FIQIH muamalah dalam Islam mencangkup berbagai hukum tentang jual beli dan lain-lain. Dalam jual beli juga ada beberapa cara atau sistem yang digunakan. Salah satunya sistem pesan.
Sistem pesan tersebut kini marak dilakukan di era modern apalagi didukung sarana digital. Sistem ini kini dikenal dengan nama Pre Order (PO) atau Pay Forward (bayar di muka). Rule-nya, pembeli melakukan pesanan dan membayar produk yang dijual. Namun, produknya sendiri belum jadi atau dibuatkan setelah adanya pesanan serta pembayaran dari pembeli.
Beberapa orang masih mempertanyakan apakah sistem PO ini boleh dilakukan? Nah, untuk menjawab rasa was-was ataupun rasa penasaran tersebut ada baiknya kita kaji kembali mengenai fiqih muamalah. Adakah sistem PO seperti ini dalam Islam? Dan, bagaimana hukumnya?
Di jelasakan oleh Ustaz Yahya Abdurrahman seperti dikutip di Fiqih Berbisnis, dalam fiqih, dikenal istilah As-Salaf atau as-Salam. Inilah istilah yang paling dekat dengan sistem jual beli pesanan atau PO tersebut.
BACA JUGA: Belanja Online Sistem Pre-Order, Bolehkah dalam Islam?
As-Salaf asalnya katanya dari salafa–yaslufu–salfan; secara bahasa maknanya adalah berlalu, dulu atau taqaddama wa sabaqa (mendahului); juga bermakna al-qardh (utang). Sedangkan, As-Salam secara bahasa memiliki banyak makna, diantaranya yaitu at-taqdîm wa at-taslîm (mendahulukan dan menyerahkan).
Menurut al-Azhari, dalam konteks muamalah, as-salaf mempunyai dua arti: al-qardhu dan as-salam. Arti yang kedua ini lebih dominan sehingga as-salaf adalah as-salam atau sebaliknya; bahkan dikatakan ini arti menurut seluruh ahli bahasa. Hanya saja as-salaf lebih digunakan oleh orang Irak dan as-salam digunakan oleh orang Hijaz.
Disebut as-salam karena penyerahan harga dilakukan di majelis akad. Para fukaha mengartikan as-salaf atau as-salam sebagai akad atas sesuatu dengan karakter (spesifikiasi) yang dijelaskan dan dijamin diserahkan belakangan dengan harga yang diserahkan di majelis akad.
Dalam Mu‘jam al-Lughah al-Fuqahâ’ dinyatakan bay’ as-salam (forward buying) adalah jual-beli yang barang (produknya) diserahkan nanti belakangan, tapi spesifikasinya dijamin dengan harga yang diserahkan di majelis akad.
Dengan begitu, bay’ as-salam/bay’ as-salaf adalah jual-beli sesuatu yang dijelaskan karakter (spesifikasi)-nya yang dijamin diserahkan belakangan dengan sesuatu yang diserahkan seketika. Intinya, seseorang menyerahkan kompensasi seketika untuk suatu kompensasi yang dijelaskan spesifikasinya dan dijamin diserahkan belakangan, atau ia mendahulukan pembayaran harga suatu barang yang akan ia terima setelah tempo tertentu.
As-salaf atau as-salam adalah jual beli yang disyariatkan sebagaimana yang tercantum dalam QS al-Baqarah [2]: 281.
Ibn Abbas menceritakan, bahwa Nabi saw. tiba di Madinah dan masyarakat melakukan as-salaf pada buah-buahan satu atau dua tahun. Lalu Nabi saw bersabda:
مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ
Siapa saja yang melakukan as-salaf pada sesuatu maka hendaknya dalam takaran dan timbangan yang jelas sampai tempo yang jelas. (HR Bukhari).
Adapun ketentuan-Ketentuan as-Salam (PO) adalah sebagai berikut:
1. Rukunnya:
(1) shighat (ijab dan qabul);
(2) al-‘âqidân (dua orang yang melakukan akad as-salam), yaitu orang yang memesan/pembeli (rabb as-salam) dan yang menerima pesanan/penjual (al-muslam ilayh); keduanya haruslah orang yang secara syar‘i layak melakukan tasharruf;
(3) al-ma‘qûd ‘alayh (obyek akad), yaitu barang yang dipesan (al-muslam fîh) dan harga (ra’s mâl as-salam).
2. Syarat syahnya. Syarat-syarat yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan al-muslam fîh dan ra’s mâl as-salam.
(1) Syarat-syarat berkaitan dengan al-muslam fîh
Pertama, Harus sesuatu yang bisa ditimbang (al-makîl), ditakar (al-mawzûn) ataupun dihitung (al-ma’dûd). Sebab, Allah melarang kita menjual sesuatu yang bukan milik kita atau belum sempurna kita miliki. As-Salam adalah jual-beli yang demikian, namun oleh nash dikecualikan dari larangan itu, sehingga larangan itu khusus berlaku pada yang lain. Oleh karena itu, sesuatu yang boleh dilakukan as-salam haruslah yang dinyatakan oleh nash, yaitu harus sesuatu yang bisa ditakar, ditimbang atau dihitung. Ibn al-Mundzir juga telah menukilkan adanya Ijma Sahabat akan kebolehan as-salam pada barang/produk berupa makanan. Makanan itu dapat ditetapkan dengan ditakar, ditimbang atau dihitung. Hukum as-salam terkait dengan karakter ini. Dengan demikian, as-salam boleh dilakukan untuk sesuatu yang penetapannya dengan dihitung.
