Oleh: Aditya Budi
Alumni UIN Walisongo Semarang, Aktivis Lembaga Filantropi
adityabudi82@gmail.com
KONON sang filsuf Socrates pernah berucap, sebagaimana dikutip oleh Abu al-Fatih Muhammad asy-Syarastani “Ketika aku meneliti rahasia kehidupan, kutemukan maut, dan ketika kutemukan maut, kutemukan sesudahnya kehidupan abadi, karena itu kita harus prihatin dengan kehidupan dan bergembira dengan kematian, karena sesungguhnya kita hidup untuk mati dan mati untuk hidup.”
Kematian memang suatu misteri dalam kehidupan umat manusia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di balik sebuah peristiwa bernama kematian. Sejak abad-abad sebelum masehi, manusia telah berusaha menyingkap di balik fenomena bernama kematian.
BACA JUGA: Tiket Menuju Kematian Datang Tanpa Pemberitahuan Tanggal dan Jamnya
Adalah kesepakatan jamak bagi kaum ber-Tuhan bahwa kematian ada di tangan-Nya. Pernah dalam sebuah artikel ilmiah di barat dipaparkan bahwa fenomena kematian memiliki hubungan dengan hari atau musim tertentu. Terjadi peningkatan angka kematian pada pada hari atau musim tertentu bahkan hingga tanggal dan jam tertentu secara berpola.
Pola peningkatan kematian disinyalir ada hubungan dengan kondisi sosiokultural dan fluktuasi alami yang melatarbelakanginya. Tak bisa dipungkiri bahwa kondisi masyarakat sosial di sekitar ikut memengaruhi psikis di mana manusia hidup.
Itulah kondisi dimana tesis stress psikologis seakan memiliki signifikansi atas anomali kematian di suatu masyarakat tertentu. Dalam buku The Out Liers sendiri, Malcolm Gladwel menulis bahwa suatu daerah bernama Roseto di Amerika Serikat (AS) memiliki tingkat usia warganya yang tinggi (panjang umur) dibanding kawasan AS lainnya.
Ketika warga dunia barat begitu stres dengan datangnya kematian, berbeda halnya dengan ajaran Islam. Sebaliknya Islam sangat menekankan umatnya untuk senantiasa mengingat kematian, sabagaimana sabda Rasulullah SAW “Cukuplah kematian sebagai nasihat.”
Dengan mengingat kematian maka seorang hamba akan selalu memberikan amal yang terbaik setiap hari-hari yang ia lalui. Kematian pula yang akan menjadi salah satu motif manusia untuk senantiasa berbuat baik, tidak menyakiti orang lain, serta selalu menolong sesama.
Perlu ditekankan pula bahwasannya Islam memandang kematian bukan sebagai hal yang harus ditakutkan dan bukan pula menjadi akhir dari segalanya. Kematian adalah sebuah “jembatan” untuk menuju ke kehidupan yang hakiki yaitu alam akhirat.
Kaitannya kematian dengan psikologi manusia, maka Islam mengajarkan sebuah cara pandang yang istimewa. Islam justru mengarahkan umatnya untuk senantiasa mengingat kematian, kematian adalah sebuah kebahagiaan, kematian sebagai sebuah fase yang harus dilalui untuk berjumpa dengan Tuhannya.
Semakin banyak ingat akan kematian maka semakin berkualitaslah hidup seorang hamba. Bahwa kematian adalah sesuatu yang paling dekat dengan kita, ucap al-Ghazali dalam salah satu dari empat nasihatnya yang populer. Artinya apa, bahwa memandang kematian sebagai hal yang positif, bukan hal yang negatif (menakutkan) maka secara langsung akan sangat berpengaruh bagi kondisi psikologis manusia.
Dengan kondisi psikologis yang baik maka akan sangat berpengaruh terhadap bagaimana seseorang menjalani kehidupannya. Mempersiapkan kematian artinya menjalani hidup sesuai dengan jalan yang Allah SWT ridhai serta Rasululllah SAW teladankan.
Bahkan Al-Ghazali konon mengetahui bahwa ajalnya akan segera tiba. Al-Ghazali seketika membungkus tubuhnya sendiri dengan kain kafan menjelang kematiannya. Thesis yang mengatakan bahwa kematian dapat didesain waktunya jelas hal tersebut bertentangan dengan Islam.
Lebih tepatnya bukan waktu kematiannya yang didesain, melainkan sebagai ketepatan dan kepekaan intuisi – kebersihan hati manusia – untuk mengenali dan mengetahui waktu-waktu mendekati ajalnya. Hanya hati yang bersih yaitu hati yang senantiasa terpaut dengan Allah SWT yang akan merasakan “tanda-tanda” akan datangnya waktu kematian.
BACA JUGA: Doa Menghadapi ‘Kematian Kecil’ di Malam Hari
Islam menekankan bukan pada proses ataupun timing kematian itu sendiri namun lebih kepada bagaimana manusia itu mempersiapkan kematiannya dengan mempersembahkan kualitas hidup yang baik lagi sejalan dengan law of the game-Nya.
Seperti halnya sabda Nabi bahwa silaturrahim dan sedekah juga akan memperpanjang usia seorang hamba – dalam sedekah, meskipun seorang tersebut non-muslim. Meski terjadi perbedaan beberapa pendapat para ulama’ , apakah karena karena silaturrahimnya seseorang menjadi bertambah usianya atau memang sillaturahim yang mengikuti takdir usia hamba.
Namun yang jelas mereka sepakat bahwa ada kerahasiaan misteri hak prerogratif Allah SWT. Sebagai seorang hamba tentu sudah seharusnya kita menjalankan apa yang diperintahkan oleh Rasul, terlepas dari hikmah dan manfaat yang terkandung di dalamnya. Wallahu a’lam bishshowab. []
RENUNGAN adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim tulisan Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari RENUNGAN di luar tanggung jawab redaksi Islampos.