Oleh: Azhari Mulyana, Mahasiswa S1 jurusan Islamic Studies, Faculté des lettres et sciences humaines Université Hassan II, Casablanca, Maroko
MAROKO adalah negara islam yang berada di Afrika Utara dan berbatasan langsung dengan Spanyol yang hanya dipisahkan oleh selat Gibraltar. Sampai saat ini negara dengan sebutan maghrib (negeri matahari terbenam) ini tidak begitu masyhur di kalangan masyarakat Indonesia, malah kebanyakan mereka mengira negara ini terletak di Timur Tengah seperti negara-negara Arab pada umumnya.
Berbeda dengan negara lain, Maroko sebagai negara kerajaan memiliki dua ibukota negara yaitu Rabat sebagai ibukota administrasi dan Casablanca sebagai ibukota industri. Tidak heran kalau kedua kota ini terlihat lebih ramai dan padat penduduknya, sehingga membuat suhu udara keduanya sedikit lebih tinggi saat musim dingin dibandingkan kota lain disebabkan oleh polusi. Kami sering menyebut kedua kota ini sebagai ‘Jakartanya Maroko’.
Menariknya, istana raja bisa kita dapati di setiap kota di Maroko tidak seperti Indonesia yang hanya menempatkan istana presiden hanya di ibukota negara atau tempat tertentu saja. Casablanca yang menjadi tempat rantauan saya mewujudkan impian saat ini juga memiliki keunikan tersendiri dibandingkan kota-kota lain yang berada di Maroko.
Secara etimologi ‘Casablanca’ berasal dari bahasa Perancis yang mengandung arti Rumah Putih atau Ad-darul Baidha’ (dalam bahasa Arab). Menurut pendapat sebagian masyarakat Maroko, dinamakan dengan Casablanca karena kebanyakan gedung-gedung dan bangunan di kota ini berwarna putih, sehingga tampak lebih bersih dan rapi.
Sabtu pekan lalu saya menuju kotanya Casablanca atau dikenal dengan medina. Kota dengan tempat saya tinggal lumayan jauh dan harus ditempuh dengan bus kota sebagai transportasi yang sangat relevan untuk masyarakat ekonomi kelas bawah. Masing-masing nomor bus di kota ini sesuai dengan jalur yang ditujunya. Dan biasanya saya menumpangi bus nomor 22 untuk menuju ke kota. Bisa juga naik petit taksi (taksi kecil), namun harganya terjangkau sangat tinggi untuk menempuh jarak yang jauh.
Hal ini berbeda dengan Indonesia yang bisa mengakses transportasi dengan mudah.
Kalau berbicara soal sepeda motor (warga Aceh menyebutnya kereta), di Maroko tidak banyak yang memiliki kendaraan ini. Toh kalaupun ada, motor di sini sudah tidak layak pakai.
Sampai di kota, terlihat begitu membekas sisa-sisa jajahan Prancis di negara ini. Bangunan, cafe, restaurant dan lainnya tampak seperti di Prancis, bahkan segala bentuk tulisan yang kita temukan menggunakan bahasa Prancis dan sedikit sekali menggunakan bahasa Arab. Begitu kentalnya akulturasi budaya eropa di maroko membuat masyarakat maroko tidak canggung ketika diajak berkomunikasi dengan bangsa eropa.
Tidak hanya itu, kabarnya bus kota yang sering saya tumpangi merupakan buangan Prancis. Maka tidak heran ketika melihatnya saya teringat bus Kopaja yang pernah saya tumpangi di Jakarta karena keduanya tidak jauh berbeda.
Casablanca merupakan kota yang paling mewah di Maroko. Saking mewahnya apapun yang diperdagangkan di sini sangatlah mahal dibandingkan dengan kota lain. Meskipun begitu, kerajaan Maroko sangat memperhatikan masyarakatnya yang tinggal di pelosok desa atau jauh dari kota-kota besar. Sehingga, semakin jauh suatu daerah dari kota besar, barang yang diperjualbelikan semakin murah. Begitu juga sebaliknya, barang-barang yang diperjualbelikan di kota-kota besar seperti kota Casa ini ternilai mahal. Hal ini sangatlah berbanding terbalik dengan yang terjadi di Indonesia.
Di kota ini juga terdapat suq qadim (pasar tua) yang terkesan masih sangat kental aroma khas Arabnya. Mulai dari pernak-pernik khas Maroko, lukisan-lukisan Arab kuno, alat-alat musik tradisional, hingga pakaian, makanan dan buah-buahan serta alat teknologi juga banyak diperdagangkan. Tidak hanya orang Maroko, tetapi juga orang Afrika berkulit hitam banyak yang berjualan di tempat ini.
Namun jika Anda mengunjungi pasar ini pada pagi hari, tidak Anda temukan satu orangpun yang berjualan. Karena kebiasaan orang-orang Maroko keluar dari rumah mereka alias beraktifitas pada menjelang senja atau ba’da ashar.
Ketika itulah saya merasa sangat nyaman dan tenteram duduk di tengah keramaian kota yang sejuk nan indah ini. Terlebih ketika tramway (kereta lintas kota) melewati keramaian ini, menjadikan alun-alun kota sebagai daya tarik bagi tourist (wisatawan asing) untuk mengabadikan perjalanan mereka dengan berfoto.
Dari arah lain terlihat anak-anak asyik bermain dan berlari-lari ke sana kemari, para remaja juga tidak kalah asyiknya ketika memainkan papan skateboard mereka. Orang tua pun kelihatan fresh dan santai, sebagian mereka ada yang sambil meneguk secangkir kopi di cafe-cafe merenungkan dunia, banyak orang duduk-duduk bersantai menikmati suasana senja.
Kebiasaan-kebiasaan seperti inilah yang membuat negara seribu benteng ini dijuluki negeri senja. []