Oleh: Asep Saepul Malik, Aktivis HMI Cabang Purwakarta
RAMADHAN bulan mulia dengan sejuta keberkahan. Proses menahan diri, menahan dari segala sesuatu yang mampu membatalkan puasa. Seperti menahan hawa nafsu, menahan haus dan lapar, hingga magrib tiba. Ada rasa bangga disetiap hari saat berbuka puasa. Begitulah rasa antusias yang tertanam di bulan ramadhan. Kebahagian ramadhan tidak akan terlukiskan dengan kata-kata.
Ibadah puasa senantiasa dijalankan oleh umat muslim. Dua puluh hari lebih ibadah puasa telah dilalui oleh kita semua. Amalan-amalan mulia dikerjakan. Dari mulai shalat tarawih, i’tikaf, tadarus Al-Qur’an, bersedakah, semata-mata hanyalah untuk mendapatkan pahala yang begitu besar di bulan Ramadhan ini. Pahala yang berlipat-lipat ganda serta keistimewaan ramadhan yang besar tentunya menjadi kerinduan tersendiri bagi umat muslim dalam beribadah. Berharap mendapatkan berkah dan kemuliaan dibulan penuh berkah.
Sepuluh malam terakhir yang menjadi titik klimaks untuk beribadah, berkontemplasi menyambut malam yang penuh dengan keistimewaan yakni malam lailatul qadar. Lailatul qadar (malam seribu bulan), malam yang paling indah diantara malam-malam yang ada dan penuh kemuliaan, karena kalam Allah diturunkan di malam tersebut. (Qs. Al-Qadr : (97) : 1).
Sejatinya malam ini menjadi catatan penting bagi umat muslim, dimana doa-doa yang kita panjatkan akan dikabulkan, pintu-pintu surga dibukakan oleh-Nya.
Lantas, apakah spirit lailatul qadar hanya diterapkan di bulan ramadhan saja ? Lalu bagaimana dengan malam-malam dibulan yang lain ? Apakah kita tidak bisa berkontemplasi didalam satu keheningan untuk beribadah?
Menarik sebenarnya ketika mengkaji malam lailatul qadar. Lailatul qadar (Malam Penetapan), malam yang selalu dinanti-nanti kehadirannya dan diberkahi serta didalamnya terdapat hikamh (Qs. Ad-Dukhan (44) : 3). Malam-malam ganjil seperti 21.23,25, 27, dan 29 konon diyakini hadirnya malam lalilatul qadar.
Nabi Muhammad pernah bersabda : “Carilah malam lalilatul qadar di malam ganjil pada 10 hari terakhir dibulan ramadhan,” (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no.1169).
Maka jelaslah sepuluh malam terakhir ramadhan menjadi malam yang sakral. Orang muslim yang tahu akan keutamaan malam ini tidak akan mensia-siakan dan melewatkan begitu saja. Mereka isi dengan berdzikir, menyebut asma-asma Allah, bermujanat dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya.
Pada hakikatnya lailatul qadar adalah kesuciaan, kejernihan dan jembatan bagi hambanya untuk berkontemplasi (merenung), mensucikan jiwa, menjauhkan diri dari segala bentuk kemaksiatan dan hanya terfokuskan pada sang khaliq. Tak heran, jika di malam tersebut di isi dengan segala bentuk ritual ibadah dari mulai shalat malam, membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya.
Penulis berpendapat bahwa spirit malam lailatul qadar tidak saja tertumpu di bulan suci ramadhan, akan tetapi malam-malam di bulan lain pun menjadi malam untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Hal ini dilandaskan dalam kisah Imam Sya’roni (Abdul Wahab Asy-Sya’roni) ulama Mesir yang memiliki pengaruh besar pada zamannya. Saksi hidup yang pernah ia jalani dan ia tuangkan lewat kitab Mizanul Qubro bahwa ia memiliki seorang saudara bernama Afdhaluddin dan saudaranya pernah merasakan malam yang istimewa tersebut di luar dari bulan ramadhan (subhanallah). Tidak menafikan, meskipun banyak keterangan-keterangan yang mengkhususkan lailatul qadar terjadi di bulan ramadhan mengingat pada bulan tersebut mayoritas manusia hatinya menjadi halus dan lembut untuk meraih cahaya ilahi.
Mengapa dalam Islam ada anjuran shalat malam, seperti shalat tahajud, shalat hajat, itu tak lain adalah untuk mempertebal keimanan dan ketaqwaan kita. Diantara keheningan, sepi, sunyi dan hanya lantunan dzikir serta asma Allah yang di sebut, maka disanalah doa-doa kita dikabulkan. Pintu rizki dibukakan dan dosa terampunkan.
Alangkah baiknya spirit lailatul qadar pun di implementasikan di malam yang lainnya. Dengan begitu, umat muslim sejatinya akan senantiasa mendapat keberkahan. Tidak membeda-bedakan kadar ibadah antara ramadhan dan bulan-bulan lain. Ikhlas dalam menjalankan setiap amal-amal shaleh.
Kontemplasi adalah salah satu media tarnsendental. Dimana dengan hal itu manusia mampu mendamaikan setiap hati dan jiwanya. Jika menilik sejarah, Nabi pun pernah melakukan hal yang sama. Proses tahanus di gua hiro Nabi lalui dengan penuh keheningan dan kesunyian, hingga suatu ketika Nabi pun mendapatkan wahyu dari Allah lewat malaikat Jibril. Hal ini tidak saja terjadi pada seorang Nabi, Al-Ghazali yang juluki sebagai hujjatul Islam (Pembela Islam) saat menuliskan kitab ihya ulumuddin yang fenomenal, ia lukiskan dengan keadaan suci, damai dan penuh dengan kesunyian. Maka tidak salah, jika proses lailatul qadar pun mampu kita dapatkan dengan hal-hal yang demikian.
Coba kita perhatikan hari ini. Ketika ramadhan tiba sebagian dari kita begitu antusias dalam beribadah, mengerjakan amal-amal shaleh namun, setelah usai ramadhan spiritnya nya pun ikut meleh entah hilang kemana? Inilah yang hari ini menjadi pertanyaan kita. Mengapa hanya di bulan ramadhan saja sikap antusias tersebut sedangkan di bulan lain identitas ibadah kita seakan tidak berbekas sama sekali. Sungguh ironis ketika umat muslim hanya menjadikan ramadhan sebagai bulan transisi beribadah tetapi, setelahnya terkubur begitu saja.
Sama halnya dengan spirit lailatul qadar meskipun lailatul qadar menjadi malam istimewa dibulan ramadhan, tetapi tak ada salahnya ketika spiritnya kita ambil dan aplikasikan di bulan yang lain guna meningkatkan ketaqwaan kita. Karena salah satu tujuan berpuasa yakni menciptakan ketaqwaan hambanya. (Qs. Al-Baqarah (2) : 183).
Jangan hanya karena ramadhan membaca Al-Qur’an berpuluh-puluh Juz, shalat malam menjadi sering, dan membantu orang fakir berlomba-lomba. Namun, realisasikan konsep tersebut di bulan-bulan yang lain.
Oleh karena itu, setelah selesai menjalankan ibadah puasa semestinya karakter ibadah kita terbentuk. Puasa sejatinya adalah bulan untuk mencetak karakter umat muslim agar senantiasa taqwa, mengingat sang pencipta, tidak lupa akan tugas dan kewajibannya. Ketika ramadhan usai dan ibadahnya selesai, maka sesungguhnya muslim tersebut belum mencapai ketaqwaan yang hakiki. []