Cerpen, Oleh Pujiah Lestari
pujiahl@yahoo.com
SEDAN merah yang dihiasi dengan gambar kupu-kupu itu adalah pemberian suamiku, Mas Haris, dan aku tahu dia bukan seorang koruptor. Karena itu aku sangat mencintainya, bahkan sejak dia menjadi majikanku.
Hari-hariku menjadi seorang pembantu di rumah-tangganya, berjalan selama empat tahun lebih. Aku tahu Mas Haris mencintaiku sejak dulu, bahkan sejak hari pertama aku bekerja di rumahnya. Waktu itu, baru setahun dia diangkat sebagai manajer di perusahaan P.T. Trikora Steel.
Aku dapat membaca dari sorot mata dan gestur tubuhnya, meskipun – waktu itu – aku baru beranjak di usia yang ketujuh belas. Sebagai seorang gadis, aku mewajibkan diriku untuk selalu tampil cantik, biarpun hanya seorang pembantu rumah-tangga. Aku selalu menjaga diri, seperti halnya majikanku pintar menjaga diri.
Ibu majikanku, Bu Rima, tidak kalah menarik denganku, seorang wanita baik hati yang selalu minta ditemani berbelanja di supermarket. Bahkan tidak ragu-ragu menawarkan gaun atau kosmetik yang sama dengan merk kesukaannya.
BACA JUGA:Â Si Kribo
Kadang-kadang aku mengiyakan tawarannya untuk mengambil bedak atau jenis kosmetik lainnya, meski tak lebih dari satu. Sedangkan untuk gaun atau kerudung, biasanya Bu Rima sendiri yang memilihkannya untukku, tidak kalah menarik dengan gaun dan kerudung yang biasa dipakainya pula.
Majikanku memiliki dua buah hati yang cantik-cantik, Adiba dan Zahra, keduanya akrab sekali denganku, seakan menganggap aku sebagai kakaknya atau ibunya yang kedua. Zahra lebih nakal dan jahil ketimbang kakaknya Adiba, meskipun dia selalu protes pada ibunya apabila membelikan dua buah ice cream di supermarket. Dia selalu meminta tiga, karena yang satu harus diberikan kepadaku.
“Kenapa bukan empat atau lima, Nak? Siapa yang memberi ice cream untuk Mama dan Papa?” gurau Bu Rima.
“Kalau Mama dan Papa sering makan ice cream dari Nenek, tapi Kak Nina tidak pernah dibelikan ice cream sama orang tuanya.”
Kak Nina. Begitulah mereka memanggilku, seperti yang diajarkan oleh ayahnya. Bu Rima menimpalinya dengan senyuman. Ia hanya melirik ke arahku, seakan membela anaknya yang memang nakal, tetapi tak luput kecerdasan selalu menyertainya. Zahra beranjak di usia empat tahun, selang dua tahun di bawah kakaknya. Beberapa minggu setelah aku bekerja di rumah Mas Haris, Zahra keluar dari rahim ibunya dengan operasi sesar. Aku disuruh menunggu rumah dan tidak sempat menemani Bu Rima di rumah sakit. Sedangkan suaminya selalu mendampinginya sambil menggendong anaknya yang pertama.
***
Selama bertahun-tahun bekerja, hampir tidak kepikiran untuk keluar dari rumah-tangga itu, karena Bu Rima selalu menganggap aku sebagai keluarganya. Ketika aku diajak untuk menghadiri undangan resepsi pernikahan, seumumnya teman-teman Bu Rima menganggap aku sebagai adiknya. Meskipun aku sadar, banyak orang menilai bahwa aku lebih cantik dari Bu Rima, dan barangkali Bu Rima sendiri menyadari bahwa Mas Haris begitu mencintaiku, seperti halnya aku mencintainya.
Tapi aku berusaha untuk selalu menghargai rumah-tangga Mas Haris dan Bu Rima, seperti halnya ibuku pernah memberi saran agar aku berhati-hati dalam menjalani hidup ini. “Bagaimanapun Bu Rima itu seorang ibu yang baik, dan dia betul-betul memperlakukan kamu sebagai pembantu, dalam arti hanya membantu urusan rumah-tangganya, sedangkan Bu Rima sendiri adalah wanita pekerja keras yang ikhlas mendidik dan membesarkan anak-anaknya.”
BACA JUGA:Â Â Agus
Tentu saja tidak selalu ideal seperti yang digambarkan ibuku. Karena aku pun pernah mendengar Bu Rima dan Mas Haris bertengkar sambil membawa-bawa namaku. Tapi aku berusaha bersikap tenang, karena memang sudah tekadku untuk tidak melakukan sesuatu yang berlebihan di rumah-tangga itu. Meskipun suatu hari pertengkaran memuncak, dan Bu Rima sempat membawa anak-anak ke rumah nenek mereka selama beberapa hari. Aku tetap meyakini bahwa Mas Haris tidak pernah berbuat senekad itu terhadapku, meskipun aku tahu dia sangat ingin melakukannya. Dan karena ketulusan hatinya untuk menjaga nama baik keluarga, maka badai pun seperti biasa, akan cepat berlalu.
