang tidak). Kemudian mereka kembali dan mengajarkan gagasan dan metodologi Barat dalam studi Islam. Lihat Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Jakarta: Gema Insani, 2005, h. xxiv-xxv.
5 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Op. Cit., h. 49-50.
6 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy, M. Arifin Ismail, dan Iskandar Amel, (Bandung: Mizan), 2003, h. 115.
7 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Khalif Muammar, Usep Mohamad Ishaq, Wendi Zarman, dkk., Bandung: PIMPIN, 2010, h. 130.
8 Syamsuddin Arif, “Wawancara Prof. Dr. Malik B. Badri: Psikologi Modern Tidak Netral”, dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, vol. X No. 1, 1 Januari 2016, (Jakarta: INSISTS), h. 87.
9 Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani), 2013, h. 60.
10 Nina W. Syam, Psikologi Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 2011, h. 159-160.
11 Syamsuddin Arif, “Wawancara…, h. 88-89.
12 Seyyed Hossein Nasr, Islam and Modern Science, http://web.mit.edu/activities/mitmsa/NewSite/libstuff/nasr/nasrspeech1.html, diakses pada hari Senin, 25 Desember pukul 08.28 Wib.
13 Perkuliahan Islamic Worldview angkatan pertama 2011/2012 bersama Dr. Usep Mohamad Ishaq di sekretariat PIMPIN. Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995, h. 112.
14 Khalif Muammar A. Harris, Islam dan Pluralisme Agama: Memperkukuh Tauhid pada Zaman Kekeliruan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka), 2015, h. 12-13.
15 Seyyed Hossein Nasr, Loc. Cit.
16 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam…, h. 134-135.
17 Muhammad AR, Bunga Rampai Budaya, Sosial, & Keislaman, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media), 2010, h. 101-102.
18 Syamsuddin Arif, Ilmu, Kebenaran, dan Keraguan: Refleksi Filosofis-Historis, Makalah disampaikan pada acara orasi ilmiah dalam rangka memperingati ulang tahun INSISTS ke-13, Jakarta, 2016, h. 1-2.
19 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena…, h. 117-118.
20 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Oldest Known Malay Manuscript: a 16th Century Malay Translation of the Aqa’id of Al-Nasafi, (Kuala Lumpur: Department of Publication University of Malaya), 1988, h. 53-54.
21 Lihat Thomas Uebel, Vienna Circle, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2016 Edition), Edward N. Zalta (ed.), https://plato.stanford.edu/archives/spr2016/entries/vienna-circle/.
22 Usep Mohamad Ishaq, Ibn al-Haytham Sang Pembawa Cahaya Sains, (Depok: Indie Publishing), 2015, h. 14. 23 Seyyed Hossein Nasr, Loc. Cit.
24 Ibid.
25 Sebagai indikasi ketidakbahagiaan, berdasarkan data World Health Organization (WHO), tingkat bunuh diri di negara-negara maju, khususnya negara-negara Barat lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah atau negara berpenduduk mayoritas Muslim. Lihat www.who.int/mental_health/prevention/suicide/suicideprevent/en/. Demikian juga dengan tingginya tingkat pemerkosaan terhadap perempuan sebagai indikasi kerusakan moral. Lihat Department of Economic and Social Affairs, The World’s Women 2015: Trends and Statistics, New York: United Nation, 2015, h. 144-145.
26 Wan Mohd Nor Wan Daud, Op. Cit., h. 268. 27 Ibid., h. 270.
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.