Dari Ummu Kulsum binti Uqbah, ia berkata, aku belum pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan sedikitpun kepada seseorang untuk berdusta kecuali dalam tiga perkara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku tidak menganggap berdusta seseorang yang mendamaikan manusia lalu ia mengatakan sesuatu dengan maksud mendamaikan, seseorang yang berbicara dalam (siasat) perang , dan seorang suami yang berbicara kepada istrinya atau istri yang berbicara kepada suaminya” (HR. Abu Dawud).
TAK selamanya dusta membawa bencana. Buktinya, Rasulullah SAW telah mengisyaratkan bahwa memang ada dusta yang ‘diperbolehkan.’ Nah, adapun maksud dari diperbolehkannya dusta pada poin ketiga pada hadist tersebut tentunya bukan dusta dengan niatan jahat. Dusta di sini adalah dusta dalam rangka menyenangkan suami atau istri dan membuatnya semakin cinta. Yakni dusta saat merayu dan memujinya.
“Dusta yang yang diucapkan oleh suami kepada istrinya atau istri kepada suaminya yang bertujuan untuk menguatkan kecintaan dan menghindari perpecahan,” kata Dr Karim Asy Syadzili ketika menerangkan hadits tersebut.
Sebagai contoh suami melihat istrinya berhias untuk dirinya, dengan pakaian yang baru dibelinya. Sebenarnya penampilan sang istri tidak terlalu baik bahkan terlihat pucat. Namun demi menyenangkan hati istri, sang suami mengatakan, “Kamu sangat cantik malam ini, Sayang.”
Contoh lain, ketika istri memasak mie goreng namun keasinan. Suami tidak berkomentar buruk tentang makanan tersebut, justru memujinya dengan berkata, “Enak sekali mie gorengnya. Ini adalah mie goreng paling enak sedunia.”
Pun saat istri mengatakan kepada suaminya, “Kau adalah laki-laki paling tampan. Tak ada pria lain dihatiku,” (Meski kenyataannya wajah suami pas-pasan).
Dalam sebuah riwayat Umar bin Khattab pernah diminta mengatasi problem keluarga Abu Gharzah. Ia dikenal suka mencaci istrinya. Lalu Umar bertanya kepada Ummu Gharzah apakah ia membuat marah suaminya. Ummu Gharzah mengatakan bahwa suaminya telah mencaci dirinya, namun ia terpaksa berdusta kepada suaminya dengan mengatakan dirinya tidak marah oleh cacian itu. Umar pun memuji Ummu Gharzah.
Jadi, jika dusta itu berisi pujian, rayuan atau hal-hal yang bertujuan menguatkan cinta, maka hal itu diperbolehkan. Namun jika dusta itu justru membuat hubungan renggang dan memicu pertengkaran, dusta tersebut masuk kategori dusta yang berdosa. Misalnya ketika suami menerima gaji, ia membohongi istrinya dengan berkata “Mah, bulan ini papah cuma nerima gaji 3 juta, lagi banyak potongan di kantor soalnya.” (Padahal, ia menerima gaji 8 juta). Nah, dusta seperti ini yang kelak bakal jadi ‘penghancur’ rumah tangga. []