Oleh: Sapto Waluyo (Center for Indonesian Reform)
PENYEBARAN virus corona baru (Covid-19) telah melintasi banyak negara, lebih dari 137 negara terpapar, sehingga dinyatakan sebagai pandemi global oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Berbagai upaya dilakukan untuk menanggulangi pandemi dan mencegah penyebarannya, antara lain dengan menetapkan pembatasan interaksi antar anggota masyarakat (social distancing measure). Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pembatasan sosial berskala besar merupakan bagian dari respon kedaruratan dan bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit. Kegiatan pembatasan paling sedikit meliputi: peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat/fasilitas umum [Pasal 59, ayat (1), (2), dan (3)]. Saat ini, sejumlah pemerintah daerah telah meliburkan sekolah dan kampus agar siswa/mahasiswa bisa belajar di rumah (distance learning).
Sebagai mitigasi darurat, apabila ada anggota masyarakat terbukti berinteraksi langsung dengan penderita Covid-19 atau mengunjungi wilayah yang terinfeksi wabah, maka dilakukan karantina rumah atau wilayah (Pasal 49), serta dipantau kondisinya selama masa inkubasi virus. Bila kondisi sehat (uji virus negatif), maka bisa tetap di rumah dan mengurangi aktivitas luar. Jika hasil tes warga yang terpapar itu positif, maka akan dirawat di rumah sakit dan mungkin diisolasi di ruang khusus. Bila kondisi pasien memburuk (na’udzu billah min dzalik) dan akhirnya pasien tak tertolong, maka perawatan jenazah juga harus dilakukan secara khusus (special treatment).
Dari proses itu kita paham bahwa pembatasan interaksi merupakan tahap dini untuk mencegah penyebaran virus. Pada tiap tahap pencegahan dan penanggulangan wabah itu terjadi pengetatan ruang gerak individu yang dipantau hingga ke level ekstrem: diisolasi atau dimakamkan secara khusus. Tentu saja hal itu akan berpengaruh kepada kondisi kejiwaan sang pasien atau keluarga terdekatnya, termasuk lingkungan yang biasa berinteraksi dengannya. Karena itu, upaya apapun yang ditempuh untuk menanggulangi wabah – secara medis atau nonmedis – harus mempertimbangkan konsekuensi psikologis dan sosial dari tindakan yang ditempuh. UU menyatakan, implementasi pembatasan sosial berdasarkan pertimbangan epidemiologi, besarnya ancaman, efektivitas dukungan sumberdaya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan; sehingga mungkin saja terjadi perbedaan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing.
Terlepas dari praktik penanggulangan bencana pandemi, dalam ilmu sosial, istilah Jarak Sosial (social distance) merupakan konsep penting. Ada beberapa pengertian tentang jarak sosial, intinya merupakan ukuran kedekatan yang dirasakan individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain dalam jejaring sosial. Ada pula yang memaknai jarak sosial sebagai tingkat kepercayaan yang dimiliki satu kelompok terhadap kelompok lain dan sejauhmana kesamaan persepsi antar kelompok dalam masyarakat.
Jarak sosial dapat dilihat dalam beberapa dimensi. Pertama, dimensi afektif, seberapa besar simpati yang dirasakan anggota suatu kelompok terhadap kelompok lain. Gejala itu diukur Emory Bogardus (1947) dalam skala kuantitatif berdasarkan konsepsi subyektif pelaku di tengah pergaulan sosial. Pada studi jarak sosial pusat perhatian adalah pada reaksi perasaan orang terhadap orang lain dan terhadap kelompok berbeda.
Kedua, dimensi normatif, mengacu pada norma-norma yang diterima secara luas dan secara sadar diposisikan tentang siapa yang harus dianggap sebagai “orang dalam” (in-group) dan siapa “orang luar/ asing” (out-group). Norma seperti itu menentukan perbedaan antara “kita” dan “mereka”. Jarak sosial normatif berbeda dari jarak sosial afektif, karena dipahami sebagai aspek struktural non-subyektif dari hubungan sosial (Robert Park: 1924).
Dimensi ketiga, interaktif, berfokus pada frekuensi dan intensitas hubungan antar individu atau kelompok. Semakin banyak anggota dari dua kelompok berinteraksi, semakin dekat mereka secara sosial. Konsepsi ini mirip dengan pendekatan dalam teori jaringan (Garnovetter: 2005), dimana frekuensi interaksi antara dua pihak digunakan sebagai ukuran “kekuatan” dari ikatan sosial di antara mereka.
