Oleh: Achmad Soib
Santri PP. Al-Fatah Banjarnegara
Al-Qur’an dapat dikatakan sebagai kitab al-Mu’jiz (yang melemahkan) atas seluruh umat manusia, kemu’jizatan al-Qur’an akan selalu dalam posisi yang tegar dan relevan fi kulli zaman wa makan, ditengah-tengah gejolaknya ilmu modern yang memaksa semua perkara untuk dirasionalitaskan.
Kemukjizatan al-Qur’an dapat dilihat dari perspektif apapun, salah satunya dari susunan kata yang membentuk bunyi yang secara umum disebut ilmu fonologi fonetik, atau dalam ilmu al-Qur’an disebut dengan ilmu tajwid.
Menurut Hisham Thalbah, hal ini merupakan paradigma baru tentang fonetik al-Qur’an. Yaitu memfungsikan bunyi yang terujar di dalam kalimat untuk mengeluarkan makna yang dimaksud. Dengan kata lain, ada hubungan semantik, antara bunyi suara terhadap pemaknaan kalimat. Misalkan dalam bahasa jawa kata “ayu” yang berarti cantik, jika diucapkan dengan “uwayu”, maka artinya menjadi sangat cantik.
Di dalam al-Qur’an, tekanan, durasi, sifat, cara baca, dan perbedaan penulisan sebuah lafadz, mempunyai implikasi pada makna dan maksud tersendiri, walaupun terkadang secara makna mufradat mempunyai arti yang sama.
Contoh bacaan Isymam (keadaan dimana ketika membacanya dengan cara memoncongkan kedua bibir ditengah-tengah bacaan ghunnah seakan-akan mengucapkan dhammah, akan tetapi pada hakikatnya fathah). Bacaan ini hanya terdapat dalam surat Yusuf ayat 11:
قَالُوا۟ يَٰٓأَبَانَا مَا لَكَ لَا تَأْمَ۫نَّا عَلَىٰ يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُۥ لَنَٰصِحُونَ
Artinya: mereka berkata; “wahai ayah kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguhnya kami adalah orang yang menginginkan kebaikan baginya.” (QS. Yusuf: 11).
Hubungan makna dengan bacaan tersebut, dimana pada saat saudara-saudara Nabi Yusuf hendak meminta izin kepada ayahnya yaitu Nabi Ya’qub untuk mengajak Nabi Yusuf berekreasi, dalam hal itu mereka sebelumnya sudah menyusun rencana ingin membuang Nabi Yusuf kedalam sebuah sumur kering.
Ketika meminta izin kepada ayahnya, saudara-saudara Nabi Yusuf terlihat gugup atau gagap dalam menyampaikannya sehingga ia bicara tidak yakin. Seperti seseorang yang berkata bohong, biasanya ia dalam mengatakan kebohongannya seperti orang gagap atau kata-katanya terputus-putus, mungkin saja karena ia kurang yakin dan takut.
Maka tampak jelas hubungan bacaan isymam pada lafadz لَا تَأْمَ۫نَّا , dengan konteks tersebut, yang menunjukkan bahwa saudara-saudara Nabi Yusuf dalam meminta ijin ragu-ragu, karena mereka berbohong pada ayahnya. (Syaikh Muhammad Syamlul, I’jaz rasm al-Qur’an wa I’jaz at-Tilawah, (Mesir: Dar as-Salam), hlm.219).
Dari penjelasan di atas dapat ditarik sebuah penyataan bahwa al-Qur’an mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan kitab-kitab lain, terutama keterkaitan bacaan (tilawah) pada maknanya. Bahkan, hal tersebut memberikan petunjuk makna yang sebenarnya yang dikehendaki Allah. Namun, kajian fonetik ini ada yang berimplikasi pada makna dan ada pula yang tidak berimplikasi terhadap makna kalimat atau ayat. Wallahu a’lam. []