WAKTU-waktu terakhir ini terjadi polemik seputar masalah sorban. Ada sebagian pihak yang mencela pemakaiannya, apalagi dipakai dengan cara dilakukan oleh pangeran Diponegoro yang dililitkan menyilang di kepala. Lebih lagi jika disampirkan ke pundak, katanya seperti serbet. Demikian pernyataan sebagian pihak. Walaupun kemudian ada klarifikasi dari pihak yang bersangkutan, kemudian mengatakan bahwa sorban adalah sunnah (dengan kesepakatan diantara mereka-katanya-). Ada juga pihak yang membela mati-matian dengan berbagai argumen, yang bermuara bahwa sorban adalah sunnah yang tidak pantas untuk diremehkan terlebih dihina.
Oleh karena itu, pada artikel kali ini kami akan mengulas secara singkat tentang masalah sorban yang berkaitan dengan hukum serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Agar kita terbimbing dalam menyikapi masalah ini dengan adil dan ilmiyyah. Bukan karena ikut-ikutan sebuah komunitas atau ustadz saja, tanpa tahu permasalahannya dengan detail.
MAKNA SORBAN
Sorban atau dalam bahasa Arabnya Imamah ( العمامة ) adalah kain yang menutup sepertiga kepala dengan cara dililitkan. [ Mausu’ah Kuwaitiyyah : 30/300 ].
Al-Imam Abul Hasan Al-Mula Al-Harawi Al-Qari –rohimahullah- (wafat : 1014 H) berkata:
وَالْعِمَامَةُ بِالْكَسْرِ: مَعْرُوفٌ، وَوَهِمَ الْعِصَامُ حَيْثُ قَالَ: بِالْفَتْحِ كَالْغَمَامَةِ، وَقَدْ تُطْلَقُ عَلَى الْمِغْفَرِ وَالْبَيْضَةِ عَلَى مَا فِي الْقَامُوسِ، قَالَ مِيرَكُ: وَالْمُرَادُ بِهَا فِي تَرْجَمَةِ الْبَابِ كُلُّ مَا يُعْقَدُ عَلَى الرَّأْسِ سَوَاءٌ كَانَ تَحْتَ الْمِغْفَرِ أَوْ فَوْقَهُ أَوْ مَا يُشَدُّ عَلَى الْقَلَنْسُوَةِ أَوْ غَيْرِهَا، وَمَا يُشَدُّ عَلَى رَأْسِ الْمَرِيضِ أَيْضًا
“Imamah –dengan dikasrah di huruf ain-: sesuatu yang telah dikenal bersama. Al-‘Isham telah keliru ketika dia menyatakan : dengan difathah di huruf ‘ain-nya. Telah dimutlakan untuk makna topi perang dan topi baja menurut apa yang di kitab Al-Qomus. Mirak berkata : Yang dimaksud dengannya di dalam judul bab ini, adalah segala sesuatu yang diikatkan di kepala, baik di bawah topi perang, atau di atasnya, atau apa yang diikatkan di atas peci/songkok atau selainnya. Dan apa yang diikatkan di kepala seorang yang sakit juga.” [ Jam’ul Masail fi Syarhi Asy-Syamail : 1/465 ].
HUKUM SORBAN
Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- memakai imamah. Sebagaimana telah ditunjukkan dalam sebuah riwayat dari Jabir bin Abdillah –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata:
دخل النبي صلى الله عليه وسلم مكة يوم الفتح وعليه عمامة سوداء
“Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- masuk Mekkah di hari terbukanya kota Mekah dalam keadaan memakai imamah (sorban) warna hitam.” [ HR. Muslim : 1358 ].
BACA JUGA: Pakai Sorban, Apa Hukumnya?
Dalam hadits ini, dijelaskan bahwa nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- memakai imamah (sorban). Konteksnya, berupa hikayat perbuatan nabi. Dan telah dimaklumi bersama dalam ilmu ushul fiqh, bahwa perbuatan nabi dalam masalah duniawi, memberikan faidah mubah saja. Tidak sunnah apalagi wajib.
