Oleh: Rizki Lesus, Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa
SAAT Syafruddin Prawiranegara menjadi ‘Presiden’ RI (Ketua PDRI) menggantikan Soekarno (Baca Sekitar PDRI –Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Mr. SM Rasjid) dan memerintah di Sumatera, sang Istri yang ditinggalkan sendiri di Yogyakarta sampai harus berjualan sukun goreng untuk menghidupi anaknya, padahal bisa saja mereka mendapat akses ke pejabat, atau meminta bawahan suaminya untuk ‘korupsi’.
Tapi lihatlah ketika Akmal Nasery Basral mengisahkan dialog Siti Halimah bersama Icah. Saat berjualan sukun itu, ada protes kecil dari Icah, anaknya. “Kenapa kita tidak minta bantuan saja pada Presiden Om Karno, dan Wakil Presiden Om Hatta, serta Om Henkie (Hamengku Buwana IX)?” tanya Icah.
“Ayahmu sering mengatakan kepada ibu, agar kita jangan bergantung pada orang lain, Nak…” kata ibunya.
“Tapi apa ibu tidak malu? Ayah orang hebat, keluarga ayah dan ibu juga orang-orang hebat,” sergah Icah lagi.
“Iya, sayang. Ibu mengerti, tapi dengarkan ya. Yang membuat kita boleh malu, adalah kalau kita melakukan hal-hal yang salah, seperti mengambil milik orang lain yang bukan hak kita, atau mengambil uang negara. Itu pencuri namanya. Orang-orang mungkin tidak tahu, tapi Allah tahu,” kata Lily, memberi penjelasan pada anak sulungnya itu.
Baca juga: Ketika Menteri Keuangan Tak Punya Uang
Kelak, sejarah akan berdecak kagum ketika Syafruddin Prawiranegara mengembalikan 29 kilogram emas kepada Negara yang terpendam sebagai cadangan untuk perjuangan PRRI di Sumatera. “..dilakukan penggalian dan emasnya pun diambil. Jumlah semuanya ada 29 kilogram. Emas itu kemudian secara resmi diserahkan oleh Syafruddin kepada Pejabat Presiden Djuanda pada bulan Maret 1962, yang kemudian meneruskannya kepada Menteri/Gubernur Bank Indonesia Sumarno, SH sebagai kekayaan Negara.” (Ajip Rosidi: 2011). []