“BANG pulang jam berapa?” tanyaku dari ujung telepon.
“Sabar ya, Bun. Insya Allah setelah Ashar. Ini Buya mau persiapan shalat Zuhur, terus makan.”
“Ya udah, selamat makan. Nanti cepat pulang ya.”
“Insya Allah, nanti kalau tak ada lembur, segera pulang.”
Biasanya aku tak perlu menghubunginya, sebab suamiku selalu memberi kabar. Hanya saja, sudah beberapa hari ini tidak demikian. Memang dia menyampaikan akhir-akhir ini banyak kerjaan yang mengharuskannya lebih lama di kantor, tetapi biasanya meski sesibuk apa pun, selalu ada pesan masuk melalui WhatsApp, namun hari ini memang tidak ada dan sebagai seorang istri jelas saja perasaanku tidak tenang.
Kuambil ponsel, kuketik pesan yang mengabarkan bahwa aku merindukannya. Berharap ia bisa meluangkan waktu untuk membalas pesanku, meredakan gelisah yang menghunjam dalam dada. Dengan sabar kutunggu balasan darinya, sampai akhirnya aku ketiduran, saat bangun karena terdengar suara azan kucek ponsel kembali. Pesanku tetap belum dibalas, padahal kulihat suamiku aktif. Kucoba menghubungi, ternyata sedang berada di pangilan lain.
Kutepis prasangka buruk, berhubung berpraduga buruk tidak dianjurkan dalam ajaran agama. Qur’an Surah Al Hujarat ayat 12 kupahami betul bahwa sebagai hamba-Nya, kita mesti menjauhi prasangka buruk, karena prasangka buruk itu dosa. Jadi hendaknya jangan mencari-cari keburukan orang dan menggunjing satu sama lain sebab itu tak ubahnya memakan daging saudaranya yang sudah mati. Tentu merasa menjijikan oleh sebab itu mesti bertakwa kepada Allah.
Untuk menghilangkan prasangka buruk, kusegerakan mandi dan bersiap diri menunaikan ibadah shalat Ashar. Seusai sujud kutuntaskan, air mataku kembali menetes ketika kubaca kumpulan hadis dan sampailah pada hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, “Jika seseorang telah menikah, berarti ia telah menyempurnakan separuh agama. Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separuh sisanya.”
“Ya Allah, hamba memohon pada-Mu untuk menjaga hati suami hamba. Jika pun atas kehendak-Mu suami hamba diuji oleh musibah, maka kuatkanlah ia. Jika musibah itu melibatkan perempuan lain, hamba mohon pada-Mu agar suami hamba sadar atas kekhilafannya. Hanya kepada-Mu hamba meminta pertolongan.”
BACA JUGA: Jangan Malu Jadi Ibu Rumah Tangga
Kulihat arloji yang melingkar di tanganku, waktu sudah hampir Maghrib. Baru saja berniat menghubungi suamiku, namun ternyata ada suara ketukan di pintu. Ternyata teman sekantor suamiku datang.
“Eh Mas Salman. Mas Wahyu mana?” aku kira dia bersama suamiku, ternyata datang sendiri.
“Lho, bukannya sudah pulang duluan? Aku kesini mau minta berkas yang terbawa Wahyu. Kukira sudah di rumah.”
“Belum pulang, Mas. Mungkin mampir ke tempat lain. Sudah coba menghubungi melalui telepon?”
“Sudah. Tapi nomornya sibuk terus, makanya aku ke sini. Ya sudah, nanti malam saja aku kembali. Tidak enak juga bertamu saat suamimu belum ada di rumah. Aku pamit ya, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Setelah Mas Salman pulang, kucoba menghubungi kembali suamiku, tetapi hasilnya sia-sia saja. Akhirnya kuputuskan menunggu dan selepas Magrib barulah suamiku pulang. Ia membawa makanan kesukaanku, memohon maaf lama pulang dengan alasan tadi mampir ke kafetaria untuk menyiapkan tugas kantor agar lebih santai mengerjakannya.
