Oleh: Nadirsyah HosenÂ
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
JOKE berikut diceritakan oleh Buya Hamka kepada Abah saya, yang kemudian pada tahun 1991 dalam penerbangan dari Tunisia menuju Kairo Abah menceritakannya kepada tiga orang Kiai anggota rombongan plus saya sendiri.
Tersebutlah orang Arab yang di dalam bis berperilaku agak aneh. Dia duduk di bis dengan tangan kanan sedikit terangkat di atas dada dan tangannya seolah setengah menggenggam. Ditanya kemudian oleh penumpang di sampingnya, “kenapa dengan tangan anda?”
Orang Arab itu menjawab, “Istri saya meminta saya membelikannya bra (beha alias kutang) dan inilah ukurannya (sambil mengangkat tanggannya).”
Para Kiai tertawa mendengar joke tersebut. Di balik joke tersebut tersembunyi fenomena banyaknya orang Arab yang buta huruf, yang tidak tahu membaca ukuran atau size bra, dan joke ini juga mengisyaratkan hal penting: karena perempuan dilarang bekerja di luar rumah maka pelayan toko yang menjual bra itu para lelaki sehingga perempuan tidak nyaman membeli bra sendiri dan meminta suami membelikannya.
Di Saudi Arabia sudah banyak perempuan yang protes karena penjual bra itu lelaki. Mereka tidak nyaman berlama-lama memilih ukuran dan jenis bra dan tidak enak hati bertanya kepada pria penjual bra karena itu sama saja memberitahu ukuran bra perempuan yang hendak membeli. Tahun 2011 Raja Saudi Arabia mengeluarkan dekrit yang membolehkan perempuan untuk bekerja di toko sebagai kasir ataupun pelayan bagian pakaian dalam. Ini pun tidak semua toko mau mempekerjakan perempuan.
Bagaimana sebenarnya sejarah bra ini sendiri? Bra yang kita kenal sekarang ini baru ramai dikenakan pada abad 19—jadi belum terlalu lama sebenarnya. Sebelumnya perempuan sejak pada masa Yunani hanya membalut dadanya dengan gulungan kain biasa. Di tanah air sendiri abad 17 dan 18 banyak perempuan di berbagai daerah yang masih bertelanjang dada atau menutup dada sekedarnya saja.
Al-Qur’an dan Hadis pun tidak secara spesifik membahas soal bra. Inillah sebabnya redaksi yang digunakan al-Qur’an itu “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” (An-Nur: 31). Ini artinya khimar atau kerudung yang dipakai itu harus juga cukup menutup dada karena pada masa itu belum dikenal penggunaan kutang atau bra untuk menutupi payudara perempuan. Cara menutupnya ya dengan menggunakan kain kerudung. Jadi, jangan-jangan bra itu produk bid’ah yah?
Lantas bolehkah perempuan menggunakan bra modern? Syekh Utsaimin dari Saudi Arabia memberikan fatwa yang menarik, “untuk anak gadis sebaiknya tidak pakai bra karena khawatir nanti dia mengagumi dan kemudian hendak menunjukkannya kepada yang lain”.
Syekh Abdullah bin Jibrin dari Saudi Arabia juga mengeluarkan fatwa serupa bahwa tidak boleh memakai bra kalau tujuannya hendak menonjolkan bentuk payudara perempuan. Soalnya jangan sampai perempuan itu menipu calon suaminya, disangka dadanya bulat dan besar ternyata itu akibat pakai push-bra. Setelah menikah baru ketahuan dadanya biasa saja.
Kelompok Islam garis keras di Somalia lebih ketat lagi. Mereka mengharamkan bra. Bahkan me-razia di jalanan perempuan yang dadanya terlihat membusung. Mereka menyuruh perempuan untuk menggoyang-goyangkan badannya. Kalau terlihat natural mereka melepaskan perempuan itu, namun kalau terindikasi dadanya membusung karena pakai bra, maka perempuan itu akan dicambuk.
Ah urusan bra saja kok jadi panjang sih. Bagaimana kalau kita tutup catatan ini dengan satu joke lagi—kali ini sanad jokenya tidak jelas.
Seorang Arab membeli bra warna hitam dari pedagang Yahudi. Orang Yahudi, yang terkenal sebagai pedagang yang unggul, mengatakan bahwa bra warna hitam sangat langka dan praktis tidak tersedia lagi. Karena itu harganya 50 ribu. Orang Arab setuju dan membeli enam buah.
Beberapa hari kemudian orang Arab itu kembali untuk memesan selusin lagi. Si orang Yahudi mengatakan barangnya sudah tambah langka lagi dan orang Yahudi itu menjualnya dengan harga 60 ribu. Orang Arab setuju dan membayar seharga yang telah disepakati.
Sebulan kemudian orang Arab itu datang lagi dan membeli sisa persediaannya dengan harga 75 ribu. Lagi-lagi Yahudi menaikkan harganya, dan orang Arab setuju.
Lambat laun orang Yahudi yang agak terheran-heran dengan permintaan yang begitu banyak soal bra warna hitam ini bertanya kepada si Arab, “apa yang kamu perbuat dengan bra hitam begitu banyak?”
Orang Arab menjawab, “saya menggunting bra itu menjadi dua bagian dan saya membuat tutup kepala orang Yahudi, lalu saya menjualnya kembali kepada orang Yahudi dengan harga 100 ribu pertutup kepala.”
Ah ternyata dalam urusan bra orang Arab lebih hebat ketimbang Yahudi.
Tabik. []