Oleh: Ni’mah Sakinah
Ibu Rumah Tangga
MAHASISWA oh mahasiswa. Nasibmu kini sedang dipertaruhkan. Sebelumnya setiap mahasiswa dipaksa punya NPWP dan BPJS. Nah, kali ini mahasiswa akan dipaksa ikut menggenjot target pertumbuhan kredit perbankan yang dianggap lamban melalui Student Loan.
Apa itu Student Loan? Student Loan adalah bagian dari inovasi di bidang pendidikan. Program ini merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia. Siapa yang akan dilibatkan? Tentunya pihak perbankan yang menerima tantangan pemerintah untuk mengeluarkan produk kredit pendidikan.
Terkait Student Loan ini, Piter Abdullah, seorang Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) mengatakan kepada CNBC Indonesia, “paling make sense [bunga pinjaman pendidikan] itu 2%. Kalau dikenakan tinggi, bisa menjadi masalah,”. Masih kata Piter, “Kalau bunga tinggi, mahasiswa pasti berat. Dalam jangka panjang, tentu akan berasa sekali,” (16/3/2018).
Mahasiswa oh mahasiswa. Sepintas gagasan ini menjadi solusi bagi yang tak punya uang tapi ingin tetap melanjutkan kuliah ke jenjang berikutnya. Siapa yang tak ingin menyandang gelar mahasiswa S2? Pasti semua mau, tapi tak semua mampu. Nah, kini asal ada kemauan, peluang untuk tetap bisa melanjutkan kuliah, bahkan peluang mengenyam pendidikan sampai S3 pun terbuka lebar. Menggiurkan bukan?
Bagi yang menganggap puncak perjuangan hidupnya adalah untuk meraih gelar setinggi-tingginya, tentu ide ini akan disambut dengan suka cita. Karena program ini akan mendekatkan dirinya dengan mimpi-mimpinya. Padahal, bila dicermati lebih jauh, gagasan Student Loan ini sangat berbahaya.
Para mahasiswa sejak awal sudah dididik untuk berhutang. Tak hanya itu, mahasiswa pun digiring untuk terjerumus riba. Selain sudah jelas-jelas menebar dosa, Student Loan ini menjadi alat pemerintah untuk berlepas diri dari tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat.
Mengemukanya gagasan Student Loan ini sejatinya tengah mengungkap kerusakan paradigma kepemimpinan dalam sistem kapitalisme-neoliberalisme. Hal ini terlihat dari hubungan penguasa dengan rakyat masa kini yang seolah-olah seperti hubungan pedagang dan pembeli. Yang berlaku adalah prinsip hitung dagang, bukan pengurusan.
Mahasiswa oh mahasiswa. Bagaimana Islam memandang pendidikan sungguh bertolak belakang dengan cara pandang yang diadopsi saat ini. Pendidikan dalam pandangan Islam dianggap sebagai hak kolektif rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Tanpa kompensasi. Negara akan berupaya agar biaya pendidikan semurah mungkin. Itu semua dilakukan untuk meningkatkan kualitas generasi.
Apa yang terjadi sekarang? Masyarakat malah dijerumuskan pada aktivitas dosa. Berhutang tanpa riba saja sudah dirasa berat. Bisa kita tanya bagaimana perasaan mahasiswa yang karena satu dan lain hal tak mampu menyelesaikan studi. Pasti nyeseknya luar biasa! Puluhan juta bahkan ratusan juta raib tanpa hasil. Termasuk yang mendapat beasiswa. Bila tidak bisa menyelesaikan studi, maka yang bersangkutan pun harus pontang-panting mengembalikan semua hibah beasiswa yang pernah diterima. Walaupun tanpa riba, tapi itu terasa berat. Apalagi kondisi mahasiswa yang dipaksa menerima hutang dengan riba. Terbayang bagaimana akan beratnya beban kehidupan yang bersangkutan. Demi meraih cita harus ditebus dengan kehinaan di dunia dan di akhirat. Buat apa? Dijamin, tak akan didapat ketenangan hidup bila hidup dalam kubangan maksiat. Berutang memang diperkenankan.
Tapi, berutang dengan riba sudah jelas diharamkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Mahasiswa oh mahasiswa. Masihkah tergiur menerima tawaran Student Loan? Masihkah akan terjerumus menerima tawaran untuk berhutang dengan riba? Walaupun hanya 2%, tapi tetap saja riba. Namanya riba ngeri banget!
Mahasiswa oh mahasiswa. Ingatlah, gelar tertinggi sesungguhnya yang harus kita kejar adalah gelar sebagai hamba Allah. Wallahu a’lam. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.