Terlebih, imamah itu termasuk perkara adat. Karena nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- memakainya dalam rangka mengikuti adat penduduk zaman itu. Bukan dikenakan dalam rangka untuk ibadah. Dan asal perkara adat adalah boleh. Sebagaimana telah dijelaskan dalam kaidah fiqh:
الأصل في العادة الإباحة حتى يرد دليل آخر يدل على تحريمها
“Asal dalam perkara adat adalah boleh, sampai ada dalil lain yang menunjukkan akan keharamannya.”
Dan sejauh pengetahuan kami, tidak ada satupun hadits yang memerintahkan kita untuk memakai sorban. Yang ada hanya hikayat perbuatan dari Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau memakainya. Dan sudah kami jelaskan tentang hal ini pada paragraf di atas.
MEMAKAI SORBAN DILIHAT DARI SISI ADAT DI NEGERI KITA
Dalam perkara adat, maka hukumnya akan berbeda-beda disesuaikan dengan perbedaan tempat, waktu, dan keadaan. Sesuatu yang bagus di suatu negeri, belum tentu bagus di negeri yang lain, dan sebaliknya. Hal ini disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syathibi –rohimahullah- :
مَا يَكُونُ مُتَبَدِّلًا فِي الْعَادَةِ مِنْ حُسْنٍ إِلَى قُبْحٍ، وَبِالْعَكْسِ، مِثْلَ كَشْفِ الرَّأْسِ، فَإِنَّهُ يَخْتَلِفُ بِحَسَبِ الْبِقَاعِ فِي الْوَاقِعِ، فَهُوَ لَذَوِي الْمُرُوءَاتِ قَبِيحٌ فِي الْبِلَادِ الْمَشْرِقِيَّةِ، وَغَيْرُ قَبِيحٍ فِي الْبِلَادِ الْمَغْرِبِيَّةِ، فَالْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ ذَلِكَ،
“Apa yang berubah di dalam masalah adat dari baik kepada jelek dan sebaliknya. Seperti membuka kepala. Secara fakta, maka hal ini akan berbeda hukumnya sesuai dengan tempat (terjadinya adat tersebut). Hal itu bagi orang-orang yang memiliki kewibawaan jelek di negeri timur, dan tidak jelek di negeri barat. Maka hukum syar’i akan berbeda dengan perbedaan hal itu(tempat).” [ Al-Muwafaqot : 2/489 ].
Maka seorang yang hidup di suatu negeri yang penduduknya terbiasa memakai imamah/sorban, maka dianjurkan untuk memakainya. Akan tetapi seorang yang hidup di suatu negeri yang masyarakatnya tidak biasa memakai imamah, maka tidak dianjurkan untuk memakai imamah. Hal ini agar seorang tidak ‘tampil beda’ di masyarakatnya sehingga akan menjadi pusat perhatian orang.
Tampil beda dalam hal berpakaian di suatu masyarakat, merupakan perkara yang dilarang oleh nabi kita Muhammad –shollallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sabdanya :
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ . زَادَ عَنْ أَبِي عَوَانَةَ «ثُمَّ تُلَهَّبُ فِيهِ النَّارُ»
“Barangsiapa memakai pakaian ketenaran (tampil beda), maka pada hari kiamat Allah akan mengenakan untuknya baju semisal. Ia menambahkan dari Abu Awanah, “lalu akan dilahab oleh api neraka.” [ HR. Abu Dawud : 4029, Ibnu Majah : 3607, An-Nasa’idalam “Al-Kubro” : 9487 dan selainnya. Hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rohimahullah- ]
Makna “pakaian ketenaran” yang dilarang dalam hadits ini, telah dijelaskan oleh Al-Imam Al-‘Adzim Abadi –rohimahullah- beliau berkata:
قال بن الْأَثِيرِ الشُّهْرَةُ ظُهُورُ الشَّيْءِ وَالْمُرَادُ أَنَّ ثَوْبَهُ يَشْتَهِرُ بَيْنَ النَّاسِ لِمُخَالَفَةِ لَوْنِهِ لِأَلْوَانِ ثِيَابِهِمْ فَيَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ أَبْصَارَهَمْ وَيَخْتَالُ عَلَيْهِمْ بِالْعُجْبِ وَالتَّكَبُّرِ كَذَا فِي النَّيْلِ
“Ibnul Atsir berkata : asy-syuhrah : tampak atau menonjolnya sesuatu. Dan yang dimaksud di sini, sesungguhnya pakaiannya tenar di antara manusia karena menyelisihi (tampil beda) terhadap warna pakaian mereka, sehingga manusia mengangkat padangan mereka kepadanya dan akhirnya dia angkuh, ujub dan sombong kepada mereka. demikian disebutkan dalam “Nailul Author”. [ ‘Aunul Ma’bud : 11/58 ].
