BAGI Turki, Jerusalem adalah “Red Line” (garis merah) dalam konflik Palestina-Israel. Maksudnya, kalau kota tempat masjid Al-Aqsha itu digeser statusnya, itu berarti tindak kekerasan adalah reaksi yang pasti muncul di mana-mana. Sekarang, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengakui Jerusalem seagai ibukota Israel dan akan memindahkan kedutaan besar AS di Tel Aviv ke Jerusalem.
Tidak mungkin Trump tak paham bahwa pengakuan yang dia berikan untuk kota Jerusalem sebagai ibokota Israel, pasti akan menyulut reaksi keras dari kaum muslimin di seluruh dunia. Lantas, mengapa pemerintah AS tetap bersikukuh mengambil langkah pengakuan itu?
Secara diplomatis, jawabannya bisa macam-macam. Misalnya, pengakuan itu adalah puncak kehebatan lobi zionis Israel di AS. Bisa juga disebut sebagai keinginan Trump untuk mencatatkan sensasinya di buku sejarah. Atau, bisa juga karena pemerintah zionis Israel dan pemerintah Trump sama-sama penganut paham ekstem yang berketetapan hati bahwa “ethnic cleansing” (pembersihan etnis) terhadap warga Arab-Palestina harus segera dilakukan.
Salah satu cara tercepat untuk memproses “ethnic cleansing” itu adalah dengan menyulut pemberontakan dari warga Palestina. Pengakuan AS terhadap Jerusalem sebagai ibukota Israel, hampir pasti akan memancing pemberontakan itu. Kalau tindak kekerasan membesar, Israel kemudian akan mempunyai alasan untuk memberlakukan langkah ekstrem atas nama perlindungan rakyatnya.
Langkah ekstrem itu bisa berupa penutupan total kota Jerusalem. Setelah itu, semua kawasan permukiman warga Palestina di kota itu akan dikosongkan dengan cara paksa dengan dalih keamanan nasional Israel. Seterusnya, mereka akan membangun tembok yang akan mengelilingi komplek masjid al-Aqsha. Kira-kira begitulah kemungkinan rencana Israel.
Akan tetapi, seperti dikatakan oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Jerusalem adalah “red line”. Yakni, “garis merah” bagi kaum muslimin. Artinya, tindak kekerasan yang akan dilakukan Israel terhadap Jerusalem dan warga Palestina di kota itu, bisa mengubah situasi menjadi “merah”.
Donald Trump sangat ceroboh. Dia ditipu oleh zionis Israel untuk hal yang sama sekali tidak signifikan bagi AS. Tidak ada keuntungan apa pun bagi Washington dalam mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel. Sebaliknya, AS akan membuat ribuan “hot spot” (titip api) di berbagai pelosok dunia yang akan menyulitkan negara itu sendiri. Yang akan menimbulkan ancaman keamanan terhadap warga mereka.
Dengan mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel, dan kemudian memindahkan kedutaan AS ke kota itu, mungkin Presiden Trump merasa dirinya menjadi kuat. Atau, tampak kuat. Soalnya, tak satu pun presiden AS selama ini, baik dari Partai Republik maupun Partai Demokrat yang bersani menabrak “garis merah” Jerusalem. Presiden yang “hawkish” (galak) sekali pun, seperti George W Bush, tetap memilih status quo Jerusalem.
Trump memang sedang mencoba melepaskan diri dari kebijakan AS yang bersifat “monoton” di Timur Tengah. Dia kelihatan ingin membuat “inovasi” politik luar negeri dengan spekulasi bergaya bisnis. Dia membuat “produk baru” yang, menurut kaidah pemasaran, bisa laris terjual tetapi bisa juga membuat dia bangkrut. []