JAKARTA—Terkait polemik revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme atau RUU Anti-terorisme ditanggapi oleh Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara.
Anggara meminta pemerintah dan DPR tak buru-buru mengesahkan Revisi dan Ia mengatakan masih banyak persoalan yang harus diselesaikan dalam RUU tersebut.
“Proses pembahasan RUU harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati agar upaya pembentukan hukumnya tidak mencederai kebebasan sipil,” ujar Anggara, pada Ahad (20/5/2018) kemarin.
Anggara menjelaskan, Pihaknya menyoroti sejumlah poin yang akan direvisi dalam undang-undang tersebut di antaranya soal definisi, pidana mati, dan penangkapan pelaku teror. Dalam sejumlah pembahasan, definisi terorisme termasuk salah satu yang banyak menimbulkan perdebatan.
Menurut Anggara, definisi terorisme termasuk pembahasan yang krusial karena menyangkut hak asasi manusia.
Ia menyarankan agar definisi terorisme ditafsirkan menjadi sebuah tindakan yang menimbulkan kematian atau luka serius dengan niat untuk menimbulkan ketakutan yang serius dalam masyarakat.
“Jadi definisi ini harus dirumuskan hati-hati dan tidak ambigu,” katanya.
Kemudian tentang pidana mati, dalam RUU diatur bahwa hukuman yang dapat dijatuhkan adalah pidana mati. Namun menurut Anggara penerapan pidana mati ini tak tepat karena justru menimbulkan inspirasi baru kegiatan teror lainnya.
Anggara mengatakan hukuman mati bagi pelaku teror akan dianggap sebagai sebuah kehormatan dan membuat program deradikalisasi tak berkembang.
“Terhadap pidana mati kami meminta presiden mengkaji secara serius dan menghapuskan hukuman tersebut,” ucap Anggara.
Kemudian terkait penangkapan, RUU tersebut mengatur perpanjangan masa penangkapan dengan tujuan menggali jaringan terorisme.
“Jangka waktu penangkapan harusnya tidak perlu diatur dan tetap harus dipastikan hak-haknya selama proses peradilan,” pungkasnya. []
SUMBER: CNN