Sebagai perempuan, jujur saja firasatku mengatakan suamiku sedang berbohong. Berhubung hal yang dilakukannya kali ini memang di luar kebiasaannya, tetapi sekali lagi aku mencoba berpikir positif, sebab pada akhirnya poin utama dalam rumah tangga adalah kepercayaan. Lagipula yang terpenting suamiku sudah pulang, ditambah lagi katanya banyak pekerjaan, maka aku tak ingin semakin membuatnya lelah.
Mungkin karena terlalu lelah, suamiku tertidur lebih cepat daripada biasanya. Kuambil ponselnya, kubuka pesan di WhatsApp, taka da yang aneh. Kutarik nafas sedikit lega, barangkali memang aku yang terlalu berpikiran buruk. Tetapi kemudian aku cek lagi panggilan di WhatsApp, ada satu nomor yang kerap dihubungi. Kecurigaanku tiba-tiba muncul lagi, dengan pelan-pelan kubawa ponsel suamiku ke luar kamar. Dalam pikiranku, jika kuhubungi pakai ponsel suami, pasti diangkat dan dugaanku ternyata benar.
“Hallo sayang. Tumben malam telepon, apa nggak takut ketahuan istri.”
Seketika badanku lemas. Empat ratus lima puluh hari aku mengenal dan membersamai suamiku dalam cinta. Hari ini, tepat Jum’at di awal Maret sebuah luka dalam kalbu membuatku berpikir tak mungkin lagi kugenggam jemarinya. Hanya saja, Allah sudah menyempurnakan separuh agama kami melalui pernikahan, maka jika aku memutuskan pergi bukankah sama saja menodai kesempurnaan separuh agama yang dianugerahkan oleh-Nya, jika begitu betapa berdosanya aku yang tidak bisa mengemban amanah pernikahan atas kehendak-Nya?
BACA JUGA: 20 Teladan Nabi dalam Berumah Tangga
Namun, apa arti sebuah pernikahan bila dusta dilakukan oleh seseorang yang disayang? Kadangkala tak habis pikir, bagaimana mungkin dia yang memberi kabar tiap hari dan memperlakukanku layaknya tak ada wanita lain di dunia setelah ibu dan adik perempuannya justru tega berbuat hal yang membuat hatiku bagai tersayat sembilu, perih dan merintih dalam kesakitan. Sungguh, kecewa tak mampu lagi kuungkapkan dengan kata dan hanya bisa kuwakilkan pada tetes airmata. Berhubung perihal sebuah luka, ada yang tak bisa diceritakan pedihnya lewat untaian kata dan hanya bisa diwakilkan pada derai air mata, sebab air mata ialah bahasa dari Tuhan yang melambangkan kejujuran paling dalam di setiap jiwa seorang insan.
“Saya istrinya.” Dengan suara bergetar, akhirnya kuberanikan diri untuk bersuara.
“Oh, ini istri Mas Wahyu. Pasti menelpon diam-diam saat dia tidur ‘kan? Baguslah, dengan begini tak ada lagi yang perlu dirahasiakan. Saya menyukai suamimu dan suamimu pun menyukai saya, namun barangkali belum berani jujur padamu. Tidak perlu ribut dengan suamimu, kalau mau kita bertemu saja besok. Cukup aku dan kamu, agar kujelaskan alasan mengapa aku mencintai suami orang.”
Astaghfirullahaladzim. Aku tak menduga jika selingkuhan suamiku akan berkata begini. Pikiranku benar-benar kacau, tetapi aku rasa perlu juga untuk menemui perempuan itu. Aku menyanggupi ajakannya dan memintanya merahasiakan pada suamiku kalau besok akan bertemu.
Kami mengakhiri perbincangan. Aku kembali ke kamar, melihat suamiku yang tertidur pulas. Jika menuruti amarah, sudah pasti kubangunkan dia dan menciptakan pertengkaran yang hebat. Hanya saja, aku tak mau gara-gara pertengkaran malam ini justru agendaku menemui selingkuhannya besok rusak.
Kusambut pagi dengan lesu. Meski begitu, aku berusaha seolah tidak terjadi apa-apa tadi malam. Baju kerja suamiku tetap kupersiapkan, demikian pula menu sarapan pagi untuknya.
