KITA kebanyakan sekarang bisa punya smartphone mahal penuh kecanggihan berharga jutaan, tapi sering kita tak punya Quran yang dimuliakan walau harganya tak lebih dari seratus ribuan.
Giliran di rumah ada Quran, itu pun dipakai berbarengan, sekadar dijadikan alat peninggalan nenek moyang alias jarang dipegang. Padahal kata Nabi junjungan, jangan sampai jiwa kita ini laksana kuburan yang hanya sepi tak terperikan disebabkan tak pernah dibacakan ayat-ayat penuh penyucian.
Kalau kita kalkulasikan, bisa jadi waktu yang kita berikan untuk smartphone lebih banyak dibandingkan dengan waktu kita berasyik-masyuk dengan Al-Quran. Sering kali pinggang kita sudah terasa bagai dipanaskan padahal baru baca Quran 5 halaman, dan jika kita jumlahkan mungkin waktunya tak kurang dari sepuluh menitan.
Giliran membuka smartphone, media sosial-an, kita bisa nongkrong jam-jam-an. Nungguin teman, baca up-date-an. Menepi karena kehujanan, buka browser mengklik portal berita kekinian supaya tidak dibilang ketinggalan perkembangan. Pokoknya, bisa dikatakan tiada waktu terlewatkan tanpa smartphone di genggaman.
Tak jarang pula kemana-mana kita pergi, Al-Quran ketinggalan, kita merasa tidak dirugikan. Karena merasa di smartphone sudah diinstal-kan. Padahal, pada kenyataan, itu aplikasi jarang dibuka, sekadar ada saja agar terlihat keren smartphone yang kita genggam.
Giliran smartphone ketinggalan, kita merasa kepayahan. Bahkan tak jarang harus balik ke rumah mengambil smartphone walau harus deras kehujanan dan sudah kejauhan. Sungguh, jika sudah begitu, kita perlu menanyakan, sejauh mana kita merasa berdekatan dengan Al-Quran? Atau memang lebih sering jaling keakraban dengan si alat penghubung di genggaman? []