SABARĀ adalah menahan diri untuk menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya serta tabah terhadap musibah yang menimpanya.
Para ulama membagi sabar menjadi tiga tingkatan:
Tingkatan Pertama: Sabar di dalam ketaatan
Yaitu menata diri untuk selalu mengerjakan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya.
Sabar di dalam ketaatan ini adalah tingkatan sabar yang paling tinggi, kenapa? karena untuk melakukan suatu ketaatan, diperlukan kemauan yang sangat kuat, dan untuk menuju pintu syurga seseorang harus mampu melewati jalan-jalan yang dipenuhi dengan duri, ranjau dan segala sesuatu yang biasanya dia benci dan tidak dia sukai, sebagaimana sabda Rosulullahshallallahu āalaihi wa sallam,
“Dan jalan menuju syurga itu dipenuhi dengan sesuatu yang tidak kita senangi,” (HR.Muslim).
Tingkatan Kedua: Sabar terhadap maksiat
Yaitu selalu menahan diri untuk selalu menjauhi apa-apa yang dilarang oleh Allah dan Rosul-Nya.
Bentuk sabar ini jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan bentuk sabar yang pertama, karena meninggalkan sesuatu yang dilarang jauh lebih ringan daripada mengerjakan sesuatu yang diperintah.
Walaupun sebenarnya dalam masalah ini, kadang sifatnya sangat relatifnya, artinya bagi seseorang mungkin lebih ringan meninggalkan sesuatu yang dilarang daripada mengerjakan sesuatu yang diperintah, sementara bagi orang lain justru yang terjadi adalah sebaliknya, dia merasa lebih ringan mengerjakan sesuatu yang diperintahkan kepadanya daripada meninggalkan sesuatu yang dilarang. Inipun tergantung kepada bentuk larangan dan perintah.
Umpamanya kebanyakan orang bisa bersabar untuk tidak berzina, akan tetapi tidak bisa bersabar untuk selalu mengerjakan sholat berjamaāah di masjid. Sebaliknya kebanyakan orang sangat sulit dan tidak bisa bersabar untuk meninggalkan ā ghibah ā ( membicarakan kejelekan orang lain ), akan tetapi sangat bisa dan sabar kalau diperintahkan untuk berbuat baik kepada orang lain. Contoh-contoh seperti ini sangat banyak dalam kehidupan sehari-hari.
Tingkatan Ketiga: Sabar terhadap musibah
Yaitu menahan diri dan tidak mengeluh ketika terkena musibah.
Ini adalah bentuk sabar yang paling ringan, karena sesuatu itu sudah terjadi di depannya, dan dia tidak bisa menghindarinya, artinya dia bersabar atau tidak bersabar sesuatu itu sudah terjadi. Akan tetapi walaupun begitu, masih banyak dari kaum muslimin yang tidak bisa sabar ketika tertimpa musibah. Sabar dalam bentuk ini tersebut dalam firman Allah subhanahu wa taāala:
āDan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,” (QS. Al Baqarah: 155).
Dalam hadist Ummu Salamah disebutkan bahwasanya Rosulullah shallallahu āalaihi wa sallambersabda:
“Jika diantara kalian tertimpa musibah, hendaknya berkata, “Sesunggunya kami milik Allah dan sesunguhnya kami akan kembali pada-Nya, Ya Allah saya hanya mencari pahala dari musibah ini di sisi-Mu, maka berikanlah kepada-ku pahala itu, dan gantikanlah aku dengan sesuatu yang lebih baik dari musibah ini,ā (HR Abu Daud).
Hadist di atas benar-benar dipraktekkan oleh para sahabat, bahkan oleh Ummu Salamah sendiri, tepatnya ketika suaminya Abu Salamah pada detik-detik terakhir dari hidupnya dia berdoāa, āYa Allah gantilah untuk keluargaku seseorang yang lebih baik dariku.ā
Dan ketika Abu Salamah telah meninggal dunia, Ummu Salamah berdoaā, āSesunggunya kami milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya, Ya Allah saya hanya mencari pahala dari musibah ini di sisi-Mu.ā
Kemudian apa yang terjadi setelah Ummu Salamah tetap sabar, tabah dan berdoāa sebagaimana yang diajarkan oleh Rosulullah shallallahu āalaihi wa sallam? Ternyata Allah mengabulkan doāa tersebut dan Ummu Salamah mendapat ganti suami yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rosulullah shallallahu āalaihi wa sallam.[]