Dimensi keempat bisa ditark dari perspektif Bourdieu (1990) tentang modal kultural dan kebiasaan seseorang yang akan membentuk “kelas sosial” tersendiri. Dalam konteks ini, gaya hidup seseorang akan membedakannya dengan orang lain, bahkan membentuk pemahaman dan identitas tertentu.
Dari keempat dimensi itu, kita bisa melihat betapa pentingnya konsep jarak sosial untuk memahami kualitas hubungan antara individu dan kelompok. Lebih jauh, jarak sosial bisa menjadi salah suatu kriteria: apakah masyarakat memiliki integrasi sosial yang kuat atau lemah. Secara umum didalilkan, bila jarak sosial antar kelompok bersifat jauh, maka integrasi sosial akan lemah. Sebaliknya, jarak sosial yang dekat antar kelompok akan membuat integrasi sosial menjadi lebih kuat.
Jarak sosial yang jauh biasanya ditandai oleh prasangka (stereotif) yang berkembang antar kelompok. Individu atau kelompok yang memiliki perasaan negatif terhadap individu/kelompok yang berbeda akan membangun prasangka buruk berdasarkan informasi parsial. Pengalaman pribadi yang menimbulkan trauma atau penderitaan bisa digeneralisasi sebagai akibat perbuatan kelompok tertentu dengan segala sifat buruknya. Padahal, dalam kenyataan banyak pribadi lain yang mengalami kenyamanan dan mendapat manfaat dari interaksinya dengan kelompok yang sama. Stereotif itu tidak berdasarkan fakta atau hanya berdasarkan sebagian fakta yang tidak lengkap, namun dipercaya sebagian anggota masyarakat sebagai justifikasi untuk berhubungan dengan kelompok tertentu.
Jarak sosial yang dekat ditunjukkan dengan rasa simpati dan empati seseorang terhadap orang dan kelompok lain. Perbedaan latar belakang sosial-ekonomi tidak merenggangkan hubungan, bahkan semakin mendekatkan karena kesadaran akan kemajemukan dan semangat egaliterian. Karena itu, prasangka yang muncul cenderung positif (husnuz-zhan) menyangkut sisi kebaikan semua pihak.
Stereotif negatif yang berlangsung lama dan meluas di tengah masyarakat akan menimbulkan efek berbahaya, yaitu munculnya stigma sosial berupa penolakan terhadap seseorang atau kelompok karena orang tersebut dipandang melawan norma yang ada, sehingga terjadi pengucilan terhadapnya. Akibat lebih jauh adalah terjadi diskriminasi sosial terhadap individu atau kelompok yang dipandang berbeda.
Dari penjelasan itu, kita perlu tekankan bahwa jarak sosial dalam kehidupan sehari-hari harus senantiasa diperhatikan dan diarahkan. Perlu ditumbuhkan keakraban antar kelompok yang berbeda, sehingga tiap kelompok memahami dan menerima perbedaan serta keunikan di antara mereka, selanjutnya mampu membangun kesepakatan tentang nilai-nilai bersama (shared values). Interaksi antar individu dan kelompok perlu ditingkatkan dan dibuka ruang seluas-luasnya dalam berbagai forum dan fasilitas publik bersama (public sphere). Untuk itulah dibangun taman kota dengan segala fasilitas bermain dan olahraga, diterapkan car free day (CFD) di jalan-jalan utama kota, dan digalang aktivitas publik yang melibatkan segenap warga dari latar belakang apapun seperti peringatan hari ulang tahun daerah atau agenda serupa.
Saat ini, tatkala pandemi global Covid-19 menerpa dunia hingga ke Indonesia, kebijakan sebaliknya yang ditempuh: pembatasan interaksi, penutupan tempat-tempat keramaian umum, serta meliburkan jadwal sekolah/kuliah/kerja dan agenda publik lain. Pada tahap awal mungkin pembatasan interaksi, apalagi liburan sekolah/kuliah, akan disambut ‘gembira’. Padahal sebenarnya hal itu dimaksudkan untuk menghindari penyebaran wabah dengan belajar dan bekerja dari rumah. Pada gilirannya, kebijakan pembatasan ruang gerak masyarakat akan menimbulkan efek psikologi, terutama setelah terlihat hasil yang mungkin berbeda: ada warga tetap sehat karena disiplin menjalankan semua ketentuan yang diharuskan, ada pula warga yang akhirnya terpapar tanpa disadari dari mana sumbernya dan bagaimana prosesnya.
