BERAPAPUN usia pernikahan Anda, tetap saja jima adalah sesuatu yang penting. Sebagai manusia biasa, kita juga tidak bisa menapikan kebutuhan akan hubungan seksual dalam kehidupan kita.
Namun sebagaimana seorang Muslim, hubungan seksual diatur sedemikian rupa dalam Islam. Termasuk soal gairah suami-istri—utamanya pihak suami.
BACA JUGA: Suami Istri, Bolehkah Mandi Bersama?
Ada faktor psikologis yang menyebabkan seorang suami memiliki tuntutan hasrat seksual yang begitu tinggi, sementara istri memiliki hasrat seksual yang lebih rendah. Untuk itu, tidak perlu membandingkan dengan oranglain.
Persoalan hasrat seksual adalah persoalan pribadi yang berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Tidak ada keistimewaan sedikitpun pada orang yang memiliki hasrat seksual setiap hari, dibandingan mereka yang hasratnya hanya muncul setiap pekan sekali atau sebulan.
Tentunya selama hubungan seksualnya masih dalam batas-batas normal yang dikenal di masyarakat.
Perbedaan ini seharusnya menjadi suatu pendorong pasangan suami-istri untuk saling memahami, dan untuk saling memperhatikan kondisi psikologis pasangannya.
Perbedaan ini harusnya menjadi ladang kebaikan untuk membangun kesepakatan, keserasian dan kedekatan. Ini poin pertama.
Poin yang kedua. Meskipun persoalan seks merupakan salah satu unsur pembentuk yang penting bagi kehidupan rumah tangga, tetapi masih banyak unsur pembentuk yang lainnya.
BACA JUGA: Kamasutra Islami Teknik Jima Menurut Syariat
Sebagai contoh, pergaulan yang baik atau mengemban tanggung jawab bersama merupakan ladang-ladang yang sangat luas bagi sepasang suami-istri untuk dapat saling memahami, meskipun salah satu pihak memiliki kekurangan dalam masalah seksual. Dengan memperhatikan pergaulan yang baik, kekurangan yang ada pada pasangan pasti akan diterima.
Harus pula dipahami oleh seorang suami bahwa dalam pernikahan, dia tidak hanya akan mendapat kesenangan dan dapat memuaskan hasrat seksualnya, tetapi juga akan memperoleh sejumlah tanggung jawab baru.
Apakah dia benar-benar siap untuk mengemban semua itu tanpa sedikit pun mengurangi hak salah seorang istrinya dan juga hak-hak anak-anaknya?
Jika memang memungkinkan, jima setiap hari bisa jadi terjadi. Tetapi jika tidak, mungkin ada baiknya kita mulai berpikir soal “kualitas”, bukan “kuantitas”. []
SUMBER: ONISLAM