RASULULLAH– shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah diperintahkan (oleh Allah) untuk sujud di atas tujuh anggota, sebagaimana dalam hadis dari sahabat Ibnu Abbas –radhiallahu ‘anhu-, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَي الْجَبْهَةِ- وَأَشَارَ بِيَدِهِ إلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
“Aku diperintah untuk sujud di atas tujuh anggota, di atas kening –beliau mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung-, dua tangan, dua lutut dan dua ujung kaki.”[HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Sujud di atas kening hukumnya wajib. Karena tidak mungkin sujud bisa terealisasi, kecuali dengan menempelkan kening di atas lantai. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama ( dan termasuk pendapat Madzhab Syafi’i ). Imam An-Nawawi –rahimahullah- (w.676 H) berkata :
اَمَّا الْجَبْهَةُ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى وُجُوبِهَا وَأَنَّ الْأَنْفَ لَا يُجْزِيئُ عَنْهَا
“Adapun kening, maka mayoritas ulama berpendapat wajib, dan hidung tidak mencukupi untuk menggantikannya.[Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 3/424].
BACA JUGA: Subhanallah, Air pun Bersujud
Adapun hidung, maka tidak wajib menurut pendapat jumhur ulama’ Syafi’iyyah. Syaikh Yazid Al-Marwazi menukil sebuah hikayat dari imam Asy-Syafi’i yang mewajibkannya. Tapi, menurut imam An-Nawawi, hikayat ini lemah dan gharib, walaupun kuat dari sisi dalil. Beliau –rahimahullah – berkata :
فَإِنْ اقْتَصَرَ عَلَى الْجَبْهَةِ أَجْزَأَهُ قَاَلَ الشَّافِعِيُّ فِيْ الأُمُّ كُرِهَتْ ذَلِكَ وَأَجْزَأَهُ وَهَذاَ هُوَ الْمَشْهُوْرُ فِي الْمَذْهَبِ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ
“Maka jika seorang mencukupkan diri (sujud) di atas kening saja (tanpa menempelkan hidungnya), maka hal itu telah mencukupinya. Imam Asy-Syafi’i berkata dalam kitab Al-Umm hal itu dimakruhkan, akan tetapi mencukupi baginya. Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur di dalam madzhab (syafi’i), dan telah dipastikan oleh mayoritas ulama madzhab.”
Adapun anggota sujud yang lain, yaitu kedua tangan, kedua lutut dan kedua ujung kaki, maka ada dua pendapat yang masyhur di kalangan ulama Syafi’iyyah :
Pertama : Tidak wajib (mustahab/anjuran). Ini merupakan pendapat dari Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab Al-Imla’, Al-Qadhi Abu At-Thayyib, Asy-Syirazi, dan dishahihkan oleh Al-Jurjani dalam At-Tahrir, Ar-Ruyani dalam Al-Hilyah, dan Ar-Rafi’i. Al-Qadhi Abu Ath-Thayyib berkata : Yang tampak dari ucapan Asy-Syafi’i, tidak wajib meletakkannya. Pendapat ini merupakan pendapat ‘amatul fuqaha’ (mayoritas para ahli fiqh), yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Asy-Syafi’i dalam sebuah riwayat. Lihat kitab “Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab” (3/427).
Alasan mereka, hadis yang memerintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota –selain kening-, adalah perintah yang bersifat anjuran, bukan wajib. Karena yang namanya sujud, itu di atas wajah (kening). Adapun jika seorang meletakkan selain kening, seperti tangan, atau lutut, atau kaki di atas bumi, maka tidak bisa dikatakan sujud. Sebagaimana sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
سَجَدَ وَجْهِيْ
“Wajahku telah sujud….”(al-hadis)
Selain itu, jika memang selain kening itu wajib diletakkan di lantai, maka seharusnya juga wajib untuk disingkap kain yang menutupinya saat sujud sebagaimana kening. Karena kening wajib untuk disingkap sesuatu yang menutupinya saat sujud (sesuatu yang bersambung dengan diri orang yang salat). Jika tidak wajib disingkap, maka ini menjadi sebuah indikasi yang menunjukkan bahwa selain kening tidak wajib. Dengan dua indikasi ini, maka perintah nabi untuk sujud di atas tujuh anggota dibawa kepada hukum istihbab (anjuran) kecuali kening. Lihat “Al-Mughni” (1/370).