Tiap orang bisa saja merasakan konsekuensi yang berbeda dan membandingkan kondisinya dengan orang lain yang lebih beruntung. Dari situlah terbentuk persepsi yang tidak sama antar individu dan kelompok, lalu terbangun jarak sosial berdasarkan perasaan dan empati terhadap individu atau kelompok lain. Kita bisa memahami tatkala ada pasien dalam pengawasan yang dirawat di rumah sakit meminta izin untuk pulang ke rumah, karena kondisi di rumah sakit tentu berbeda dengan rumah sendiri yang lebih bebas. Apalagi, pasien tersebut mungkin harus mencari nafkah atau punya anak dan anggota keluarga yang harus disantuni. Untuk itu, pemerintah tak hanya memberlakukan kebijakan pembatasan sosial, melainkan juga haru smemikirkan dan memberikan jaminan perawatan dan mungkin kompensasi bagi warga yang kurang mampu atau rentan.
Pembatasan sosial dalam skala besar akan efektif bila diikuti dengan penyebaran sikap dan emosi yang positif. Bahwa, tiap orang berpeluang terpapar wabah tanpa disadari atau diinginkan, terlepas dari posisi sosial dan jabatan formal. Seorang pelajar/mahasiswa, ibu rumah tangga atau pejabat tinggi negara bisa menderita gejala serupa, tergantung dengan siapa berinteraksi dan pola hidup sehari-hari. Orang yang terpapar wabah tidak hanya butuh perawatan, namun juga butuh perhatian dan simpati, termasuk dukungan moral untuk anggota keluarga dan kerabat dekatnya. Emosi positif akan mempercepat kesembuhan dan menyehatkan masyarakat secara kolektif.
Ujian terberat ketika seseorang dinyatakan positif terpapar wabah dan mengalami resiko kematian, sehingga jenazahnya akan diperlakukan khusus. Perlakuan khusus itu menimbulkan persepsi yang beragam di tengah masyarakat, yang harus dihindari agar tidak menjadi stigma sosial baru. Kita telah menyaksikan stigma terhadap pelaku atau korban tindak terorisme dan keluarganya yang menimbulkan tekanan berkelanjutan. Jangan sampai hal itu terjadi terhadap pasien yang terpapar wabah dan keluarganya. Dalam perspektif agama Islam, Nabi Muhammad Saw berpesan bahwa orang yang meninggal karena penyakit (dan sabar dalam kondisi sakitnya) adalah syahid (HR Bukhari). Hal itu menunjukkan bahwa korban wabah bukanlah kutukan atau hinaan, tetapi bencana kemanusiaan.
Masyarakat Indonesia (dahulu bernama Nusantara) telah mengalami beragam bencana, bahkan yang paling dahsyat sepanjang sejarah manusia seperti meletusnya Gunung Tambora (1815) dan Gunung Krakatau (1883). Wabah cacar terjadi di Bali, Ambon dan Ternate (1871) menimbulkan korban sedikitnya 18.000 meninggal. Pada tahun 1821 wabah kolera melanda Batavia dan menyebabkan korban ratusan orang meninggal. Di tengah bencana, warga membangun spirit solidaritas genuin semisal membagikan masker gratis atau sanitizer untuk tempat ibadah dan fasilitas publik. Percakapan di media sosial juga sangat banyak yang positif untuk menerapkan pola hidupan bersih dan sehat (PHBS), tips mencegah tersebarnya wabah, dan aksi-aksi produktif atau kreatif yang bisa dilakukan di rumah.
Bila warga Wuhan di China meneriakkan “Wuhan Jiayou” (Tetap Semangat Wuhan) dari jendela apartemen, dan warga Italia bermain musik bersama dari balkon rumahnya, maka warga Indonesia punya tradisi sendiri untuk menunjukkan solidaritas. Ada yang melakukan doa berantai atau membuat pesan kepedulian dalam bentuk pantun, meme dan kartun.
Virus corona baru mungkin memisahkan kita secara fisik sementara, namun mempersatukan hati dan pikiran kita. Indonesia sehat, Indonesia kuat. []