Setelah suamiku pergi, aku berangkat menemui perempuan itu sesuai alamat yang diberikannya padaku. Sebuah rumah yang cukup megah dan seorang perempuan muda menyambutku.
“Mari masuk. Kita bicara di dalam sebagai sesama perempuan yang mencintai lelaki yang sama.”
Kami duduk berhadap-hadapan. Perempuan itu terlihat tenang dan tak ada raut wajah bersalah. Justru aku yang tidak tenang, sebab amarah telah membuncah dalam dada. Kuucapkan istighfar berulangkali.
“Baiklah, tak perlu berbasa-basi lagi. Sebagaimana yang kubicarakan tadi malam, aku mencintai suamimu dengan tulus. Bagiku fitrah manusia itu mencintai, aku dan suamimu saling mencintai. Hanya saja barangkali suamimu belum terbuka sebab masih menjaga perasaanmu, bahkan dia sendiri yang bilang tak berniat menceraikanmu sebab ia menikahimu juga atas dasar cinta,” perempuan itu membuka percakapan.
“Benar kami memang menikah atas dasar cinta. Hanya saja, kini dia selingkuh denganmu dan bagiku jika memang mencintai istri, maka suamiku akan menjaga hatinya untuk tidak melirik perempuan lain.”
“Aku tahu kamu paham agama. Kamu tamatan pesantren ‘kan? Bukankah kamu tahu Allah membolehkan poligami. Ada diterangkan dalam Qur’an surah An-Nisa ayat 3 yang menyatakan nikahi perempuan maksimal empat. Jadi jika kamu menolak poligami, bukankah artinya kamu menolak syariat?”
BACA JUGA: 13 Adab Rumah Tangga agar Lebih Romantis
“Maaf, baca Al-Qur’an jangan hanya sepotong-sepotong. Qur’an surah An-Nisa ayat 129 secara tegas menyatakan bahwa sesungguhnya manusia tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrinya, walaupun lelaki itu sangat ingin berbuat demikian.”
“Aku sangat yakin, suamimu akan berbuat adil baik terhadapku mau pun terhadapku ketika nanti berpoligami.”
“Menurutmu keadilan seperti apa yang bisa dilakukan oleh suamiku?”
“Dia pasti bisa membagi nafkah yang sama besarnya.”
“Mohon maaf, itu tidak adil, karena kebutuhanku sebagai istri pertamanya jika ia sudah menikahimu jelas jauh lebih besar. Aku butuh uang untuk belanja kebutuhan anak-anak yang sudah jelas ada.”
“Jika begitu, aku akan memintanya untuk akan melebihkan uang untukmu sebagai istri pertamanya.”
“Itu juga tidak adil, sangat tidak adil bagi kamu selaku istri kedua. Sebab, kamu juga berhak memiliki harta yang cukup untuk anak-anakmu kelak.” Sahutku dengan cepat.
“Lalu bagaimana keadilan yang benar jika semua disalahkan? Padahal Allah membolehkan, itu kebenaran.”
“Kamu hanya membenarkan ayat Allah yang kamu sukai. Kamu juga sudah tidak berlaku adil kepada Allah,” jawabku sembari menatapnya dengan tatapan yang tajam.
“Sekarang aku balik bertanya, apakah poligami itu dilarang dalam agama?” ia membalas tatapanku dan malah bertanya balik.
“Tidak. Dalam syariat agama, berpoligami memang tidak dilarang. Hanya saja, aku sebagai istri sahnya saat ini yang sudah pasti melarang. Aku melarang demi melindungi anak-anakku. Melindungi martabat suamiku di mata masyarakat. Bahkan melindungi harga diriku sebagai kaum yang jika ditanya dari relung hati yang paling dalam pasti tidak mau dibagi cintanya. Lagipula, poligami di masa sekarang lebih didominanasi oleh nafsu serakah.”
“Suami itu pemimpin dalam keluarga. Ia penentu keputusan, jadi jika suamimu meminta poligami, bukankah sudah kewajibanmu sebagai istri untuk taat padanya.”
