DIÂ sebuah dusun, ada seorang wanita yang sangat shalih. Wanita itu bernama Alfidhah. Keadaan hidup keluarga wanita itu sangat miskin. Namun, kemisÂkinannya tidak menjadi halangan baginya untuk mensyukuri nikmat Allah.
Pada suatu hari, dia berkata kepada suaminya bahwa makanan simpanan miliknya habis. Tidak ada sesuatu pun di rumah yang dapat dimakan. Satu-satunya harta miliknya hanyalah seekor kambing betina.
“Bagaimana kalau kambing itu kita sembelih saja, Istriku?” tanya suaminya.
“Duhai Suamiku, hanya tinggal itulah harta kita satu-satunya. Kambing itu bisa mengeluarkan susu yang dapat kita minum. Selain itu, dia aku harapkan bisa beranak, sehingga kita bisa mempunyai banyak kambing nantinya.”
Mendengar alasan Alfidhah, suaminya menjadi sadar. Memang tinggal kambing betina itulah satu- satunya harapan bagi keluarga kecil itu. Dia bisa memahaminya. Tetapi, tak lama berselang, datanglah ke rumah itu seorang tamu. Dia adalah salah satu sahabat suaminya.
“Apa yang harus kita perbuat untuk menjamu tamu kita itu, istriku?”
“Suamiku, potonglah kambing kita itu!” tandas Alfidhah.
“Aku tak mungkin melakukannya, Istriku. BuÂkankah baru saja engkau melarangku menyemÂbelihnya karena tinggal itulah harapan kita satu- satunya?”
“Wahai Suamiku, bukankah Rasulullah telah bersabda bahwa kita harus memuliakan tamu? PoÂtonglah, semoga Allah menerima pengorbanan kita!”
Setelah mempertimbangkan beberapa saat, akhirnya sang suami pun mantap untuk menjamu tamu mereka dengan kambing miliknya itu.
Suami Alfidhah segera mengambil kambing itu lalu disembelihnya di belakang rumah. Sementara suaminya menguliti kambing itu, Alfidhah mempersiapkan diri di dapur untuk memasak. Tetapi, ketika dia mau mengambil kayu di dekat kandang, dia meÂlihat seekor kambing yang sama persis dengan miliknya.
“Hai, apakah kambing yang di sembelih suamiku itu terlepas?” kata Alfidhah. Dia pun lari ke belakang dengan sangat buru-buru. Sesampainya di belakang rumah, dia melihat suaminya masih asyik menguliti kambing itu. Lalu, kambing siapakah itu? Bisik hatinya.
Setelah merenung beberapa saat, barulah dia teringat dengan sabda Rasulullah Saw. jika kita meÂmuliakan tamu, sungguh dia akan dimuliakan Allah. Rupanya, Allah telah mengganti kambing miliknya dengan yang lebih baik.
Setelah semuanya siap, dia pun menyajikan makanan itu kepada tamunya. Dan, tamunya pun makan sampai puas.
Waktu telah berlalu. Sejak peristiwa itu, Alfidhah sangat menyayangi kambing itu. Dia sama seperti kambing-kambing lainnya yang sama-sama makan rumput, dan apabila diperah juga mengeluarkan susu. Tetapi, pada suatu hari, wanita shalihah itu sangat terkejut. Sebab, ketika dia mau memerah susu kambing itu, ternyata yang keluar adalah madu. Warnanya bening kekuning-kuningan. Lalu, dia pun mengatakan itu kepada suaminya.
“Suamiku, lihatlah ini!” kata Alfidhah. “Ketika aku memerah susu kambing ini, yang keluar bukan susu, tapi madu!”
“Maha Suci Allah!” suaminya menjawab lirih.
Sejak saat itu, kabar tentang kambing yang meÂngeluarkan madu pun tersiar di mana-mana. Banyak orang berbondong-bondong ke rumah Alfidhah. Di antara orang banyak itu adalah seorang syekh negeri itu, namanya Abu ar-Rabi’ al-Maliki. Dia pun menanyakan perihal kambing ajaib itu. Dengan senang hati, Alfidhah pun menceritakan apa pun yang dialaminya.
“Apakah kambing yang engkau maksud adalah kambing yang susunya baru saja aku minum tadi?”
“Benar, Syekh!”
Ulama itu pun mengangguk-angguk. Begitulah Allah akan memuliakan orang yang memuliakan tamunya. []
Disadur dari buku Taubatnya Seorang Pelacur, Penerbit DIVA Press
http://kolom.abatasa.co.id/kolom/detail/hikmah/735/kambing-ajaib.html