KETIKA Abu Bakar Ash-Shiddiq dibaiat dan dilantik menjadi khalifah, ia berkata, “Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Namun jika aku tidak mematuhi keduanya, maka tidak ada kewajiban kalian untuk patuh kepadaku.”
Pernyataan Abu Bakar ini menunjukkan bahwa sumber hukum dari segala aturan adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tentunya apa yang disampaikannya ini adalah berasal dari pemahaman Abu Bakar terhadap Al-Qur’anul Karim, bahwa kitab ini harus menjadi pedoman dan landasan hidup manusia baik secara pribadi maupun bermasyarakat (landasan hukum bagi Negara).
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (QS. An-Nisa Ayat 105)
Hal pertama yang Abu Bakar lakukan ketika menjabat sebagai khalifah adalah usahanya untuk menerapkan segala apa yang datang dari Allah dan juga Rasul-Nya, yakni bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Upaya itu diiringi dengan menggiatkan kegiatan menghafal Al-Qur’an bagi kaum muslimin, terutama di kota Madinah.
Ketika itu, Madinah masih dihuni para sahabat, generasi terbaik sepanjang sejarah, sehingga Islam benar-benar menjadi landasan kehidupan, baik secara teori maupun pengaplikasiannya.
Imam Malik berpendapat bahwa segala sesuatu yang dikerjakan penduduk Madinah bisa dijadikan sebagai hujjah dan kedudukannya sama dengan wahyu. Hal itu karena segala sesuatu yang dikerjakan para sahabat di Madinah berasal dari pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. []
Sumber: DR. Ahmad Hatta MA., dkk. Januari 2015. The Golden Story of Abu Bakar Ash-Shiddiq. Jakarta Timur: Maghfirah Pustaka.