PERISTIWA pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid oleh sebuah ormas Islam baru-baru ini menjadi polemik. Tanggapan dari berbagai kalangan pun beragam.
Bagaimana sebenarnya hukum dan hukuman bagi pelaku yang membakar bendera berkalimat tauhid tersebut dalam pandangan Islam?
Ada beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan dalam menyikapi kejadian seperti di atas. Apa saja?
BACA JUGA: Terkait Pembakaran Bendera Tauhid, Wantim MUI: Kalimat Tauhid Cukup Diyakini
Pertama, perlu dibedakan antara kalimat tauhid dengan bendera kalimat tauhid.
Menolak kalimat tauhid adalah kekufuran. Allah berfirman:
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. (QS. as-Shaffat: 35)
Kedua, ada kalimat tauhid dan ada bendera bertuliskan tauhid
Bendera itu adalah simbol bagi pemiliknya. Bendera merah putih, simbol bagi bangsa Indonesia. Sehingga melecehkan bendera, adalah melecehkan pemiliknya. Bagaimana dengan bendera bertuliskan kalimat tauhid?
Ada dua kondisi terkait hal ini.
1. Membenci setiap bendera bertuliskan laa ilaaha illallaah.
Kebencian semacam ini jelas kesalahan besar. Apa alasan membenci kalimat mulia tersebut?
Allah menceritakan dalam al-Quran, orang kafir memusuhi setiap orang yang mengagungkan tauhid dalam Firmannya:
“Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata: “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: “Tuhanku ialah Allah padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu.” (QS. Ghafir: 28).
2. Membenci bendera ormas yg bertuliskan kalimat tauhid
Membenci suatu kaum yang menyebabkan madharat yang lebih besar, jelas bermasalah. Allah melarang para sahabat menghina berhala yang disembah orang kafir karena orang kafir bisa membalas dengan menghina Allah.
Allah berfirman:
“Janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. al-An’am: 108).
Ketiga, perlu dibedakan antara alasan dan perbuatan
Kita mengakui bahwa menurut Syafiiyah dan Malikiyah, salah satu diantara cara untuk mengamankan nama Allah yang tercecer adalah dengan membakarnya, kemudian abunya dikubur di tempat yang aman.
Tindakan ini meniru yang dilakukan oleh Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu, setelah beliau menerbitkan mushaf induk ‘Al-Imam’, beliau memerintahkan untuk membakar semua catatan mushaf yang dimiliki semua sahabat. Semua ini dilakukan Utsman untuk menghindari perpecahan di kalangan umat islam yang tidak memahami perbedaan cara bacaan Alquran.
Salah satu saksi sejarah, Mus’ab bin Sa’d mengatakan, “Ketika Utsman membakar mushaf, saya menjumpai banyak sahabat dan sikap Utsman membuat mereka heran. Namun tidak ada seorangpun yang mengingkarinya.” (HR. Abu Bakr bin Abi Daud, dalam al-Mashahif, hlm. 41).
Diantara tujuan membakar Alquran yang sudah usang adalah untuk mengamankan firman Allah dan nama Dzat Yang Maha Agung dari sikap yang tidak selayaknya dilakukan, seperti diinjak, dibuang di tempat sampah atau yang lainnya.
Perintah Utsman untuk membakar kertas mushaf ketika beliau mengumpulkan Alquran, menunjukkan bolehnya membakar kitab yang disitu tertulis nama-nama Allah ta’ala. Dan itu sebagai bentuk memuliakan nama Allah dan menjaganya agar tidak terinjak kaki atau terbuang sia-sia di tanah (Syarh Shahih Bukhari, 10/226)
As-Suyuti menjelaskan, “…Jika dibakar dengan api, hukumnya boleh. Utsman membakar mushaf yang ada tulisan ayat Alquran dan ayat yang telah dinasakh (dihapus), dan tidak ada yang mengingkari beliau (al-Itqan fi Ulum Alquran, 2:459).
Namun dalam kasus pembakaran bendera tauhid yang baru-baru ini terjadi perlu dibedakan antara alasan dengan perbuatan.
BACA JUGA: MUI Ajak Semua Pihak Memaafkan Pelaku Pembakaran Bendera Tauhid
Dulu orang munafik dinasehati, jangan maksiat, karena itu perbuatan yang merusak muka bumi. Jawaban mereka, kami ini memperbaiki, bukan merusak.
Allah berfirman:
“Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. al-Baqarah: 11)
Hal yang dicontohkan Khalifah Utsman apakan bisa disamakan dengan peristiwa pembakaran bendera berkalimat tauhid yang baru-baru ini terjadi?
Keduanya mungkin berlandaskan pada alasan yang sama yakni memuliakan Alquran, namun bagaimana dengan perbuatan yang tercermin dari adabnya? Jelas ada perbedaan besar yang bahkan bisa dilihat secara kasat mata. []
SUMBER: KONSULTASI SYARIAH