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- bersama Lajnah Daimah telah berfatwa tentang hukum memakai imamah. Berliau –rahimahullah- berkata :
وأما لبس العمامة فهو من المباحات و ليس بسنة كما توهمت. و الأولى أن تبقى على ما يلبس أهل بلدك على رؤوسهم من الغترة و الشماغ و نحوه
“Adapun memakai imamah (sorban), maka ia termasuk dari perkara mubah (boleh), dan bukan termasuk perkara sunnah sebagaimana yang telah engkau sangka. Dan yang lebih utama, engkau tetap memakai pakaian yang dipakai oleh penduduk negerimu di atas kepala-kepala mereka berupa ghitrah, shimagh, dan yang semisalnya.” [ Fatwa Lajnah Daimah : 24/42 ].
BACA JUGA: Waspadai Dukun Bersorban
Ghitrah: Potongan kain tenun yang diletakan di kepada seorang dan menjulur sampai ke pundaknya biasanya berwarna putih. Terkadang di atasnya diletakkan iqol atau penutup kepala. Adapun shimagh : semisal penutup kepala bercorak merah.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata:
لباس العمامة ليس بسنة، لكنه عادة، والسنة لكل إنسان أن يلبس ما يلبسه الناس ما لم يكن محرماً بذاته، وإنما قلنا هذا؛ لأنه لو لبس خلاف ما يعتاده الناس لكان ذلك شهرة، والنبي صلى الله عليه وسلم نهى عن لباس الشهرة، فإذا كنا في بلد يلبسون العمائم لبسنا العمائم، وإذا كنا في بلد لا يلبسونها لم نلبسها، وأظن أن بلاد المسلمين اليوم تختلف، ففي بعض البلاد الأكثر فيها لبس العمائم، وفي بعض البلاد بالعكس، والنبي صلى الله عليه وسلم كان يلبس العمامة؛ لأنها معتادة في عهده، ولهذا لم يأمر بها بل نهى عن لباس الشهرة مفيداً إلى أن السنة في اللباس أن يتبع الإنسان ما كان الناس يعتادونه، إلا أن يكون محرماً
“Memakai imamah (sorban) bukan sunnah. Akan tetapi ia sebuah adat (kebiasaan). Yang sunnah atas setiap insan, hendaknya dia memakai pakaian yang dipakai oleh manusia (penduduk negerinya) selama tidak termasuk perkara yang diharamkan. Kami mengatakan ini, karena seorang memakai pakaian yang menyelisihi adat manusia (penduduk negerinya), maka hal itu termasuk pakaian syuhroh (pakaian ketenara/tampil beda). Dan nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang dari memakai pakaian syuhrah (pakaian ketenaran/tampil beda dari penduduk negerinya). Jika kita tinggal di negeri yang penduduknya memakai imamah (sorban), maka kita pakai imamah. Dan jika kita tinggal di negeri yang penduduknya tidak memakainya, maka kita tidak memakainya. Dan aku menyangka, sesungguhnya negeri-negeri kaum muslimin sekarang berbeda-beda. Ada sebagian negeri yang kebanyakan penduduknya memakai imamah. Dan ada sebagian negeri yang sebaliknya. Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- memakai imamah, karena hal itu merupakan adat waktu itu. Oleh karena itu, beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam- tidak memerintahkan untk memakainya. Bahkan melarang dari memakai pakaian syuhrah (ketenaran/tampil beda) yang memberikan faidah, sesungguhnya yang sunnah dalam berpakaian itu, hendaknya seorang insan mengikuti apa yang telah menjadi adat penduduk negerinya dalam berpakaian, kecuali pakaian yang diharamkan.” [ Liqo’ Babil Maftuh : 24/160 ].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata :
لبس العمامة ليس من السنن لا المؤكدة ولا غير المؤكدة لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم كان يلبسها اتباعا للعادة التي كان الناس عليها في ذلك الزمن ولهذا لم يأت حرف واحد من السنة يأمر بها فهي من الأمور العادية التي إن اعتادها الناس فليلبسها الإنسان لئلا يخرج عن عادة الناس فيكون لباسه شهرة وإن لم يعتدها الناس فلا يلبسها هذا هو القول الراجح في العمامة
“Memakai imamah/sorban, bukan termasuk sunah-sunah (Rosul). Tidak termasuk sunnah yang yang ditekankan dan tidak termasuk sunnah yang tidak ditekankan. Karena Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- memakainya dalam rangka mengikuti adat yang dijalani oleh manusia di zaman itu. Oleh karena itu, tidak datang satu huruf pun dari sunnah yang memerintahkan untuk mengenakannya. Ia termasuk perkara adat yang telah dijalani oleh manusia. (Jika adat kaumnya memakai imamah) hendaknya dia memakainya agar tidak keluar dari adat manusia disekitarnya, sehingga (jika dia tidak memakai imamah padahal penduduk negerinya memakainya), maka pakaiannya akan menjadi pakaian syuhrah (ketenaran/tampil beda yang dilarang). Ini pendapat yang kuat dalam masalah imamah.” [ Fatawa Nuur ‘ala Darb : 22/2 ].
