IBNU ‘Amr Ad Dimakiy dari ustadz ‘Abdullah Zaidi bercerita kepadaku…
“Anta tau tidak kalau ada satu suku yang sangat disegani oleh masyaikh saudi, namun berasal dari luar As Su’udiyyah?”
“Suku apa itu ustadz?”
“Pernah dengar Mauritaniyyah?”
“Belum ustadz, kenapa mereka disegani ustadz?”
“Karena kebiasaan mereka dalam menuntut ‘ilmu yang sangat luar biasa… Jika ada seorang anak kecil disana berumur 7 tahun belum hafal qur’an itu akan sangat memalukan kedua orangtuanya… Bahkan 7 dari 13 doktor di MEDIU berasal dari Mauritaniyyah.”
Anak+Kecil+Suku+Mauritania
Anak-anak suku Mauritania menunjukkan catatannya
yang ditulis di kayu “Lawhah”
BACA JUGA:Â Masjid Terbesar di Afrika telah Dibuka
“Masya Allah, bagaimana sistem pengajaran mereka…???
“Pertanyaan anta jamil… memang kita bukan hanya harus takjub, tapi kita harus meniru sistem yang mereka gunakan. jadi begini akhi…
Mereka itu mendapatkan pendidikan Al Qur’an bukan hanya sejak kecil, tapi sejak BAYI…
Ketika ada seorang ibu hamil, dia tidak akan menghabiskan waktu HANYA tidur di kasur. ibu tersebut akan MENYIBUKKAN DIRI untuk MUROJA’AH HAFALANNYA hingga ibu itu TERASA LETIH karenanya…
Setelah bayi itu lahir, keluarga yang akan muroja’ah. Misalkan seorang anak akan muroja’ah kepada bapak atau ibunya, maka DIWAJIBKAN untuk dia muroja’ah di depan adiknya yang masih bayi pula. Jadi ketika ibunya sedang menggendong bayi tersebut, kakaknya muroja’ah kepada ibunya. Kalaupun suara tangis bayi mengganggu kakaknya ya itulah tantangan untuk anak tersebut…”
“Masya Allah, lalu sistem ketika menginjak remaja gimana ustadz?”
“Ahsanta, ketika mereka berusia 7 tahun ke atas, mereka akan pergi kepada masyaikh untuk belajar agama. mereka TIDAK BELAJAR DI DALAM KELAS. Jadi para masyaikh setempat MEMBUAT TENDA DI TENGAH GURUN, dan di dalam tenda itulah proses belajar mengajar dilakukan… Mungkin dalam fikiran kita menyakitkan karena panasnya. namun itu NIKMAT untuk mereka karena RASA INGIN TAU YANG TINGGI pada diri mereka menjadikan SEDIKIT ‘ILMU adalah NIKMAT DAN RIZQI YANG MELIMPAH UNTUK MEREKA, BUKAN HARTA…!!!”
“Masya Allah… Masya Allah Yaa Ustadz…”
“Na’am, ketika syaikh tersebut berkata, “ISTAMI’…!!!”, maka semuanya menatap syaikh tersebut dan menyimak dengan seksama. Tidak ada yang berani menulis bahkan BERMAIN PULPEN, karena akan dimarahi…
BACA JUGA:Â Tunanetra, Bocah Ini Hafal Quran lewat Radio
Setelah syaikhnya menerangkan panjang lebar barulah mereka menulis. Mereka menulispun juga BUKAN di selembar kertas. Mereka menulis di batu, daun, kulit pohon atau sejenisnya yang mereka bawa dari rumah, kenapa tidak pakai kertas? karena memang itu dilarang, dan mereka hanya membawa selembar saja…
Setelah mereka menulis maka tulisan mereka yang berasal dari ingatan mereka itu ditunjukkan ke syaikh, kalau ada kesalahan maka akan dikembalikan untuk dibetulkan hingga semua santrinya menuliskan semua yang diucapkan syaikh… Itu menunjukkan SYAIKH TERSEBUT HAFAL APA YANG DIUCAPKAN.
Masya Allah… Ketika semua santrinya telah menuliskan dengan benar maka syaikh memerintahkan untuk dihapus…”
“Dihapus ustadz…??? Lalu mereka tidak punya catatan pelajaran hari itu dong?”
