AH, saya lupa siapa yang punya cerita. Yang pasti pemuda belia itu gagal masuk ITB, gagal kuliah di kampus idamannya. Padahal persiapannya sudah matang, belajar pun sudah optimal. Tapi hasilnya belum sesuai harapan.
Tahun kedua ikut tes lagi, tentu dengan persiapan yang jauh lebih matang, dengan usaha maksimal. Tapi ternyata gagal lagi.
Tahun ketiga pun ikut tes lagi, bersaing dengan adik-adik kelasnya yang rata-rata dua tahun lebih muda. Belajar dari kegagalan dua kali berturut-turut, maka persiapan tes kali ini bukan persiapan biasa, melainkan mengerahkan segala upaya. Tapi tahukah engkau kawan, pemuda itu ternyata gagal lagi di tahun ketiga ini.
Stres, down? Tentu saja. Tapi tak boleh putus asa. Harapan kuliah di kampus favourit itu harus dikuburnya dalam-dalam, kegagalan demi kegagalan harus ditelannya bulat-bulat, kecut dan pahit.
BACA JUGA: Harapan
Sementara untuk melanjutkan kuliah ke tempat lain pun, hatinya masih berat. Ditambah kondisi ekonomi keluarga yang kian hari kian menurun, kian bertambah tahun usaha dagang ayahnya kian sepi pembeli.
Demi membantu kehidupan keluarga, demi adiknya yang baru kelas 1 SMA, pemuda itu akhirnya memutuskan untuk bekerja. Tak pilih-pilih, apalagi hanya berbekal ijazah SMA, asal halal pekerjaan apapun siap dilakukannya.
Sopir pribadi.
Ya, pemuda itu akan jadi sopir seperti pekerjaan pamannya. Kawan sang paman, sesama sopir, pulang kampung karena istrinya sakit. Nah, pemuda itu akan menggantikan sementara selama sopir kawan pamannya mengurus istri yang sakit di kampungnya. Mungkin sebulan, dua bulan, atau bisa jadi tiga bulan lebih.
Karena belum bisa nyetir mobil, sang pamanlah yang mengajarinya. Mulai di lapangan luas, mulai bisa belok kiri kanan, mulai bisa mundur, mulai ke jalan pelan-pelan. Setelan sekian lama dan dirasa lancar, dizinkanlah bawa mobil sendiri.
Tapi masih ragu, apalagi pekerjaannya nanti jadi sopir pribadi bos sebuah perusahaan yang kerap kian kemari, kerap keluar kota. Maka untuk memantapkan skill nyetirnya, memaksakan diri pemuda itu merogoh saku cukup dalam untuk kursus nyetir sampai mahir. Ya, sampai benar-benar mahir.
Singkat cerita, resmilah pemuda itu bekerja sebagai sopir pribadi salah satu orang penting di perusahaan alat berat. Tiap hari mengantar si bos ke kantor, ke luar kota, dan seabreg kegiatan lainnya. Salah satu bisnis bos yang di sopirinya adalah jual beli alat berat, seperti dozer (loader), excavator, crane, motor grader, compactor dan sebagainya.
Suatu hari si bos sakit, sementara hari itu sudah ada janji dengan klien yang akan melepas alat beratnya di suatu tempat. Ingatlah pada sopirnya yang selama ini ikut ke sana kemari, bukan sekedar sopir, tapi teman diskusi, bahkan tak jarang dimintai pendapatnya.
Sopirnya ini berotak encer, gampang mengerti, disiplin, dan tanggungjawab. Yang lebih penting lagi, sopirnya yang satu ini sudah tahu seluk beluk bisnis dan biasa menghitung dengan cermat berapa harga alat berat.
Dipercayakanlah pertemuan dengan klien hari itu pada sopirnya. Dan benar saja perusahaannya mendapatkan untung berlipat ganda. Kepercayaan bos makin meningkat, dinaikanlah pangkatnya dari sopir jadi staf.
Eh, ternyata cekatan. Staf satu ini kalau rapat ide-idenya brilian, gagasan-gagasannya cemerlang, dan pikirannya jauh ke depan. Dinaikanlah pangkatnya dari staf biasa jadi staf HRD. Wow. Human Resources Departement.
Posisinya kali ini tak main-main, pemuda itu menjadi bagian penting yang mengurus sumber daya pegawai. Pelatihan, pengembangan diri, rekrutmen dan sebagainya. Fantastis.
Perusahaannya kian besar, kian maju, tentu saja kian bergengsi. Karena perusahaannya terus merangkak, meraksasa, tentu saja butuh tambahan SDM, butuh tambahan pegawai. Rapat digelar, dibuka lowongan kerja. Open recruitment. Karena begerak di bidang alat berat, tentu porsi pegawai banyak dibutuhkan lulusan teknik.
BACA JUGA: Sebelum Buka Bisnis, Jawab 8 Pertanyaan Ini
Masuklah berkas lamaran ke kantornya, berjubel-jubel, pak pos bolak-balik mengantar dokumen dengan motor warna orangenya, banyak sekali amplop coklat lamaran kerja. Satu per satu pemuda itu membukanya, hingga matanya lekat memandang sebuah ijazah kampus idamannya, “Seandainya masuk ITB mungkin tahun ini baru lulus, mungkin juga saat ini baru melamar kerja.”
Apa maknanya?
Ah, pembaca lebih pandai menjawabnya. Yang pasti manusia berkehendak dan Allah pun berkehendak. Kehendak Allah itu lebih baik, skenario Allah itu indah.
Ini bukan cerita tentang saya lho. Saya gak kerja di perusahaan alat berat jeh.
Jadi kesimpulannya? Bila gak bisa masuk ITB menikahlah dengan alumni ITB. Eh, gimana ini?
[]