Oleh: Savitry ‘Icha’ Khairunnisa
Kontributor Islampos, Tinggal di Norwegia
SELAMA ini pengetahuan saya tentang Yordania ternyata keliru. Saya pikir negeri ini dikelilingi gurun dengan unta dan keledai sebagai pemandangan umum.
Well, unta dan keledainya memang betul. Tapi ternyata Yordania merupakan lembah subur dengan aliran Sungai Yordania yang membelah negeri. Tentu saja sepatutnya saya tahu itu! Sungai Yordania dan perannya bagi manusia di sekitar alirannya sudah sering disebut di dalam berbagai kitab suci agama samawi ribuan tahun yang lalu.
Dan memang sepanjang perjalanan kami kemarin, mudah sekali menemukan pasar yang menjual berbagai jenis buah dan sayuran. Sebut saja, mulai dari pisang, apel, zaitun, kurma, plum, wortel, kentang, seledri, sampai bermacam dedaunan herbal (peterseli, dill, rosemarie dan lain-lain).
Penjual buah dan sayuran ini diselingi dengan pedagang ayam dan hewan potong seperti kambing dan unta.
Selama mobil kami melaju menuju utara Yordania, terlihat jelas tanda-tanda musim semi. Padang rumput menghijau, bunga beraneka warna dan bebukitan yang juga hijau menyegarkan mata.
BACA JUGA:Â Dialog Kami tentang Hijab
Sekitar 40 menit meninggalkan Amman, sampailah kami di Jerash, kota purba peninggalan bangsa Yunani dan Romawi lebih dua ribuan tahun yang lalu.
Setelah membayar JOD 16 untuk saya dan suami (anak-anak gratis), kami mulai mendekati gerbang. Pada awalnya kami kira situs ini kecil saja. Ternyata luasnya minta ampun! Tak mengherankan karena Jerash merupakan kota yang sibuk dan penting di zaman antik dulu.
Di daerah perbukitan berketinggian 600 dpl ini sejenak kami merasa seperti berada di Eropa. Gerbang Jerash yang masih terlihat kemegahannya, reruntuhan istana, air mancur, pemandian umum, amphitheatre, sampai pilar batu alam yang masih berdiri dan berjajar kokoh.
Sungguh menakjubkan keindahan dan luasnya, sampai waktu 1,5 jam yang dialokasikan terasa sebentar sekali.
Perjalanan kami lanjutkan ke desa Ajloun, di daerah Timur Laut Yordania, sekitar 30 menit berkendara dari Jerash.
Di sini ada peninggalan dinasti Ayyubi yang masih terjaga sangat baik. Dari namanya mungkin Anda bisa menebak dari mana dinasti ini berasal.
Sultan Salahuddin Al-Ayyubi sang pejuang muslim yang memerintahkan pembangunan kastil Ajloun di Bukit ‘Auf pada abad ke-12.
Kastil sekaligus benteng ini dibangun oleh Izz ul-Din Usama, panglima perang sekaligus keponakan Salahuddin al Ayyubi.
Seperti kebanyakan kastil pada zaman itu, bangunan ini dilengkapi benteng yang berfungsi sebagai pertahanan dari pasukan Perang Salib dari Karak dan Bisan.
Selain itu, kastil ini juga dibangun untuk menahan kemajuan Kekaisaran Romawi dan Trans Jordan.
Tujuan lain yang tak kalah penting adalah melindungi pendulangan bijih besi milik dinasti Ayyubi yang berlokasi di desa Ajloun.
Memasuki bangunan kastil ini ada kesan tersendiri. Seketika suasana jadi senyap dan tenang. Hawa di dalam kastil pun begitu sejuk dan alami.
Di salah satu ruangan di kastil Ajloun ada dapur yang menunjukkan sisa penyimpanan madu dan minyak zaitun. Di sana ada resep membuat minyak zaitun menjadi awet, yakni disimpan di tempat yang tertutup dan gelap, agar kandungan gizi dan kualitasnya tetap terjaga.
Sampai sekarang metode penyimpanan ini yang selalu tertera di botol minyak zaitun di seluruh dunia.
***
Tujuan terakhir kami kemarin adalah tempat bernama Umm Qais, yang lagi-lagi merupakan daerah perbukitan. Wilayah berjarak 100 km dari Amman ini juga merupakan peninggalan bangsa Yunani dan Romawi (karena itu sering dijuluki “Greco Romano”). Dulu nama tempat ini adalah Gedara.
Di sini banyak terdapat gereja, pasar, tempat persembahan, pemandian umum, juga stadium dan teater. Fasilitas-fasilitas standar untuk kota di zaman Yunani dan Romawi.
Ada satu hal istimewa dari Umm Qais. Dari ketinggian 400 meter dpl, kami dapat melihat Laut Tiberias di Palestina, Dataran Tinggi Golan di Palestina / Israel, dan jurang Yarmuk di Syria serta sungai Yordania.
Indah sekali pemandangan di kejauhan sana, meski sedikit tersaput kabut.
***
Satu hal yang saya amati adalah begitu banyaknya wisatawan lokal Yordania di semua tempat yang kami kunjungi kemarin. Hal ini disebabkan hari Jumat dan Sabtu adalah akhir pekan. Dan orang Yordania gemar berwisata dan tadabbur alam di negerinya sendiri. Kebanyakan mereka datang dengan naik angkot atau bus. Dan mereka selalu datang dalam rombongan cukup besar. Heboh dan meriah melihat polah mereka ini, karena mereka bukan tipe pemalu.
BACA JUGA:Â Puasa di Norwegia: Hampir 20 Jam!
Dengan yakin mereka berjoget, meneriakkan yel-yel dan menyanyi sambil bertepuk tangan. Para wanitanya sering mengiringi dengan suara khusus dari mulut mereka yang sulit saya tirukan. Semua ini jadi hiburan gratis yang menyenangkan (meski kadang agak berisik juga).
Dua hari di Yordania, saya masih belum menemukan turis Indonesia. Para murid sekolah dan rombongan turis lokal itu mungkin juga jarang melihat turis Indonesia.
Saya seringkali disapa dengan “Assalaamu’alaykum”, karena mereka tahu bahwa saya dan rombongan kecil saya adalah muslim. Tapi tak semua tahu dari mana kami berasal. Akibatnya, tak sedikit orang Yordania ini yang menatap kami sambil menyapa dengan “hello”, “marhabba”, bahkan “nihaw”. Ah, jadi geli saya kalau mengingat itu… []