Oleh: Fadh Ahmad Arifan
Pengajar di MA Muhammadiyah 2 Kota Malang
fad.arifan@gmail.com
TIAP organisasi Islam di Indonesia punya pedoman khusus dalam hal akidah dan cara mengamalkannya. Begitu pula dengan Persyarikatan Muhammadiyah. Disebutkan dalam Ensiklopedi Muhammadiyah, (Rajawali press, hal 259), Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah Islam yang murni, bersih dari segala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip Toleransi menurut ajaran Islam.
Iman sebagai fondasi akidah dan amal
Di Muhammadiyah, iman adalah hal yang prinsip. Ia adalah fondasi dari Akidah dan amal sholeh. Menurut penuturan Faisal Salim, S.Ag, (PDM Sumbawa),”Beriman tanpa beramal shalih, hasilnya hampa. Beramal shalih tanpa beriman, percuma.“
Selain itu, menurut Muhammadiyah, iman hendaknya ditablighkan, disiarkan dengan selebar-lebarnya, yakni diberi riwayatnya dan diberi dalil buktinya, dipengaruhkan dan digembirakan, sampai iman itu mendarah daging, masuk di tulang sumsum dan mendalam di hati sanubari (lihat Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, hal 25).
Karakteristik berakidah di Muhammadiyah
Sejauh data yang telah dihimpun, terdapat 2 Model bertauhid dalam Muhammadiyah. Orang yang bertauhid tidak sekedar menerima saja konsep “tauhid” secara pasif (ditelan bulat-bulat, taken for granted), melainkan penerimaan konsep “tauhid” tersebut perlu melewati proses-proses kritis dari manusia berdasar mekanisme kerja akalnya (rasionalisasi) yang kemudian dilanjutkan proses-proses internalisasi (pengendapan dalam alam batin).
BACA JUGA: Geliat Muhammadiyah Sebagai Gerakan Budaya di Muktamar ke-48
Karena itu menurut Dr. Mohammad Damami (Suara muhammadiyah, edisi 13/3/2016), tampilan luar dari bertauhid adalah: pikir (karena adanya proses rasionalisasi) dan dzikir (karena adanya proses internalisasi).
Cara berakidah atau ber-tauhid seperti ini digambarkan Al-Quran, paling tidak, dalam dua model, yaitu pembebasan keingintahuan (kuriositas) seperti yang dialami Nabi Ibrahim (QS. Al-An’am : 75-79), dan keseimbangan renungan kritis seperti yang dilakukan para “Ulul Albab” (QS. Ali Imran: 190-191).
Akidah di Muhammadiyah merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbulah. Al-Quran dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah adalah kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Adapun Sunnah Rasul adalah penjelasan dan pelaksanaan ajaran Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad ﷺ, dengan mengunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
Pertanyaan berikutnya, apakah hadis ahad bisa dijadikan hujjah untuk ranah akidah? Sayangnya, belum ada penjelasan rinci terkait sikap azab kubur, malaikat munkar-nakir, hingga turunnya Nabi Isa AS yang kesemuanya itu tercantum dalam hadis Ahad. Lalu bagaimana peranan akal dalam urusan akidah?. Muhammadiyah termasuk kelompok yang memandang kenisbian akal dalam masalah akidah.
Muhammadiyah juga menegaskan Islam adalah Agama yang yang diturunkan Allah kepada para Rasul-Nya, sejak Nabi Adam hingga Nabi terakhir, Muhammad ﷺ. Dari sini bisa disimpulkan dua hal:
Pertama, Muhammad ﷺ adalah Nabi terakhir. Tak ada lagi Nabi sepeninggalnya, termasuk yang mengaku-ngaku Nabi baru sebagaimana klaim Musailamah al-Kazzab di era Khalifah Abu bakar, lalu era kolonialisme Inggris di India, Mirza ghulam ahmad (Ahmadiyah qadian) hingga Lia Aminudin dan Ahmad Mossadeq.
Kedua, doktrin yang melekat di sebagian besar orang awam bahwa agama Yahudi dari Musa AS dan Kristen sumbernya dari Isa bin Maryam termasuk doktrin yang keliru.
