SIAPA yang tidak kenal dengan sosok wanita yang menjadi suritauladan wanita lainnya, ia adalah Fatimah az-Zahra. Beliau adalah putri dari Nabi Muhammad ﷺ, ia terkenal dengan keshalehan dan budinya.
Sayidah Fatimah dilahirkan di Makkah sebagai putri bungsu dari empat perempuan bersaudara merupakan buah hati dari pasangan Rasulullah ﷺ dengan isteri beliau Khadijah al-Kubra binti Khuwailid, pada hari Jum’at, 20 Jumadilakhir, lima tahun setelah kenabian Rasulullah ﷺ dan tiga tahun setelah peristiwa agung isra’ Mikraj.
Sayidah Fatimah tumbuh selain dengan limpahan kasih sayang ayah ibunya, namun juga dalam asuhan wahyu dan kenabian di rumah yang penuh dengan firman-firman Allah dan ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia.
BACA JUGA: 10 Gelar yang Diberikan kepada Fatimah Az-Zahra
Konon, namanya terilhami dari jaminan Allah yang akan melepaskannya dari siksa api neraka pada hari kiamat kelak. Pada hari kelahirannya, Sang Ayah sedang menyelesaikan persengketaan rumit kaumnya dalam pembangunan Ka’bah. Peristiwa peletakan hajar aswad itulah yang membuat sang ayah dijuluki al-Amin, sang terpercaya.
Disamping kelahiran Khadijah Rasulullah pun sangat sayang kepada putrinya, sehingga ada cerita bagaimana ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah tentang sebab kecintaan beliau yang luar biasa terhadap Sayidah Fatimah, maka beliau ﷺ menjawab, “Seandainya engkau mengetahui apa yang aku ketahui, sungguh engkau akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah belahan jiwaku, maka siapa pun yang membuatnya marah, berarti ia telah membuatku marah, dan siapa pun menyenangkan hatinya, berarti ia menyenangkan hatiku.”
Ketika ibunya meninggal pada waktu usianya masih 6 tahun, Sayidah Fatimah mengganti peranan ibunya dengan rajin mengurus dan menerbitkan kegembiraan dalam hati ayahnya. Karena kasih dan baktinya kepada ayahnya itu, maka Rasulullah menemaninya Ummu Abiha (Ibu dari ayahnya).
Ia tumbuh dalam didikan sepasang manusia mulia. Hari-harinya dipenuhi dengan kasih sayang ibunya yang sangat dewasa, lembut dan penuh pengertian. Ia tumbuh bersama cinta dan kesahajaan wanita terbaik dalam sejarah Islam, Sayyidah Khadijah RA.
Di samping itu, ia juga tumbuh bersama nuansa kesabaran perjuangan ayahnya. Ia melihat langsung bagaimana Sang Ayah selalu bersabar menerima siksaan dan hinaan dari kaumnya dalam menyebarkan dakwah. Dengan mata kepalanya sendiri ia pernah menyaksikan selendang penutup kepala ayahnya ditarik-tarik oleh seorang Qurays saat beribadah di depan Ka’bah. Ia juga yang membersihkan tubuh ayahnya setelah seorang Qurays melemparkan kotoran ke tubuh Sang Ayah ketika sedang khusyu menghadap Tuhannya.
Dua nuansa pembinaan inilah yang menjadikann Sayyidah Fatimah sebagai wanita istimewa. Nuansa pembinaan yang sarat dengan cinta dan kelembutan dari ibunya telah menumbuhkan benih-benih kasih sayang dalam dirinya. Sedangkan kesabaran yang ia peroleh dari Sang Ayah membuat hatinya lebih kuat dari karang samudera.
Cintanya kepada Sang Ayah pun tak kalah besar. Suatu hari, setelah Sang Ayah pulang dari medan perang, beliau menyempatkan untuk mampir ke rumah Fatimah. Namun kondisi Sang Ayah sedang lelah. Wajah beliau terlihat lemas dan pucat. Seketika itu, Fatimah pun menangis. Air matanya meleleh tanpa bisa ia tahan.
“Apa yang membuatmu menangis, Anakku?” tanya Sang Ayah.
“Aku melihat wajahmu pucat sekali,” jawab Fatimah.
“Wahai Fatimah, Sesungguhnya Allah mengutus ayahmu dengan suatu urusan yang tidak akan meninggalkan satu rumah pun tanpa didatanginya untuk menyampaikan perintah Tuhannya.”
Fatimah tidak pernah tega melihat Sang Ayah lelah apalagi disakiti orang lain. Namun bagaimana lagi, ini adalah bagian dari tugas kenabiannya.
