HUBUNGAN suami istri yang sah tidak dibatasi oleh frekuensi. Kapanpun suami atau istri menginginkannya, maka boleh ditunaikan. Aturan dalam Islam, berapa kali hubungan dalam sepekan?
Intinya, dikutip dari rumaysho.com, dalam Islam tidak ada pembatasan berapa kali dalam sepekan untuk berhubungan. Mengenai perkara tersebut tergantung pada keadaan dan kemampuan tiap orang.
Namun sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (7: 30),
والوطء واجب على الرجل – أي الزوج بأن يجامع زوجته – إذا لم يكن له عذر ، وبه قال مالك
“Hubungan seks wajib dilakukan oleh suami, yaitu ia punya kewajiban menyetubuhi istrinya selama tidak ada udzur. Demikian dikatakan oleh Imam Malik.”
Ada hadits pula dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya,
« يَا عَبْدَ اللَّهِ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ » . فَقُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « فَلاَ تَفْعَلْ ، صُمْ وَأَفْطِرْ ، وَقُمْ وَنَمْ ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
“Wahai Abdullah, benarkan aku dapat kabar darimu bahwa engkau terus-terusan puasa dan juga shalat malam?” Abdullah bin Amr bin Al Ash menjawab, “Iya betul wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Jangan lakukan seperti itu. Engkau boleh berpuasa, namun ada waktu tidak berpuasa. Engkau boleh shalat malam, namun ada waktu untuk istirahat tidur. Ingat, badanmu punya hak, matamu punya hak, istrimu juga punya hak yang mesti engkau tunaikan. Begitu pula tenggorokanmu pun memiliki hak.” (HR. Bukhari no. 1975).
Dalam Fathul Bari (9: 299) disebutkan perkataan Ibnu Batthol,
وَأَنَّهُ لَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يُجْهِد بِنَفْسِهِ فِي الْعِبَادَة حَتَّى يَضْعُف عَنْ الْقِيَام بِحَقِّهَا مِنْ جِمَاع وَاكْتِسَاب
“Hendaklah suami tidak mempersusah diri dalam ibadah sehingga membuat ia lemas untuk menunaikan hak istrinya yaitu kebutuhan seks dan bekerja untuk keluarga.”
Ibnu Hajar juga menyebutkan,
وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِيمَنْ كَفّ عَنْ جِمَاع زَوْجَته فَقَالَ مَالِك : إِنْ كَانَ بِغَيْرِ ضَرُورَة أُلْزِم بِهِ أَوْ يُفَرَّق بَيْنهمَا ، وَنَحْوه عَنْ أَحْمَد ، وَالْمَشْهُور عِنْد الشَّافِعِيَّة أَنَّهُ لَا يَجِب عَلَيْهِ ، وَقِيلَ يَجِب مَرَّة ، وَعَنْ بَعْض السَّلَف فِي كُلّ أَرْبَعٍ لَيْلَة ، وَعَنْ بَعْضهمْ فِي كُلّ طُهْر مَرَّة .
“Para ulama berselisih pendapat bolehkah suami meninggalkan menyetubuhi istrinya. Imam Malik berpandangan, “Jika tidak darurat melakukannya, suami bisa dipaksa berhubungan seks atau mereka berdua harus pisah.” Imam Ahmad juga berpendapat seperti itu. Sedangkan yang masyhur dari kalangan ulama Syafi’iyah, ia tidak wajib berhubungan intim. Ada pula yang berpandangan bahwa wajibnya sekali. Sebagian ulama salaf berpendapat, setiap empat malam, harus ada hubungan seks. Ulama lainnya berpandangan, setiap kali suci dari haidh, sekali hubungan seks.” (Idem)
Ibnu Taimiyah berpendapat,
ويجب على الزوج وطء امرأته بقدر كفايتها ما لم ينهك بدنه أو يشغله عن معيشته ، .. فإن تنازعا فينبغي أن يفرضه الحاكم كالنفقة وكوطئه إذا زاد
“Wajib bagi suami berhubungan seks dengan istrinya sesuai kemampuannya selama tidak mengganggu fisik dan tidak melalaikan dari kewajiban mencari nafkah. Jika ini tidak dipenuhi, maka seorang hakim peradilan bisa memaksanya sebagaimana dalam hal nafkah atau sebagaimana dalam hubungan seks yang berlebihan.” (Al Ikhtiyarot Al Fiqhiyyah, hal. 246).
Adapun jika suami bepergian karena tujuan yang disyari’atkan atau ada alasan lainnya yang dibolehkan, maka hendaklah tidak terlalu lama meninggalkan istri.
Kalau kepergian suami demi kemaslahatan kaum muslimin seperti jihad di jalan Allah atau menjaga garis perbatasan, maka hendaklah ia tidak meninggalkan istrinya terlalu lama, tidak lebih dari empat bulan.
Contohnya, ketika pemerintahan Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu. Umar memberikan waktu bagi para pasukannya untuk pergi meninggalkan keluarganya (istrinya) tidak lebih dari empat bulan. Kalau ternyata sudah mencapai empat bulan, maka pasukan tersebut siap diganti dengan yang lain. (Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 1078 oleh Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid). []