ADA suatu ungkapan yang berbunyi “sombong kepada orang yang sombong itu sedekah”. Kalimat ini sangat masyhur di lisan manusia dan sering dilafadzkan oleh sebagian juru dakwah dalam ceramah-ceramah mereka.
Kalimat ini ada beberapa versi sebenarnya. Ada yang berbunyi:
التكبر على المتكبر حسنة وفي لفظ صدقة
“Sombong kepada orang yang sombong itu sedekah”
Ada juga yang berbunyi:
التكبر على المتكبر حسنة
“Sombong kepada orang sombong adalah kebaikan.”
Kalimat ini, bukan hadits sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama’. Al-Imam Ismail bin Muhammad Al-‘Ajluni Al-Jarahi –rahimahullah- (wafat : 1162 H):
نقل القاري عن الرازي أنه كلام ، ثم قال لكن معناه مأثور.انتهى.والمشهور على الألسنة حسنة بدل صدقة
“Al-Qari telah menukil dari Ar-Razi sesungguhnya itu merupakan ucapan (bukan hadits). Kemudian beliau berkata : akan tetapi maknanya ma’tsur (berlaku). –selesai-. Dan yang masyhur di lisan manusia dengan kata “kebaikan” sebagai ganti dari “sedekah”. [ Kasyful Khafa’ wa muzilul Ilbas Amma Istahara minal Ahadits ‘Ala Alsinatin Nas : 1/313 ].
Al-Imam Muhammad bin Muhammad Darwisy Asy-Syafi’i –rahimahullah- (wafat : 1277 H) berkata:
هُوَ من كَلَام النَّاس، قَالَه الرَّازِيّ
“Itu ucapan manusia (bukan hadits). Hal ini dinyatakan oleh Ar-Razi.” [ Asna Al-Mathalib Fi Ahaditsi Mukhtalifatil Maratib : 116 ].
BACA JUGA: Orang Miskin yang Takut Sombong Jika Menjadi Kaya
Kalimat di atas juga dinukil oleh Al-Imam Al-Iraqi –rahimahullah- (wafat : 806 H) dalam “Takhrij Ahadits Ihya’ “ : (5/2032).
Walaupun ucapan di atas bukan hadits nabi, namun dari sisi makna shohih (benar). Karena maknanya memiliki asal dari syari’at Islam. Jadi perlu untuk dipahami, jika ada ucapan yang ternyata bukan hadits, tidak serta merta maknanya batil, sebagaimana dipahami oleh sebagian orang. Tapi perlu untuk dikaji ucapan tersebut. Bisa benar maknanya jika berkesesuaian dengan Al-Qur’an dan hadits, dan bisa juga tidak benar jika menyelisihi keduanya.
Sebelumnya perlu kita pahami bersama, bahwa sombong termasuk dosa besar. Bahkan Al-Imam Adz-Dzahabi –rahimahullah- mengolongkannya dalam salah satu dosa besar dalam kitabnya “Al-Kabair” pada nomor ke 17 halaman : 76. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat dan hadits-hadits yang menunjukkan akan hal itu. Adapun Al-Imam Al-Haitami –rahimahullah- memaksukkannya dalam dosa besar urutan keempat dalam kitabnya “Az-Zawajir” hal : 1/109.
Namun, larangan dari berbuat/bersikap sombong, tidaklah bersifat mutlak. Ada suatu kondisi, dimana seorang dibolehkan untuk berbuat sombong. Maka sebagaimana disebutkan dalam kitab “Ar-Raudhul Murbi’ “ dengan hasyiyah (catatan kaki) oleh Ibnu Qosim An-Najdi –rahimahullah-, bahwa at-takabbur (bersikap sombong) kepada orang lain itu terbagi menjadi dua:
1). Bersikap sombong yang dibutuhkan. Maka ini terpuji bagi seorang yang melakukannya. Seperti bersikap sombong kepada orang yang berbuat dzolim, atau sombong kepada orang-orang yang memusuhi Alloh dari kalangan orang-orang kafir, orang-orang yang memerangi kaum muslimin dan yang semisalnya. Oleh karena itu, boleh bagi seorang untuk sombong di peperangan dalam rangka untuk membuat takut musuh.
2). Bersikap sombong yang tidak dibutuhkan. Dan ini ada dua kemungkinan:
a). Mungkin diringi dengan niat kesombongan di dalam hati, dan ini termasuk dari dosa besar, atau
b). Tidak diiringi kesombongan di dalam hati. Maka ini dibagi lagi menjadi dua. Jika sikap atau perangai itu termasuk syi’ar orang-orang sombong, maka hukumnya makruh. Jika tidak termasuk syi’ar orang-orang sombong, maka tidak mengapa. [ Ar-Raudhul Murbi’ dengan Hasyiyah Ibnu Al-Qosim An-Najdi –rahimahullah- : 1/155 ].
Perhatian : Perincian di atas untuk at-takabbur, yaitu sifat atau sikap atau perangai kesombongan. Dimana yang dimaksud perkara-perkara dzohir, seperti tutur kata, atau tingkah laku dan yang semisalnya. Adapun kesombongan dalam hati, merupakan perkara yang terlarang secara mutlak. semoga tidak salah dalam memahami perkara ini.
Disebutkan dalam Al-Fatawa Al-Hindiyyah:
أَنَّ كُل مَا كَانَ عَلَى وَجْهِ التَّكَبُّرِ يُكْرَهُ، وَإِنْ فُعِل لِحَاجَةٍ أَوْ ضَرُورَةٍ لاَ – أَيْ: لاَ يُكْرَهُ
“Sesungguhnya segala sesuatu yang berada dia tas bentuk/sifat sombong, maka dibenci. Jika dilakukan untuk suatu kebutuhan atau darurat, maka tidak dibenci (boleh).” [ Al-Fatawa Al-Hindiyyah : 5/395 ].
BACA JUGA: Murka Allah bagi Manusia Bersifat Sombong
Al-Imam Asy-Syaukani –rahimahullah- mempermisalkan untuk hal ini sebagaimana seorang yang memakai pakaian yang bagul lagi mahal. Selama seorang memakainya tanpa diringi niat untuk sombong, maka tidak mengapa (boleh) dengan ijma’ ulama’. [ Nailul Author : 2/109 ].
Diantara dalil yang menunjukkan, bahwa bersikap sombong itu tidak terlarang secara mutlak, apa yang dinyatakan oleh Alloh dalam firman-Nya:
سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
“Aku akan memalingkan orang-orang yang bersikap sombong di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku”. [ QS. Al-A’rof : 146 ].
Ayat di atas memberi isyarat kepada kita, bahwa bersikap sombong yang diancam oleh Alloh akan dipalingkan dari ayat-ayat-Nya, adalah sikap sombong yang tanpa alasan yang dibernarkan. Berarti, jika ada alasan yang dibenarkan, maka boleh. Ini dalam ilmu ushul fiqh dinamakan mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan dari suatu dalil). Dan mafhum mukhalafah adalah hujjah di sisi para ushuliyyun (para ulama’ ahli ushul). []
Facebook: Abdullah Al Jirani