APAKAH orang yang ikhlas selalu mencintai apa yang dikerjakannya?
Ya, jika ‘mencintai’ dimaknai sebagai proses, karena awalawal tak selalu begitu. Mula-mula seringkali tak mudah untuk cinta pada apa yang kita lakukan meski kita tahu bahwa itu adalah kebaikan. Tapi sekali lagi ini harus dimaknai sebagai proses. Di sinilahseorang yang ikhlas’mencintai apa yang dicintainya’.
Atau bahkan bisa terjadi para mukmin sejati selama hidupnya berada dalam sebuah keterpaksaan suci; keterpaksaan dalam arti yang positif. Mereka mengikhlaskannya. Mereka berjuang untuk ikhlas semata-mata karena apa yang mereka lakukan itu diperintahkan oleh Dzat yang paling mereka cintai; Allah ‘Azza wa Jalla. Apakah sikap mukmin sejati terhadap perang misalnya? Benci. Itu jelas. Itu pasti. Tapi jika Allah yang memerintahkan, suka tak suka, cinta tak cinta, dan benci tak benci, akan menjadi hal yang terbelakangi. Allah . kesadaran akan itu merebak dalam jiwa; bukan soal cinta dan benci pada apa yang dilakukan. Tapi siapa yang telah memerintahkan.
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah suatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. A-Baqarah:216)
Para shahabat Rasulullah SAW, yakin orang-orang yang dipanggil ‘kamu’ dalam ayat ini adalah kumpulan manusia paling ikhlas yang hidup di zaman paling ikhlas. Tetapi ikhlas yang mereka upayakan takkan menihilkan rasa benci pada perang. Benci, mau tak mau harus diakui. Ikhlas itu tetap tak menafikan rasa muak pada darah yang tertumpah dan luka yang lama sembuhnya. Allah memahami hal ini. Allah Maha Mengerti. Maka tak Ia jadikan cinta dan benci sebagai ukuran ikhlasnnya perbuatan. “Berbuatlah!”, begitu pesannya. Selebihnya, hikmah-hikmah yang terungkap selama berbuat itu akan menguatkan keikhlasan. []
Sumber: Jalan Cinta Para Pejuang/Salim A. Fillah/Pro-u Media