“Laa yaa akhi, ketika semuanya sudah benar itu menunjukkan pelajaran yang disampaikan oleh syaikh sudah HAFAL DI LUAR KEPALA. Jadi catatan mereka ya ingatan mereka itu… Setelah semuanya benar dan telah dihapus, maka syaikh melanjutkan pelajarannya… Begitu seterusnya sampai pelajaran di hari itu habis. Setelah mereka pulang ke rumah, barulah apa yang mereka INGAT mereka tulis ulang dalam buku-buku mereka…
Di usia 17 tahun, mereka sudah bisa mengeluarkan fatwa, yang berarti mereka sudah menjadi MUFTI…”
Salah+seorang+anak+suku+mauritania+yang+belajar
Belajar dengan hafalan dan mencatat di kayu
“Masya Allah, merinding ana ustadz…”
“Jamil… Dulu ketika ana di LIPIA ada cerita menarik, dosen ana ketika ingin mencari atau mengingat-ingat sebuah hadits maka beliau bertanya kepada temannya yang masih berstatus mahasiswa S2, karena apa?
Karena ikhwan ini sudah hafal kutubus sittah, bulughul marom, shohihain, dan sekarang sedang menghafal musnad imam ahmad dan sudah hafal 2/3 nya… Anta tau kan kitab-kitab tersebut tebalnya seperti apa??? itu hanya masih tebalnya, belum isi dari kitab tersebut… BERAPA BANYAK HADITS YANG TERDAPAT DI KITAB ITU? Masya Allah.
Dan yang akan lebih mengherankan anta adalah, MEREKA BUKAN HANYA HAFAL MATAN HADITSNYA… NAMUN SAMPAI KE RIJALUL HADITS, PERAWI INI LAHIR TAHUN SEKIAN, MENINGGAL TAHUN SEKIAN, MENGAMBIL HADITS DARI SIAPA SAJA, DINYATAKAN TSIQAH ATAU TIDAK OLEH ‘ULAMA, HINGGA DIA BISA MENENTUKAN SENDIRI SANAD HADITS TERSEBUT SHAHIH ATAU TIDAK TANPA MENCATUT PERKATAAN SEORANG MUHADDITS SEPERTI SYAIKH ALBANI KALAU HADITS TERSEBUT SHAHIH…”
“Masya Allah, merasa tidak punya apa-apa ustadz ketika menyadari di belahan bumi lain ada yang mempelajari agama hingga seperti itu…”
“Na’am, ana pun demikian… kalau anta ingat, USTADZ ERWANDI TARMIDZI pernah bilang seperti ini : “Janganlah kalian bangga ketika sudah hafal al qur’an, karena memang itu belum ada apa-apanya di kalangan penuntut ‘ilmu, dan janganlah kalian bangga ketika sudah hafal hadits arbain, karena itu sudah sangat lazim di kalangan penuntut ‘ilmu, janganlah kalian menjadi sombong dengan sedikitnya ‘ilmu yang kalian miliki… karena bukannya ‘ilmu itu akan bertambah malah bisa jadi akan berkurang. hafal qur’an hanyalah pintu untuk antum memasuki dunia para ‘ulama, hadits arbain hanyalah dasar pijakan pertama antum memasuki dunia para ‘ulama, namun kalian belum pantas disebut ‘ulama…”
Perpustakaan+Kuno+di+Syinqith
Perpustakaan kuno di Syinqith (Chinguetti)
“Masya Allah, banyak faidah dari obrolan ini ustadz…”
“Jamil, makna dari zuhud itu apa? Al Faqir Wal Masakin kah? Atau seperti apa menurut anta?”
“Yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang ditanya ustadz…”
“Ahsanta, Barakallahu fiik, zuhud adalah ketika kita mampu meninggalkan apa-apa saja yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat kita, al mislu: nonton YKS bermanfaat tidak untuk kehidupan akhirat kita?”
“Tidak ustadz.”
BACA JUGA:Â Jejak Penjajahan Prancis di Mauritania
“Jamil, maka tinggalkanlah hal yang serupa dengan itu dalam urusan duniawi kita kalau tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat kita… Itulah zuhud.”
“Ahsanta, lalu kenapa ‘ulama dari mauritaniyyah tidak terkenal ustadz?”
“Karena kebiasaan mereka… Mereka lebih disibukkan untuk belajar dan mengajar. Tidak ada yang namanya safari dakwah atau khuruj ke suatu tempat dan yang semisalnya… Kalau kita butuh beliau, ya kita yang mengunjungi beliau… Sebenarnya banyak ‘ulama dari mauritaniyyah, coba saja cari ‘ulama yang berakhiran “ASY SYINQITHI”. Mereka adalah hasil didikan adat menuntut ‘ilmu ala mauritaniyyah…”
“Syukran atas tadzkirahnya ustadz.”
“‘Afwan, sebenarnya ana juga sedang muhasabah diri, kalau diri kita belum dididik dengan sistem seperti itu, berarti tugas kita untuk mendidik anak cucu kita dengan sistem yang mereka miliki…” []