“Menolak suami poligami itu termasuk tidak taat? Kamu salah, itu justru bentuk ketaatan pada hatinya. Pada imannya. Aku menolak pasti karena tidak benar-benar tidak yakin suamiku bisa berbuat adil. Aku hanya menjaga agar suamiku tidak terjerembab pada dosa yang besar, selain tidak bisa berbuat adil, juga menelantarkan anak-anak.”
Perempuan itu terdiam. Aku memang harus tegas, berhubung fakta di lapangan ketika suami menikah lagi, sukar untuk bisa berbuat adil. Aku bukan menolak syariat, tetapi aku hanya ingin imam rumah tanggaku diselamatkan Allah di akhirat kelak. Berhubung dalam riwayat hadis Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i dan Ibu Majah dinyatakan bahwa barang siapa yang memiliki dua orang istri lalu dia lebih cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka dia akan datang pada hari kiamat kelak dengan sebelah tubuhnya miring.
Begitulah, aku tetap bertahan dengan prinsip untuk melindungi suamiku. Aku hanya ingin menjadi satu-satunya istri baginya, bukan egois tetapi lebih kepada rasa sayangku padanya. Aku ingin sehidup-sesurga dengannya.
“Jika begitu, maka mari kita bersaing secara sehat. Kamu berjuang mempertahankan rumah tanggamu, sementara aku juga berjuang untuk meyakinkannya bahwa aku bisa lebih mampu membuatnya bahagia bisa memutuskan berpisah denganmu dan memilih menikahiku,” tiba-tiba perempuan itu memecah kesunyian di antara kami.
Gila! Perempuan ini benar-benar sudah gila, tak habis pikir begitu banyak laki-laki mengapa dia lebih memilih mencintai suami orang. Berhubung sudah begitu tekadnya, maka taka da gunanya aku melanjutkan pembicaraan ini. Akhirnya kuputuskan untuk pamit.
Sesampainya di rumah, di malam harinya aku putuskan untuk berbicara dengan suamiku. Dia pun akhirnya mengakui bahwa dekat dengan perempuan itu. Meski aku sudah mempersiapkan diri, tetap saja kemarahanku tak terbendung.
BACA JUGA: Ingin Rumah Tangga Bahagia?
“Mas, apakah ada yang kurang dariku? Mas memintaku untuk berhenti kerja dan fokus mengurus rumah dan anak kita. Harapanku bisa jadi istri yang baik dan sesuai dengan harapanmu.”
“Aku sebenarnya sudah ingin jujur padamu, namun belum siap. Kini kamu sudah tahu, ya sudahlah. Jujur entah mengapa aku mencintainya, meski sudah berulangkali mencoba mengabaikan perasaanku padanya, namun pada akhirnya karena ketulusannya mencintai meski aku sudah beristri akhirnya aku semakin dekat dekatnya. Namun awalnya aku tak menjanjikan apa pun, termasuk menikah, karena aku tak ingin berpisah denganmu. Hanya saja, akhir-akhir ini hatiku benar-benar sudah menempatkannya sebagai sosok yang spesial, kini aku ingin memintamu untuk menerimanya sebagai istri keduaku. Bagaimana?”
“Maaf, Mas. Aku tidak bersedia mengenai alasannya sudah kusampaikan pada perempuan itu, jadi memang lebih baik aku mundur, sebab hatimu telah dipenuhi olehnya dan pada akhirnya aku hanya ingin membuatmu bahagia. Jika memang kebahagiaanmu bukan denganku, maka pergilah.”
Aku tahu perbuatan halal yang sangat dibenci Allah ialah perceraian, namun aku juga tak ingin suamiku terjerembab pada hal yang tidak adil dalam pernikahan. Maka, mungkin perpisahan inilah yang terbaik bagi kami, kepada-Nya kupasrahkan hidupku dan percaya suatu saat aku bisa menemukan seseorang yang memberikan kebahagiaan sejati bagiku. []
21 Mei 2022
Zayyan Afifah merupakan pegiat literasi kelahiran Lape, 19 Rojab 1420 (Hijriyah). Mulai berkecimpung di dunia sastra sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Ia adalah sosok gadis pertama, sekaligus terakhir dari pasangan H.Arief Kaharusman dengan Sri Hartati. Selain aktif sebagai penulis juga terlibat dalam beragam aktivitas rohis.