Kedua, selain harus bisa ditakar, ditimbang atau dihitung, al-muslam fîh itu harus jelas dan ditentukan jenisnya, misalnya kacang bogor, tahu sumedang, telur ayam ras, kain songket Lombok, dan sebagainya. Juga, harus ditentukan kadar takaran, timbangan atau hitungannya, misal sekian ton, liter, meter, buah, dsb. Semua itu harus berada dalam jaminan, artinya dijamin akan diserahkan dengan sifat-sifat (spesifikasi) seperti yang dijelaskan itu.
Ketiga, harus ada tempo yang jelas (diketahui) untuk penyerahan al-muslam fîh itu; misalnya sebulan, seminggu, tanggal sekian, dan sebagainya. Dan karena adanya tempo itulah yang menjadikannya as-salam. Karena, kalau bayar kontan, maka bukan as-salam namanya, tapi jual-beli cash.
Penjual tidak disyaratkan harus memiliki kebun, pohon, asal atau sumber al-muslam fîh. Muhammad ibn Abi al-Mujalid pernah bertanya kepada Abdullah ibn Abiy Awfa ra., dan Abdurrahman ibn Abza ra., apakah para sahabat melakukan as-salaf pada masa Nabi saw, Abdullah menjawab :
كُنَّا نُسْلِفُ نَبِيْطَ أَهْلِ الشَّأْمِ فِي الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيْرِ وَالزَّيْتِ فِي كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْم،ٍ قُلْتُ: إِلَى مَنْ كَانَ أَصْلُهُ عِنْدَهُ؟ قَالَ: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ، و قال عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى: كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صلى الله عله وسلم يُسْلِفُوْنَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عله وسلم وَلَمْ نَسْأَلْهُمْ أَلَهُمْ حَرْثٌ أَمْ لاَ
“Kami men-salaf hasil tetumbuhan penduduk Syam pada Gandum, Barley dan minyak dalam takaran yang jelas sampai tempo yang jelas. Aku (Muhammad) bertanya: “Kepada orang yang memiliki pohonnya?” Abdullah menjawab: “Kami tidak menanyakan hal itu”. Sedangkan Abdurrahman ibn Abza berkata: “Para sahabat Nabi saw melakukan as-salaf pada masa Nabi saw dan kami tidak menanyakan apakah mereka memiliki kebun atau tidak.” (HR. Bukhari)
(2) Syarat-syarat berkaitan dengan ra’s mâl as-salam (harga)
Pertama, harus jelas jenis dan kadar/jumlahnya; atau jelas nominalnya jika uang.
Kedua, pembayaran harganya harus diserahkan penuh atau semuanya pada saat akad di majelis akad, karena as-salaf dalam bahasa Arab adalah memberikan sesuatu pada sesuatu, yaitu membayarkan uang sebagai utang atas barang yang diambil (diterima) belakangan.
BACA JUGA: Mau Belanja Baju Online di Marketplace, Ini Tipsnya
Oleh karena itu, seperti yang dikatakan Imam asy-Syafii, tidak akan terpenuhi makna taslîf kecuali pembayarannya diberikan penuh (semuanya) pada saat akad di majelis akad sebelum keduanya berpisah. Siapa yang tidak memberikan pembayaran sesuatu yang ia pesan, maka itu bukan as-salam, melainkan janji akan memesan (wa’d bi an yuslifa). Jika hanya sebagian yang diserahkan, maka as-salam yang sah hanya pada kadar yang diserahkan itu, sementara yang belum diserahkan hanya berupa janji dan tidak mengikat. Jadi, yang harus dibayarkan bukan hanya DP (uang muka)-nya saja, tetapi pembayaran harganya secara penuh.
Ketiga, tidak boleh terjadi ghabn fâkhisy (kecurangan harga; ada selisih yang tidak wajar/zalim). Harga itu ditentukan menurut harga pasar saat dilakukan akad.
Adapun syarat terjadinya ghabn fâkhisy ada dua yakni adanya ketidaktahuan pihak yang dicurangi dan adanya selisih yang tidak wajar/zalim sesuai penilaian para pedagang.
Jika terjadi hal itu maka yang dicurangi boleh memilih antara menerimanya dan tetap melanjutkan akad atau membatalkan akad dan meminta kembali harganya seperti yang diserahkan saat akad. Ia tidak boleh hanya mengambil selisihnya saja.
Kalau ketika jatuh tempo jenis barang yang dipesan tidak ada atau kadarnya kurang, maka pembeli (pemesan/rabb as-salam) hanya boleh mengambil kembali harga yang ia bayarkan saat akad. Ia tidak boleh mengambil lebih dari itu dengan alasan kompensasi, denda atau lainnya. Jika dia mengambil uang lebih dari itu, artinya ia mengambil uang yang diutangkan dengan tambahan dan itu adalah riba. Ia pun tidak boleh mengambil pengganti barang yang lain. Sebab itu artinya ia telah mengakadkan akad baru, yaitu ia menjual barang yang belum ia terima dengan barang lain. Dengan kata lain, ia telah melakukan bay’atayn fî bay’ah (dua jual beli dalam satu transaksi) dan itu adalah haram.
Nabi SAW bersabda:
مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَلاَ يَصْرِفْهُ إِلَى غَيْرِهِ
“Siapa saja yang melakukan as-salaf pada sesuatu, janganlah mengalihkannya ke yang lain.” (HR Abu Dawud)
[Yahya Abdurrahman]