DALAM kehidupan suami-istri, adalah sesuatu yang tidak terhindari berhubungan ketika istri baru melahirkan, dan secara tidak sengaja suami menelan air susu yang keluar dari istri. Bagaimana hukumnya? Apakah haram hukumnya?
Memang terkadang muncul keraguan di sebagian suami tentang air susu istri yang tertelan suami saat berhubungan. Ragu karena apakah ia sama hukumnya dengan air susu ibu yang diminum oleh seorang anak susuannya?
Sesungguhnya persyaratan susuan yang menjadikannya orang yang menyusu itu anak dari ibu susuannya adalah sebagai berikut:
1. Susuan tersebut terjadi pada usia-usia di antara dua tahun pertama dari usia anak yang menyusu darinya. Dan jika seandainya usia yang menyusu itu di atas dua tahun maka tidaklah menjadikannya haram untuk dinikahi, ini adalah pendapat jumhur ulama berdasarkan sabda Rasulullah saw, ”Tidak ada rodho’ (susuan) kecuali diantara usia dua tahun.” (HR. Daruquthni dari Ibnu Abbas).
Imam Malik menambahkan dari masa dua tahun itu dengan dua bulan dikarenakan masa dua bulan ini dibutuhkan bagi anak itu sebagai masa transisinya dari mengkonsumsi susu kepada makanan lain. Hal itu apabila anak itu tidak disapih sebelum masa dua tahun sedangkan apabila ia sudah disapih dan makan makanan kemudian menyusu maka susuannya itu tidak menjadikannya sebagai mahram.
Imam Abu Hanifah menentukan masa susuan itu adalah dua tahun setengah. Setengah tahun itu adalah masa transisi bagi anak itu untuk berpindah dari mengkonsumsi susu kepada makanan yang lainnya.
2. Hendaklah anak itu menyusu sebanyak lima susuan secara terpisah sebagaimana kebiasaan, dimana anak itu meninggalkan puting susunya dengan kehendaknya tanpa adanya halangan seperti bernafas, istirahat sejenak atau sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba sehingga menjadikannya lupa dari menyusu. Dalam hal ini tidak pula disyaratkan hisapan-hisapan tersebut harus mengenyangkannya, demikian pendapat para ulama madzhab Syafi’i serta pendapat yang paling kuat dari para ulama madzhab Hambali.
Terhadap orang dewasa yang sudah baligh dan berakal yang menyusu kepada seorang wanita maka jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan para fuqoha mengatakan bahwa tidak ada susuan yang menjadikannya mahram kecuali apabila terjadi pada saat ia masih kecil, meskipun terjadi perselisihan dalam penentuan batas usia anak kecil tersebut.
Diantara dalil-dalil yang dipakai jumhur adalah :
Artinya : “…..Selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al Baqoroh : 233)
Sabda Rasulullah saw, ”Sesungguhnya susuan itu hanyalah yang mengenyangkannya dari rasa lapar.” (HR. Bukhori Muslim) artinya susu yang diminumnya itu mengenyangkannya dan ia tidak memiliki makanan selainnya. Tentunya orang yang sudah dewasa tidaklah termasuk didalamnya terlebih lagi hadits ini menggunakan kata-kata hanyalah. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IX hal 6637 – 6638)
Dengan demikian air susu istri yang tertelan oleh suaminya saat berhubungan tidaklah menjadikannya haram untuk berhubungan dengannya, tidak pula menjadikannya sebagai anak dari istrinya itu serta tidak pula berpengaruh apa-apa terhadap pernikahan mereka.
Pada masa-masa haidh dan nifas pun hal itu tetap diperbolehkan bagi kedua pasangan tersebut, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Haram bin Hakim dari pamannya bahwa dia bertanya kepada Rasulullah saw,”Apa saja yang dihalalkan bagiku terhadap istriku pada saat dia haidh?’ beliau saw menjawab,’Bagimu apa yang berada diatas sarung..” (HR. Abu Daud)
Hadits terebut memerintahkan bagi suami yang ingin menggauli istrinya pada saat haidh adalah pada bagian diatas pusar karena dikhawatirkan akan terjadi persetubuhan pada kemaluannya jika apa yang dibawah pusar juga diperbolehkan terutama bagi mereka yang tidak bisa mengendalikan gejolak syahwat didalam dirinya, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Maka barangsiapa yang mengitari daerah larangan maka dikhawatirkan ia akan jatuh kedalamnya.” (HR. Bukhori Muslim)
Menyentuh, mencium atau menyedot puting susu istrinya hingga menelan air susunya adalah bagian daripada ‘bermain-main’ didalam bersetubuh seperti halnya terhadap bagian-bagian tubuh lainnya yang dapat menambah kenikmatan bagi kedua pasangan itu sehingga tidaklah ada larangannya. Karena itu semua termasuk dalam batas-batas yang diperbolehkan selama tidak pada duburnya. Allohu alam bi shawwab. [berbagai sumber]