Sesaji, Menanam Kepala Kerbau dan jimat
Bulan Januari tahun 2022, tersebar luas rekaman pemuda membuang sesaji di Kabupaten Lumajang. Yang ia lalukan benar, hanya saja tidak ahsan gara-gara direkam dan diunggah pula di dunia maya. “Ini (sesaji) yang membuat murka Allah. Jarang sekali disadari bahwa inilah yang justru mengundang murka Allah, hingga Allah menurunkan azabnya,” ucapnya. Masih dalam rekaman tersebut, terlihat jelas membuang sambil mengucap lafadz ‘Allahu akbar’.
Perbuatannya direspon keras sang Bupati. Lalu ia diburu tiga Polda hingga akhirnya diciduk aparat kepolisian di Kabupaten Bantul-Yogyakarta. Prof. Al-Makin, rektor UIN Sunan Kalijaga sampai turun tangan agar pemuda yang pernah menjadi mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab, UIN Sunan kalijaga tersebut dimaafkan dan proses hukum dihentikan.
Sesaji termasuk adat leluhur. Sepintas ia terlihat baik-baik saja di mata masyarakat awam. Namun bagi warga Muhammadiyah yang menjunjung tegaknya akidah Islam yang murni, hal itu tergolong adat yang menyalahi syariat (al-’Urf al-Fasidah). ustadz Dr. Sopa M.Ag menjelaskan dengan runtut dalam Pengajian Tarjih “Hukum Memasang Sesaji” (Rabu, 12/1/2022).
Setelah memeluk Islam, masyarakat masih melestarikan keyakinan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang menguasai alam atau menjadi penunggu di suatu tempat. Supaya tidak murka maka diberi sesaji berupa makanan atau hewan. “Sesaji berbeda dengan qurban” kata Dr. Sopa. Karena qurban meskipun ditujukan kepada Allah swt, tetapi daging sembelihan itu ditujukan untuk manusia, bukan untuk Allah.
Selain sesaji, di tengah masyarakat masih ada tradisi menanam kepala kerbau di dalam tanah yang di atasnya nanti dibangun sebuah bangunan. Ulama-ulama Muhammadiyah dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 1 (Suara Muhammadiyah 2015, hal 10) menyikapi bahwa perbuatan demikian tidak dibenarkan dalam Islam. Terhadap orang Islam yang melakukan hal itu baik dengan keyakinan atau sekedar adat, kalau bisa dinasehati dengan cara baik.
BACA JUGA: Fatmawati, Kreator Sang Saka Merah Putih dari Muhammadiyah
Terakhir perkara jimat. Jimat ialah suatu benda yang diberi mantera atau doa atau rajah (simbol) atau tulisan tertentu sehingga diyakini mempunyai kekuatan, kehebatan atau kesaktian tertentu yang digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu. Yang dimaksud dengan benda di sini ialah benda atau barang apa saja seperti kalung, akik (cincin), keris, kain kafan, rambut dan masih banyak yang lainnya. Mantera, doa, rajah, atau tulisan tertentu di sini biasanya sukar dipahami oleh orang awam, meskipun ada juga sebagiannya yang bisa dimengerti.
Ada yang memakai bahasa Arab dan ada pula yang menggunakan bahasa lainnya. Kekuatan, kehebatan atau kesaktian tertentu di sini seperti menolak bahaya/sihir/penyakit, membuat kebal dan mendatangkan rezeki dan seterusnya. Tujuan-tujuan tertentu di sini seperti untuk menambah kecantikan atau ketampanan wajah, membuat tubuh kebal, menambah kekayaan dan lainnya.
”Jimat tidak akan membuat tambah dekat kepada Allah, tapi justru membuat lupa dan jauh dari-Nya. Oleh karena itu hendaknya kita semua membuangnya jauh-jauh supaya tidak terjerumus dalam kesyirikan.” demikian sikap Muhammadiyah sebagaimana diulas Suara Muhammadiyah No 8 tahun 2013.
Sebelum menutup tulisan ini, sesudah mengetahui sikap Muhammadiyah terkait jimat, maka dipastikan warga Muhammadiyah khususnya yang mendalami Tapak suci takkan mengenakan jimat dalam berbagai aktivitasnya. Buat apa terlihat dari luar pendekar hebat’ apalagi memiliki ‘tubuh kebal’ jika memakai jimat? Wallahu’allam. []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.