Oleh: Alfitri
Alumnus Ponpes Al Munawwarah; tinggal di Riau
Awalnya, saya merasa kurang respek dengan sifat syaikh Yusuf al-Qardhawi, yang katanya tidak bisa mengurus pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci, menyetrika, membersihkan rumah dan semacamnya. Bahkan, semasa kuliah, teman dekat beliau yang bersedia mengurus itu semua. Begitulah yang beliau ceritakan sendiri dalam bukunya berjudul “Ibnul Qaryah wal Kuttaab”.
Finalnya, saat mencari calon istri, beliau pun mensyaratkan si calon harus bisa menerima kekurangan beliau itu, dan bersedia melakukan itu semua. Artinya, sang istrilah yang akan memasak, mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, merawat anak, dan semacamnya.
Namun, setelah melihat karir dan prestasi yang telah diukirnya, barulah sekarang saya bisa memahami hikmah besar di balik itu semua.
Saya berandai, bila syaikh Yusuf masih disibukkan dengan pekerjaan rumah, ditambah lagi dengan sifat istri yang tidak siap untuk hidup sederhana, banyak permintaan dan tidak tahan godaan duniawi, maka saya rasa mustahil secara adat kebiasaan beliau mampu melahirkan sekian ratus karya tulis. Sebab, menulis dan mengarang jelas membutuhkan sekian jam dalam sehari-semalam untuk bercengkarama dengan sekian banyak buku, dan menghabiskan sekian banyak waktu untuk menyendiri dalam ruangan pustaka.
Itu semua otomatis menguji kesabaran dan ketabahan sang istri serta anak-anaknya, bahkan menguji sudah seberapa dewasa kematangan cinta dan kasih sayang sang istri kepada syaikh Yusuf; apakah cintanya masih seumur jagung sehingga mudah merajuk dan cemburu ketika melihat sang suami asyik bercumbu dengan dunia keilmuannya, ataukah sudah sampai pada titik dimana tidak lekang karena panas dan tak lapuk karena hujan, sehingga bisa memahami bahwa sang suami tetap mencintainya dalam diam, masih memperhatikannya dalam senyap.
Selain itu, kalaulah bukan karena kesiapan, kesabaran dan kematangan cinta sang istri, tentu syaikh Yusuf juga tidak akan bisa mendunia dengan ceramahnya. Entah berapa hari, minggu dan bulan, lamanya beliau meninggalkan keluarga untuk menyampaikan ide dan gagasannya. Bahkan, dalam seminggu entah berapakali pula beliau harus berpisah dengan mereka.
Bukan hanya syaikh Yusuf, ulama besar semasanya; syaikh Wahbah az-Zuhaily, juga mengalami hal yang serupa. Dalam kitab Tafsir-nya berjudul at-Tafsiir al-Muniir, beliau menceritakan bahwa dirinya mampu merampungkan kitab Tafsir yang sangat tebal itu, karena terpisah jauh dari istri dan anak-anaknya, lantaran beliau saat itu menjadi dosen kontrak di luar negeri. Lagi-lagi, keterasingan inilah yang mampu membuat dirinya mengukir sekian banyak karya tulis.
Bahkan, itu pula yang menghantarkan imam Nawawi bisa merampungkan sekian banyak karya tulisnya, sebagaimana yang dibeberkan oleh Taqiyuddin as-Subky, saat memulai syarahan-nya untuk melengkapi syarahan imam Nawawi atas kitab al-Muhadzzhab.
Selain mereka, saya juga menemukan tokoh agung bernama imam Syafi`i. Dalam sejarahnya, pemikiran terbaru beliau berkembang pesat karena pindah ke kota Mesir seorang diri, tanpa istri dan anak-anak. Entah kemudian di Mesir beliau menikah lagi atau tidak, saya tidak tahu. Kalaupun iya, entah berapa jam beliau bisa berikan untuk keluarganya, di tengah kesibukannya dalam dunia keilmuan. Jam-jam siang sibuk dengan mengajar, di malam hari pun tenggelam dalam ibadah dan menelaah serta mengarang. Lagi-lagi, keterasingan dari kesibukan keluarga membuat tokoh besar ini mampu menorehkan pemikirannya dengan tinta emas dalam sejarah!
Begitu pula dengan sosok bernama imam as-Suyuuthy; seorang ulama yang sangat produktif. Dalam sejarahnya, beliau menghabiskan sisa hidup dan waktunya di pulau kecil bernama ar-Raudhah, untuk beribadah, menelaah dan mengarang. Beliau mengasingkan diri dari keluarga dan masyarakat. Lagi-lagi, keterasingan dari kesibukan keluarga dan masyarakat menjadi faktor penentu prestasinya yang gemilang!
Kembali saya berandai, bila tokoh-tokoh besar di atas selain imam Nawawi, disibukkan dengan pekerjaan rumah, atau terbelenggu oleh sekian banyak permintaan istri dan anak, bahkan bila istri-istri mereka tidak siap untuk hidup sederhana, dan tidak tabah dalam keterasingan, maka sejarah tentu sudah mencatat NOL besar dalam lembaran prestasi mereka. []