Kedua : wajib. Ini merupakan pendapat sebagian ulam’a, diantara mereka adalah Al-Bandaniji, shahibul ‘uddah, Nashr Al-Maqdisi, Abu Hamid dalam At-Tabshirah, serta An-Nawawi. Lihat kitab “Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab” (3/427)** dan At-Tahqiq (210).
Mereka beralasan, bahwa hadis yang datang dalam masalah ini dalam bentuk kata kerja perintah. Makna asalnya memberikan faidah wajibnya perkara yang diperintahkan selama tidak ada dalil lain yang memalingkannya. Imam An-Nawawi telah merajihkan (menguatkan) ini dalam “Syarhul Muhadzdzab” dan juga dalam “At-Tahqiq”. Pengarang kitab “Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i” (1/279) yaitu, Dr. Muhammad Az-Zuhaili –hafidzahullah- memilih pendapat yang mewajibkan.
Pendapat pertama sangat kuat isitidlalnya. Apalagi telah menjadi pendapat jumhur ulama’ (mayoritas ulama), diantara mereka ada Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, serta salah satu riwayat dari Imam Asy-Syafi’i, dimana menyelisihinya merupakan perkara yang sangat berat. Pendapat kedua juga tidak bisa dianggap remeh. Tarjih (penguatan) yang dihasilkan oleh Imam An-Nawawi –rahimahullah- bukanlah perkara sembarangan. Karena beliau termasuk salah satu mujtahid tarjih di dalam madzhab Syafi’i.
Pengarang kitab “Kifayatul Akhyar”, yaitu Imam Taqiyyudin Al-Hishni Asy-Syafi’i –rahimahullah- (w. 829 H) dalam kitabnya hlm. (108) menyebutkan dua pendapat di atas, akan tetapi beliau tidak merajihkan salah satu dari keduanya. Beliau –rahimahullah- berkata :
وَهل يجب وضع يَدَيْهِ وركبتيه وقدميه مَعَ جَبهته فِيهِ قَولَانِ الْأَظْهر عِنْد الرَّافِعِيّ لَا يجب ولأظهر عِنْد النَّوَوِيّ الْوُجُوب
“Apakah wajib meletakkan kedua tangan, kedua lutut dan kedua kaki bersama dengan keningnya ? dalam masalah ini ada dua pendapat. Yang tampak bagi Ar-Rafi’i, tidak wajib. Dan yang tampak bagi An-Nawawi, wajib.”
BACA JUGA: Sujud yang Benar, Ini Tata Caranya
Seolah beliau mengisyaratkan adanya kelonggoran dalam masalah ini untuk masing-masing memilih mana yang lebih kuat dan lebih menenangkan hatinya. Perkara ini semisal hukum khitan bagi wanita. Dalam madzhab Syafi’i, ada dua pendapat yang masyhur. Ada yang mewajibkan, ini merupakan pendapat imam An-Nawawi, sedangkan ulama’ Syafi’iyyah yang lain berpendapat mustahab (anjuran). Pendapat yang menganjurkan, merupakan pendapat dari Jumhur ulama. Sedangkan fakta di lapangan (maksudnya yang diamalkan di Indonesia), adalah pendapat yang kedua (yang menganjurkan/tidak mewajibkan).
Oleh karena itu, silahkan untuk memilih pendapat mana yang kuat dalam masalah ini. Insya Allah keduanya merupakan pendapat yang mu’tabar dan kuat. Yang penting, mengerti akan konsekwensi dari masing-masing pendapat yang dipilih. []
Wallahu a’lam.
Facebook: Abdullah Al Jirani