SEBAGAI pasangan yang menjalani Long Distance Relationship (LDR), jarang bertemu itu sudah biasa. Yang terpenting adalah komunikasi dan saling percaya.
Ketika ada waktu untuk pulang, suami akan menempuh perjalanan antar kota yang cukup jauh. Rute yang dilalui biasanya melewati sebuah kedai bakso langganan keluarga. Sudah jadi kebiasaan, jika dia pulang, saya dan keluarga di rumah sering requst dibelikan mie ayam di kedai tersebut.
Mie ayam di kedai itu beda dari kedai lainnya. Selain bisa disantap di tempat, mie ayam di kedai tersebut bisa dipesan mentahnya. Jadi, jika di bawa dalam perjalanan jauh tidak akan ‘beukah’. Mie juga tetap bisa disantap hangat karena dimasak sendiri di rumah.
Kenapa kami suka mie ayam dari kedai satu ini? Tentu saja karena rasanya yang mantap.
BACA JUGA:Â Aa Ganteng di Tukang Kupat Tahu
Nah, pada saat suami menyampaikan bahwa dirinya sedang dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya di luar kota, keluarga pun langsung request dibelikan mie ayam. Walhasil, setiba suami di rumah, kami semua bisa makan mie ayam.
Namun, entah kenapa, saya merasakan ekspresi yang berbeda. Seperti ada sesuatu yang tidak biasa ditunjukkan dari raut wajah suami. Kenapa ya?
Didorong rasa penasaran, saya bertanya, “Ini ngak apa-apa nih beliin mie ayam segini?”
Keluarga saya termasuk keluarga besar, ada lima anggota keluarga ditambah satu orang balita dan suami yang baru datang. Jumlahnya tujuh orang. Nominal untuk jajan mie ayam tentu tak sedikit yang dikeluarkan.
“Ngak apa-apa,” jawab suami.
Tak lama kemudian, tanpa sengaja saya menguping pembicaraan suami yang sedang menerima telepon dari rekan kerjanya. Intinya, suami menyatakan bahwa dirinya memang tidak masuk kerja sebanyak 2 hari, wajar kalau gajinya dipotong.
‘Rupanya begitu…’ pikir saya saat itu. Mungkin itu yang membuat ekspresi wajahnya kurang ceria saat pulang ke rumah tadi. Saya pun tak berlama-lama menguping. Khawatir ketahuan. Hehehe…
Sore harinya, saya dan suami pergi ke luar membeli makan. Berhubung saya sedang dapat rezeki lebih dan sudah niat mau mentraktir makan keluarga, saya ajaklah suami beli makan di luar. Dia pun tampak ceria.
Penghasilan kami memang tidak besar. Saya tahu, suami juga tidak suka boros atau hura-hura. Jarang sekali kami jajan di luar. Makanya, saya sedikit khawatir waktu mengajaknya.
BACA JUGA:Â Papah, Itu Lho Suaminya Ganteng Imut Kayak Sahrul Gunawan
Di kedai, saya pun mengutarakan hal itu, termasuk rasa penasaran saya soal sikapnya sejak pulang ke rumah. Seperti ada yang berbeda, tapi dia tetap terlihat ceria.
“Sebenarnya aku ngak mau cerita,” kata dia.
“Soal apa?”
“Tadi teman nelpon nanyain gaji. Aku kan ngak masuk 2 hari dan gajiku dipotong, tapi bayarannya tetap lebih besar daripada dia. Ternyata bulan ini aku dapat bonus, konpensasi bonus selama 3 bulan yang dibayar sekaligus. Aku juga baru tahu barusan.”
“Alhamdulillah,” ucapku.
Bulan ini aku juga dapat honor lebih dari mengajar. Mendengar cerita suami, rasanya seperti ditimpa berkah bertubi-tubi dalam satu waktu.
‘Ada apa ini ya? Ko rasanya seperti keajaiban di tengah krisis akibat pandemi saat ini.’
“Aku jadi ingat tadi pas pulang…” ungkap suami seolah tahu pertanyaan di kepalaku, “Kamu pesen mie ayam kan?”
“Iya.”
“Akutuh beli mie ayam 5 bungkus tapi lupa bilang ke ‘si mas-nya’ kalau mienya mentah aja,” tutur suami, “Udah terlanjur pesen. Sama ‘si Mas-nya’ dikasih lah mie yang mateng udah campur kuah.”
“Lah…? Bukannya tadi pas pulang bawa mie mentah?” Aku berpikir keras. Lah wong, aku masak sendiri mie-nya ko.
“Iya, karena salah pesen, jadi lah aku pesen lagi 5 mie mentah,” ujar suami sambil ketawa.
Dia ketawa, aku yang kaget. Buat apa beli mie ayam banyak-banyak?
“Lha terus, mie yang kuahnya dikemanain?” tanyaku.
BACA JUGA:Â Suami Ganteng, Istri Cantik
Dia senyum.
“Itulah, tadina aku ngak mau cerita,” kata dia, “Mie kuahnya ya aku bawa aja, yang penting ngak sampai dibawa ke rumah, takut terjadi huru-hara. Hahaha…”
Dia malah ketawa lagi.
“Trus mie-nya kamu makan semua?” tanyaku gemas lihat tingkahnya.
“Ya enggak lah.” timpalnya, “Di perjalanan aku lewatin daerah galian yang lagi banyak pekerja. Tahu sendiri kan tadi gerimis ‘ngecrek’ kayak apa? Kayak gitu pun mereka masih kerja, berteduhnya cuma pake terpal. Aku kasih aja mie-nya ke mereka.”
Ringan saja dia bercerita. Tapi, entah kenapa wajahnya tiba-tiba jadi lebih cakep berlipat-lipat ganda dari biasanya. Mungkin karena daya penglihatan saya mulai pudar seiring bertambahnya usia, tapi ‘cinta saya padanya mah da…. hahay. Jadi berasa so sweet saya.
Eh, Intinya, bukan tentang romantis atau so sweet sih, ya. Tapi, inilah berkah, yang mungkin sering orang bilang sebagai keajaiban sedekah. Mungkin tidak banyak yang kita diberikan, tapi itu ternyata cukup besar untuk menghasilkan sebuah kebahagiaan. []