MANUSIA adalah makhluk sosial yang hidup bermasyarakat. Salah satu konsekuensinya adalah adanya hubungan interaksi. Dalam Islam, interaksi ini diatur dalam syariah. Salah satunya adalah dalam hal muamalah.
Di masyarakat, kondisi interaksi di atas memungkinkan adanya kontak antara laki-laki dan prembuan, baik dalam hal pandangan (mata), pembicaraan (lisan), maupun kontak fisik (bersentuhan). Dalam Islam, semua itu ada aturannya.
Ada sebuah hadis yang berbunyi, “Shautul mar`ah aurah.” Artinya, “Suara wanita adalah aurat.” Sementara itu, yang paling umum terjadi dalam sebuah interaksi adalah obrolan atau pembicaraan. Nah, terkait suara wanita, bagaiamanakah aturan yang sebenarnya?
Mengenai suara wanita, para ulama memang berbeda pendapat mengenai hukumnya. Namun, jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa suara wanita bukanlah aurat.
Sebagian ulama berpendapat hadit yang tadi disebutkan di atas itu dhaif (lemah) dan sebagian yang lain bahkan mengatakannya sebagai hadis maudu` (palsu).
Kesimpulan yang menyebut suara wanita itu tidak termasuk aurat didasarkan pada riwayat bahwa dulu Ummul Mukminin Aisyah ra meriwayatkan hadis dengan menyampaikannya secara lisan kepada sahabat.
Sebagaimana diketahui, beliau adalah seorang wanita ahli syariah yang sangat sering meriwayatkan hadis. Beliau termasuk dalam 4 perawi yang paling banyak meriwayatkan hadis, setelah Abu Hurairah, Anas Ibn Malik, dan Ibnu Umar.
Bahkan, Rasulullah SAW sendiripun meluangkan satu hari khusus untuk mengajarkan secara langsung ilmu-ilmu agama Islam kepada para wanita muslimah saat itu, tanpa perantara istri-istri beliau. Di samping itu, beliau juga berdialog secara lisan dengan para wanita yang ingin belajar kepada beliau.
Imam Nawawi dalam kitabnya `Raudhatu-t-Thalibin` menyatakan bahwa pada dasarnya suara wanita bukanlah aurat, akan tetapi hal tersebut bisa berubah hukumnya ketika dalam keadaan ditakutkan adanya fitnah (sesuatu yang dapat mengganggu kekhusyu`an dalam beribadah).
Ibrahim al-Marwidzi juga sependapat dengan Imam Nawawi dalam hal ini, beliau menambahkan bahwa wanita hendaknya tidak melantangkan suaranya dalam berbicara.
Dalam surat Al-Ahzab ayat 32, Allah SWT berfirman:
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu `tunduk` dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada `penyakit dalam hatinya` dan ucapkanlah perkataan yang baik.”
Yang dimaksud dengan tunduk dalam berbicara disini ialah berbicara dengan sikap yang dapat menimbulkan keberanian orang untuk bertindak yang tidak baik terhadap mereka. Sedangkan yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada penyakit ialah orang yang mempunyai niat berbuat tidak senonoh dengan wanita, seperti zina.
Jadi, wanita juga punya kebebasan bicara (mengeluarkan suara) atau berpendapat, temasuk berdialog dengan kaum Adam. Namun, yang perlu diperhatikan adalah bahwa hal tersebut tidak boleh melanggar batasan syariah. []
SUMBER: DARUL IHSAN