***
Aku selalu menjaga diriku, seperti halnya Mas Haris selalu menjaga dirinya. Bahkan ketika Bu Rima hamil tua, mengandung anaknya yang ketiga, Mas Haris tetap sebagai suami yang baik, selalu menjaga dirinya. Aku tahu Mas Haris pun tidak pernah berurusan dengan pengadilan, seperti yang pernah dialami beberapa temannya yang tersandung kasus suap maupun korupsi di kantornya.
Itulah sepenggal pengalaman hidupku sebagai pembantu rumah-tangga. Sampai pada suatu hari ketika Mas Haris bertugas keluar Jawa untuk suatu urusan perusahaan, tiba-tiba Bu Rima mengalami kontraksi di masa kehamilannya yang baru menginjak delapan bulan. Saat itu Bu Rima berbaring dan mengerang kesakitan, didampingi aku dan ibu mertuanya. Selama beberapa hari aku kesulitan menghubungi Mas Haris melalui nomor HP yang diberikan Bu Rima, dan baru setelah kepulangannya aku menerima kabar bahwa Mas Haris bertugas di pedalaman Kalimantan yang sulit dihubungi dengan handphone.
Hari itu, tak ada yang lepas dari ingatanku ketika aku berjuang bersama Bidan Sumi untuk mengeluarkan sang jabang bayi dari rahim Bu Rima. Ketika darah terus keluar dan tak bisa dibendung lagi, aku pun segera melarikan Bu Rima ke rumah sakit termahal di daerah Tangerang. Bersama Bidan dan Ibu mertua Bu Rima, kami meyakinkan para dokter ahli agar menyelesaikan persalinan dengan sebaik-baiknya. Tetapi beberapa jam kemudian Tuhan berkehendak lain. Bu Rima menghembuskan nafasnya yang terakhir, dan aku pun menangis sejadi-jadinya.
Mas Haris baru tiba di rumah keesokannya ketika mayat siap diturunkan ke liang lahat. Nampak kedua matanya sembab, sambil memeluk Adiba dan Zahra erat-erat. Tak berapa lama Zahra pun lepas dari pelukan ayahnya seraya menghambur ke dekapanku sambil menangis. Aku merasa riskan dan kikuk ketika Adiba melakukan hal yang sama seperti adiknya, tetapi bagaimanapun aku tetap harus memeluk keduanya erat-erat.
Beberapa minggu kemudian, dengan berat hati aku pamit pada Mas Haris dan ibunya, yang waktu itu belum menjadi mertuaku. Tak terasa airmata menetes ketika aku mempersiapkan tas berisi pakaian, karena aku selalu terbayang-bayang akan masadepan Adiba, Zahra dan si bungsu Alen yang baru berusia empat minggu.
Aku bertekad seperti yang dipesankan ibuku bahwa aku tidak boleh melawan arus, dan biarlah Tuhan punya rencana yang mutlak dalam kehendak dan kekuasaan-Nya.
***
Kali ini usiaku sudah beranjak ke 22 tahun. Beberapa laki-laki mendatangi ibuku selama beberapa bulan aku tinggal di rumah orangtuaku yang sederhana di Kampung Kalitimbang. Ibu seringkali menjelaskan tujuan kehadiran mereka, yang sudah dapat kutebak arah pembicaraannya. Sampai pada bulan ketujuh, aku tak bisa menolak kehadiran Mas Haris untuk melamarku, dan seperti dugaanku, kedua orang tuaku pun merasa senang seperti rasa senang dalam hatiku yang tak sanggup dibendung lagi.
BACA JUGA:Â Â Calon Suami Maesa
Anda boleh saja mencibir kisah perjalanan hidupku yang agak langka, mungkin seribu banding satu. Tapi tak apalah akan kuceritakan agar kita sebagai manusia tetap menaruh harapan terhadap kebaikan, paling tidak menghargai sesuatu yang dinamakan “berbuat baik”. Ya, aku tak pernah bermaksud merebut Mas Haris dari Bu Rima, bahkan ketika aku tahu dia mencintaiku.
Aku sangat menghargai rumah-tangga mereka yang berdedikasi tinggi, bertanggungjawab untuk mendidik anak-anaknya. Aku pun menjaga kehormatanku pada majikanku yang penuh perhatian, bahkan memperlakukan aku layaknya keluarga sendiri. Sebagai pembantu aku memang betul-betul membantu, sedangkan pekerjaan rumah-tangga yang primer sepenuhnya ditangani Bu Rima sendiri.
Aku mendapat upah yang layak setiap bulannya, belum lagi pemberian-pemberian lainnya yang tidak termasuk dalam hitungan upah bulanan. Penghormatan kepada pembantu ini terus dipertahankan ketika aku mengangkat pembantu baru yang bertugas di rumah-tanggaku sekarang. Sebagai ibu tiri, aku bertekad membesarkan tiga anak-anak Mas Haris layaknya mendidik anak-anak kandungku sendiri.
Setelah dua tahun aku menjadi istri Mas Haris, aku pun mengandung anaknya yang keempat. Sedan merah yang dihiasi gambar kupu-kupu itu pemberian darinya, dan aku yakin dia bukan seorang koruptor. Karena itu aku sangat mencintai suamiku, bahkan sejak dia menjadi majikanku…. []