Kecintaan terhadap ayahnya semakin terlihat saat ibunya meninggal dunia. Dengan serta merta ia pun menjadi dewasa di usia mudanya. Ia menjelma sebagai “ibu” bagi ayahnya. Saat Sang Ayah terlihat lelah, ia yang penghiburnya. Saat Sang Ayah lapar ia yang mengantarkan makanan kepadanya.
Saat terluka usai perang, ia yang mengobati dan membersihkan lukanya. Ia tak pernah lelah mendukung dan memotivasi perjuangan dakwahnya. Ia ingin selalu bersama Sang Ayah. Bahkan ia tak pernah berpikir akan menjadi seperti kakaknya yang harus tinggal jauh dari Sang Ayah karena telah mendapatkan pasanganya.
Entah itu kakak sulungnya, Zainab yang menjadi isti Abu al-Ash atau Ruqayyah dan Ummu Kulsum yang dipersunting oleh Dzu Nurain Usman bin Affan.
Kelembutan hatinya juga diiringi dengan ketegaran jiwanya. Kisah kesabaranya pernah tertoreh saat perintah hijrah memanggilnya. Al-Huwairits bin Naqidz, seorang bejat dari kaum Qurays mengejarnya ketika dalam pernjalan menuju Madinah.
Ia dan kakaknya terjerembab dari atas tunggangan. Jatuh di atas padang pasir yang garang dan panas. Ia dihinakan dan disakiti oleh kebejatan al-Huwairits yang tertawa-tawa mengejek bersama kaumnya. Hingga setelah puas ia pun meninggalkan dua bersaudara itu. Namun keadaan itu tak pernah melemahkan sedikitpun keimanan yang telah tertanam kuat dalam hatinya.
Dia yang menjadi putri seorang pemimpin dan nabi umat ini tidak pernah ingin hidup dimanja. Hidupnya selalu sarat dengan kesederhanaan. Ia selalu menjalaninya dengan penuh pengorbanan dan perjuangan.
Bahkan nasab mulianya tak sedikit pun bisa menjamin ia terbebas dari hukum dan aturan Allah. Ayahnya pernah bersabda, “Demi Allah, jika Fatimah putri Muhammad mencuri, aku akan potong tangannya.” Tak ada perbedaan kasta dalam Islam. Semuanya sederajat di mata Allah. Yang membedakan antara mereka hanyalah taqwa.
Sungguh perempuan mulia ini patut dan layak dimuliakan sejarah. Dari rahimnya yang suci tersambung keturunan Rasulullah. Dari kesabaran dan kesetiaannya bersama Ali, ia memperoleh kebahagiaan dan menuliskan kisah cinta yang sangat indah. Cinta yang bermuara pada kerelaan Allah dan Rasul-Nya.
Kesibukannya mengurusi rumah tangga tak pernah melupakannya untuk menuntut ilmu. Suaminya yang menjadi “gerbang ilmu” adalah guru terbaik kedua sepeninggal ayahnya. Dari keduanya ia menuai bauh-buah ilmu yang kemudian ia turunkan dengan penuh kasih sayang kepada kedua buah hatinya, Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma.
BACA JUGA: Fatimah Az-Zahra di Medan Uhud
Enam bulan setelah kepergian ayahnya, ia menyusul menghadap Allah SWT. Di tengah tangisan seluruh keluarga dan kaum Muslimin dia tersenyum dengan kemenangannya menjadi pemimpin wanita Muslimah. “Fatimah adalah pemimpin seluruh wanita di dunia,” begitu Nabi pernah menegaskan.
Hidupnya telah memancarkan cahaya bagi penghuni langit, seperti matahari yang selalu memancarkan cahayanya untuk alam semesta. Fatimah merupakan Putri Nabi yang berbakat dan cerdas.
Wejangan dan syair puisinya sangat mengagumkan, menunjukkan kekuatan karakter pikirannya, seperti yang tertuang dalam kitab Shahifah Fathimiyyah. Beliau mewarisi kejeniusan dan kearifan, keteguhan dan ketekunan, keshalehan, kesucian, kedermawanan, kebajikan, kesetiaan, dan kekuatan beribadah kepada Allah, pengorbanan diri, keramah-tamahan, ketabahan, dan kesabaran, pengetahuan serta kemuliaan watak, dari ayahandanya.
Karena keutamaan-keutamaan dan kecantikan jasmani dan rohaninya itu beliau mendapat gelar az-Zahra (wanita yang bercahaya). []
Sumber: Madzhab Cinta/Karya: Irawan Massie/Penerbit: Penerbit Lentera