“AKU tidak mau jadi ibu rumah tangga saja. Kalau suami meninggal atau kita bercerai, gimana? Siapa yang kasih makan aku dan anak-anak? Istri itu harus mandiri finansial supaya bisa punya uang untuk jaga-jaga kalau ada apa-apa dengan suami.”
Seketika, kalimat itu buyar kala aku berhadapan dengan seorang wanita berusia 47 tahun yang datang ke rumahku untuk mengisi pengajian. Wanita bersahaja itu datang jauh-jauh, cukup jauh dari komplek perumahan tempat tinggal aku, untuk memberi pengajian secara gratis. Ingat, gratis lho…. tidak ada bayaran sepeserpun kecuali sajian makan siang yang aku berikan. Dia datang untuk menggantikan guru ngajiku yang berhalangan. Sambil menunggu teman-teman lain, akhirnya kami ngobrol-ngobrol.
“Coba tebak, anakku berapa, Bu?” tanyanya, ketika kami sedang ngobrol soal anak-anak.
“Ehm… empat?” pikir aku, paling-paling cuma selisih satu jawabku dalam hati.
“Masih jauh….”
“Tujuh….”
“Kurang… yang benar, delapan.”
Mata aku membelalak. Masya Allah! DELAPAN?
“Itu masih kurang, Bu. Ada Ustadzah lain yang anaknya 13. Jadi, aku ini belum ada apa-apanya,” katanya merendah.
Setelah itu, mengalirlah cerita-ceritanya mengenai anak-anaknya sampai teman-teman aku datang dan acara mengajipun dimulai.
Di sela pengajian, wanita itu bercerita mengenai keluarganya. Dari situ aku baru tahu kalau suaminya sudah meninggal dunia. Meninggal karena kecelakaan motor, meninggalkan istri dan delapan anak, yang terkecil berusia 2,5 tahun dan sang istri, ya wanita itu adalah seorang Ibu Rumah Tangga.
Ia tidak kerja kantoran, tapi juga bukan pengangguran. Beliau aktif mengisi pengajian. Lalu, bagaimana kehidupannya setelah suaminya meninggal? Sebab, beliau tidak punya gaji, atau tidak kerja kantoran. Lantas bagaimana ia memenuhi kebutuhan hidupnya? Apakah beliau hidup sengsara dengan anak-anaknya putus sekolah?
Ternyata tidak. Ketika aku menanyakan, bagaimana ia seorang single mother menghidupi kedelapan anaknya? Sebab, sebelumnya aku beranggapan bahwa seorang single mother mustahil mampu menghidupi dirinya dan kedelapan anaknya. Namun, jawaban beliau membuatku tersentak.
“Bagi Allah, tidak ada yang tidak mungkin, Bu. Asal kita percaya sama Allah. Allah yang kasih rezeki, kan? Percaya saja sama Allah. Aku cuma yakin bahwa semua yang aku dapatkan selama ini adalah karena kebaikan-kebaikanku dan suami semasa hidup. Aku cuma berbagi pengalaman ya, Bu, bukan mau riya. Memang, suamiku dulu itu orangnya pemurah. Kalau ada yang minta bantuan, dia akan kasih walaupun dia uangnya pas-pasan. Alhamdulillah, Allah kasih ganti. Sewaktu suami masih hidup, kami hidup sederhana. Rezeki suami itu dibagi ke orang-orang juga, padahal anak kami ada delapan. Suami tidak takut kekurangan,” tuturnya.
Sembari menahan nafas sebentar, ibu itu melanjutkan ceritanya kembali.
“Hingga suamiku meninggal dunia… uang duka yang kami dapatkan itu… Masya Allah… jumlahnya 100 juta. Padahal, suamiku itu biasa-biasa saja, bukan orang penting. Uang itu langsung dibuat biaya pemakaman, tabungan pendidikan anak, dan sisanya renovasi rumah yang mau ambruk,” lanjutnya.
Mendengar uang 100 juta dari uang duka saja, aku sudah cukup kagum dan takjub atas kebesaran Allah SWT.
“Saat renovasi rumah, aku serahkan saja ke tukangnya. Dia bilang, uangnya kurang. Aku lillahi ta’ala saja. Yang penting atap rumah tidak ambruk, karena memang kondisinya sudah memprihatinkan. Khawatirnya anak-anak ketimpa atap,” lanjutnya lagi.
Aku membayangkan, keajaiban apa lagi yang didapatkan oleh wanita itu?
“Tidak disangka. Begitu orang-orang tahu kalau aku sedang renovasi rumah, mereka menyumbang. Bukan ratusan ribu, tapi puluhan juta! Sampai terkumpul 100 juta lagi dan rumahku seperti bisa dilihat sekarang. Sampai hari ini, aku masih dapat transferan uang dari mana-mana, Ibu-Ibu. Aku tidak tahu dari siapa saja karena mereka tidak bilang. Aku juga sudah tidak pernah beli beras lagi sejak suami meninggal. Selalu ada yang menyumbangkan beras.”
Setelah mendengar cerita beliau, tak terasa air mataku pun meleleh haru sekaligus takjub. Lalu, secara otomatis mulutku bertanya, “apa rahasianya bu? Sehingga ibu bisa mendapatkan berkah dari Allah yang tak terhingga dan tak terduga seperti itu?”.
“Berbuat baik kepada siapa saja, sekecil apa pun. Insya Allah ada balasannya. Rezeki itu milik Allah. Kalau Allah berkehendak, Dia akan kasih dari mana pun asalnya,” tutupnya.
“Astagfirullah…memang benar rezeki itu milik Allah, siapa pun tidak boleh takabur. Bekerja bukanlah sarana menyombongkan diri bahwa hidup kita bakal terjamin karena bekerja. Yang menjamin hidup kita adalah Allah. Bekerja diniatkan untuk ibadah. Pembuka rezeki bisa datang dari mana saja, salah satunya dari berbuat kebaikan sekecil apa pun,”kataku dalam hati untuk menguatkan diri yang sempat sombong tak mempercayai akan kebesaran-Nya.
Jikalau sempat terlintas dan khawatir, “Kalau suami meninggal atau bercerai, siapa yang kasih makan aku dan anak-anak?” maka buang jauh-jauh pikiran itu. Sebab, hal itu sama saja dengan syirik atau menduakan Allah, karena kita mempercayai selain dari-Nya.
Jika dulu aku beranganggan diri kita super dengan bekerja, maka rezeki kita terjamin. Sebenarnya itu keliru. Sebab, ALLAH YANG KASIH REZEKI. Jika dulu Allah kasih rezeki melalui suami, maka besok Allah kasih lewat jalan lain. From Allah to Allah. []
Sumber: Planet.merdeka, judul asli : Rezeki Milik Allah