Oleh: Prof. Dr. KH Miftah Faridl
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandung
HIRUK pikuk suasana politik nyaris tak pernah berhenti melilit nasib dan menguras tenaga masyarakat kita. Suasana politik yang berujung pada kehadiran seorang pemimpin, baik di level kota, provinsi, maupun nasional ini telah menguras perhatian masyarakat, termasuk umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas di negeri ini.
Karena itu, secara sederhana dapat diambil pelajaran bahwa, jika proses politik itu dinilai sukses, maka umat Islam harus diakui sebagai penyumbang besar kesuksesan itu. Sebaliknya, jika proses politik itu dinilai gagal, baik karena gagal dalam prosesnya maupun gagal karena pemimpin yang dihasilkannya tidak merepresentasikan aspirasi mayoritas umat, maka harus diakui bahwa umat Islam pun telah berkontribusi besar dalam kegagalan itu.
Tentang siapa yang ditakdirkan jadi pemimpin adalah sepenuhnya wewenang Allah SWT. Kita harus siap menerima yang terpahit sekalipun. Seperti firman Allah dalam Al Quran Surat Ali Imran ayat 26: Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Kini, mari kita lakukan evaluasi dan mawas diri, apakah keterlibatan kita dalam setiap kali penentuan seorang pemimpin itu telah memberikan manfaat bagi umat, atau malah telah memubazirkan setiap energi yang kita keluarkan karena tidak terbukti dapat memberikan hikmah bagi kesejahteraan umat.
Lalu bagaimana kita dapat mengevaluasi semua tindakan yang telah kita lakukan itu? Kita dapat mengawalinya dari format niat yang menjadi motif dasar dalam menentukan seorang pemimpin. Mari kita tanyakan sendiri: apakah karena ambisi kekuasaan, atau karena ketulusan untuk memperbaiki nasib bangsa, berlandaskan panduan dari Allah SWT?
Sikap muslim wajib memilih pemimpin yang beriman, bertaqwa dan memiliki kemampuan sesuai dengan bidangnya. Sebaliknya, setiap pribadi yang mengaku muslim dilarang memilih pemimpin dengan kriteria sebagai berikut:
Pemimpin kafir. Hal ini secara eksplisit Difirmankan Allah dalam Al Quran. Misalnya di surat Annisa ayat 138-139, yang artinya: Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.
Pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Larangan memilih pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani tertulis secara terang benderang dalam Al Quran surat Al Maidah Ayat 51-53, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana”. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: “Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?” Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi.
Pemimpin yang Mempermainkan agama atau mempermainkan Shalat. Seperti yang Allah firmankan dalam Q.S. Al Maidah 56-57, yang artinya: Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.
Pemimpin yang lebih mencintai kekufuran daripada iman. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (Q.S. At Taubah: 23)
Pemimpin yang berada di luar golongan orang mu’min. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (Q.S. Ali Imran: 118).
Ayat-ayat di atas adalah Qothi fitsubut Qothi Fidillah (absolut status dan absolut interpretasi). Tidak ada peluang untuk berbeda pendapat sepanjang kita yakin Al Qur’an itu pedoman hidup kita. []
Sumber: Alhikmah