ORANG-orang besar dalam sejarah Islam selalu dicirikan dengan kehendak yang membaja. Mereka ditandai dengan obsesi kesempurnaan yang bertalu-talu.
Meski obsesi meraih puncak sangat relatif dan berbeda-beda di antara mereka, namun kehendak mencapai prestasi maksimal selalu mengiringi rentang waktu yang mereka lalui. Kesadaran itu selalu terngiang di telinga mereka. Maka jangan heran, obsesi itulah yang selalu menjadi bahan bakar yang melejitkan kendaraan jiwa mereka.
BACA JUGA: Manfaat Shalat bagi Jiwa dan Raga Manusia
Karena itu, kamu akan melihat mereka begitu abai dengan persoalan sepele. Tenaga mereka begitu berharga untuk perkara remeh. Otak cemerlangnya terlalu sayang untuk membahas masalah renyah. Komentar mereka adalah ‘no comment’ dengan pertanyaan yang tidak ada relevansinya dengan cita-cita mereka. Mereka lebih senang dengan perkara besar yang menantang.
Walau mereka tidak memintanya, namun mereka selalu mempersiapkan segalanya untuk menghadapi berbagai kesulitan. Ada semacam kesadaran paten dalam jiwa mereka bahwa hanya dengan kerja keras, kejayaan dapat direbut. Hanya dengan berlelah-lelah, izzah bisa direngkuh. Sebab tidak ada prestasi besar yang bisa diraih dengan amal yang biasa-biasa. Tidak ada kepuasan jiwa pada kerja yang tidak melelehkan keringat, air mata, bahkan darah.
Sebab itu, pemilik obsesi selalu bersama harapannya di ketinggian ufuk. Jiwanya bertengger di sana. Setiap ruhnya menapaki satu tahap, ia jadi tahu. Setiap jiwanya mendaki di ketinggian ia semakin mengerti. Itu sebabnya mereka tenang, tidak gampang marah, apalagi stres. Kaki mereka mungkin menapak di bumi, namun jiwa mereka melanglang buana di langit keabadian. Mungkin raganya bertarung dengan keangkuhan dunia, tapi ruhnya senantiasa mengetuk pintu langit mengharap rahmat Allah.
Mereka terus bekerja dalam sunyi. Meski manusia kebanyakan menganggap semua itu kegilaan, atau mimpi di siang bolong.Tetapi ia tahu, semua itu ibarat tetesan air yang hendak mencairkan bongkahan tekadnya. Sebab kata Ibn al-Jauziy, “…Tidak ada kehinaan yang paling hina pada seseorang kecuali kondisi hatinya yang selalu lengket dengan suasana dunia.“
BACA JUGA: Di Balik Jiwa dan Tubuh yang Harus Sehat, Ada Allah dan Alquran
Sejarah salaf kita sangat kaya dengan orang-orang yang memiliki obsesi besar. Gambaran ini demikian merata semua lapisan generasi terbaik itu. Bukan hanya kalangan pemimpin, tapi juga di kalangan orang yang dianggap ‘biasa’. Mungkin keadaan Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami bisa menggambarkan apa yang kita paparkan di atas. Ketika ia menemani Rasulullah SAW di suatu malam guna menyediakan air wudlu Rasulullah SAW, saat Rasul yang mulia itu memberi kesempatan kepadanya agar meminta. Meminta apa saja! Maka sahabat yang mulia ini tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Dengan sigap ia berujar “Inni as-aluka murafaqataka filjannah”. Meski Rasulullah SAW menyuruhnya meminta yang lain. Namun ia tetap dengan permintaannya semula; “saya mohon pada Anda agar bisa menemanimu di surga.”
Demikianlah suasana jiwa para pemilik Al-himmatul ‘aliyah (obsesi besar). Mereka selalu memecut jiwanya agar terus berpacu dan berpacu. Tidak ada jeda untuk istirahat. Atau mungkin ada rehat, tapi itu sekadar mengisi rongga jiwanya dengan tiupan napas kehendak. Setelah itu perjalanan kembali diteruskan. Mereka selalu berkata pada jiwanya, bahwa penghentian itu bukan di sini… Istirahat itu bukan di sini…Tapi di sana! Di surga! []
SUMBER: WAHDAH.OR.ID