SETELAH AS, Inggris, dan beberapa negara Eropa, Spanyol juga akhirnya pernah terjerembab dalam arus besar krisis finansial global. Namun, tidak seperti di negara-negara lainnya, krisis di Spanyol menyisakan ironi besar yang masih terus berjalan di pertengahan tahun 2012 lalu.
Spanyol hari ini ini adalah gambaran bisnis yang perlahan-lahan ditinggalkan oleh pemerintahnya sendiri, dan lulusan universitas tanpa prospek masa depan yang jelas. Turisme, industri paling besar kedua Spanyol setelah perbankan, sejak tahun 2009 menyusut sampai 12%. Akibatnya, perhotelan yang selama ini juga menjadi asset Spanyol perlahan-lahan mulai tutup buku.
Global Economic Crisis bahkan memprediksikan Spanyol kemungkinan besar Spanyol bisa jatuh seperti halnya Islandia. Data ekonomi makro yang baru saja dirilis adalah sebuah gambaran nyata tentangnya. Pada Desember 2008, industri Spanyol sudah susut ke angka 19,6%. Hanya dalam jangka satu bulan, seperlima bangsa Spanyol telah kehilangan pekerjaannya. Angka pengangguran di Spanyol saat itu mencapai 14,4%. Kebangkrutan berturut-turut menimpa berbagai perusahaan Spanyol.
Namun, krisis ekonomi Spanyol bukan urusan Real Madrid. Klub sepakbola yang berbasis di ibukota ini hampir setiap musim panas—kecuali tahun ini—berbelanja pemain dengan harga gila-gilaan yang dianggap oleh sebagian besar sebagai suatu sikap yang tak punya empati terhadap penderitaan rakyat; yang dalam hal ini hanya bisa ditandingi oleh kegilaan seorang pengusaha Arab yang membeli klub sepakbola Manchester City di Inggris.
Madrid, dalam beberapa tahun belakangan pada periode itu kalah gaung oleh rival abadinya, Barcelona. Dalam empat itu ketika ditukangi oleh Pep Guardiola, Barca sudah mengantungi 16 gelar, sedangkan Madrid hanya 2 saja. Tidak heran juga, jika kemduian Madrid sudah mengeluarkan cek dalam jumlah yang tak ketulungan. Di tahun 2009, pertama, Madrid membeli Kaka dari AC Milan dengan harga sekitar 60 juta pound. Berikutnya, Merengues—sebutan Madrid—melanjutkan belanjanya dengan menggelontorkan 80 juta poundsterling untuk Cristiano Ronaldo dan 35 juta lainnya saat memboyong Karim Benzema. Total untuk ketiga pemain ini Madrid telah menggelontorkan dana sebesar tak kurang dari Rp 2 trilyun hanya dalam waktu sebulan itu saja.
Belanja Madrid belum akan selesai, karena mereka kemudian memboyong beberapa pesepakbola sohor lainnya seperti Alvaro Arbeloa, Xabi Alonso, kemudian tahun-tahun berikutnya berdatangan Mesut Ozil, Sami Khedira, Luca Modric dan Michael Essien.
Presiden UEFA waktu itu, Michel Platini bahkan menyebut apa yang dilakukan ‘Les Merengues’ sebagai tindakan yang mencederai sportivitas. Agaknya, kehadiran presiden baru Madrid, Florentino Perez, menjadi salah satu penyebabnya. Perez mungkin gelap mata dengan keiriannya yang melihat fakta bahwa Barcelona, musuh bebuyutan Madrid, pernah mendapatkan tiga gelar bergengsi dalam satau musim, sementara Madrid, zero tituli alias nol gelar.
Sementara itu, generasi muda Spanyol—terutama di Madrid sebagai ibukota—menukik pada satu arah. Setelah mereka lulus dari universitas, akhirnya mereka kembali ke rumah orang tuanya. Di Eropa, anak yang telah berumur 18 tahun lebih masih tinggal dengan orang tuanya merupakan aib. Namun inilah kenyataan yang terjadi .
Mereka yang sudah berusia 20 tahun lebih itu, akhirnya mendekam di rumah, karena pekerjaan yang tak kunjung mereka dapatkan. Karena tak bekerja, mereka juga tak bisa membayar sewa rumah, membeli makanan, dan bahkan yang paling buruk, mereka masih dibiayai oleh orang tuanya. Inilah yang disebut dengan geneasi Ni-Ni.
Sementara setiap pekan, mereka berhasrat besar untuk menonton pertandingan sepak bola yang harga karcisnya saja untuk satu kali pertandingan juga tidaklah murah. Krisis dan sepakbola memang menjadi dua hal yang berseberangan di Spanyol, terutama karena nafsu besar Perez yang menakhodai Real Madrid. []
Sumber: gec/emvb/speigel