MEMAKAI SORBAN DALAM RANGKA TA’ASSI (MENIRU ROSULULLAH)
Seorang yang mengamalkan suatu amalan mubah atau adat yang dilakukan oleh Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam-(seperti dalam masalah sorban) dalam rangka untuk ta’assi (mencontoh beliau), maka akan diberi pahala atas niat yang ada pada dirinya. Hal ini ditegaskan oleh Al-Imam Abu Hamid Al-Ghozali –rohimahullah-.
Walaupun, menurut pendapat yang rajih (lebih kuat), bahwa memakai imamah/sorban di Indonesia ini menjadi perkara yang kurang afdhol. Karena masyarakat kita, tidak terbiasa atau bukan termasuk adat mereka memakainya. Karena kalau kita memakainya, maka kita akan menyelesihi adat negeri kita sendiri hanya untuk mengikuti adat negeri lain (Arab). Dan telah diterangkan pada paragraf sebelumnya, tentang larangan menyelisihi adat sebuah negeri –selama adat itu bukan perkara yang haram-.
Al-Imam Ibnu Aqil Al-Hambali –rohimahullah- berkata :
لا ينبغي الخروج من عادات الناس
“Tidak sepantasnya seorang untuk keluar (menyelisihi) adat istiadat masyarakat setempat (dimana dia hidup/tinggal).” [ Al-Adab Asy-Syar’iyyah : 2/47 ]
Selain itu, kita akan terjatuh dalam memakai pakaian syuhroh (tampil beda) yang dilarang oleh Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam-.
BACA JUGA: Orang Berjubah dan Bersorban Belum Tentu Shalih
Yang lebih afdhol (lebih utama) di Indonesia ini, menutup kepala adalah dengan peci/songkok. Karena itulah adat negeri ini. Bukan dengan sorban. Dan masalah hukum memakai songkok ini, telah kami bahas dalam artikel tersendiri di sini :
Namun jika ada yang tetap ingin memakai imamah, kami pribadi tidak melarang dan menghormati hal itu sepenuhnya. Terlebih jika yang memakainya para ulama’, kiai, habaib, ustadz, dan para masyaikh. Karena terkadang untuk orang-orang yang berprofesi sebagai guru agama, menuntut untuk berpenampilan khas orang-orang yang berilmu. Tidak boleh untuk dicela atau dihinakan.
Cara memakai sorban juga bebas sesuai dengan daerah dan kultur masing-masing. Karena hal ini hanyalah masalah adat, sehingga dikembalikan kepada adat masing-masing daerah atau negeri. Tidak harus mencontoh nabi atau orang Arab. Seperti di Indonesia ini, ada yang memakai dengan diikatkan menyilang seperti Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol dan yang lainnya. Ada juga yang ditutupkan di kepala, ada yang dikalungkan di leher dan ada juga yang disampirkan di pundak. Maka semuanya ini adalah boleh.
Demikian pembahasan kali ini. Semoga bermanfaat. Barokallohu fiikum. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani